Sesuai dengan janji Bu Yeni, aku diantar pulang oleh anaknya yang bernama Arkana. Kana adalah kakak kelasku saat aku masih SMA, tetapi karena beda kelas kami jarang bertegur sapa di sekolahan.
"Kamu tinggal disini?" tanya Kana saat kami telah sampai si depan rumah mas Alzam.
"Iya. Makasih ya, udah mau antriin aku pulang. Tapi maaf aku gak bisa menyuruhmu untuk singgah karena suamiku sedang tidak ada di rumah," ujarku dengan rasa tidak enak. Tapi mau bagaimana lagi, keadaan harus memaksaku untuk tega.
"Don't Worry. Aku tahu itu. Oke, aku langsung cabut ya," kata Kana dengan santai.
Mobil pun mulai melesat meninggalkan halaman rumah mas Alzam.
"Assalamualaikum Mbok Inah," ucapku saat memasuki rumah.
"Waalaikumsallam," jawab mbok Inah dari dapur. "Kok lama, Non?" tanyanya langsung.
"Iya Mbok, soalnya aku sangat merindukan ibu," kilahku dengan dada yang bergemetar.
"Itu den Al sedari tadi menelepon menanyakan orang Ara. Coba sekarang telepon balik, Non," kata mbok Inah dengan kegugupannya. "Mbok takut kalau den Al marah sama non Ara," ujar mbok Inah lagi.
Aku tersenyum getir. Bagaimana aku akan menelepon mas Alzam jika nomer ponselnya saja aku tidak menyimpannya.
"Kok malah diam aja. Buruan atuh, Non!" desak mbok Inah penuh kekhawatiran.
"Tapi aku tidak mempunyai nomor telepon mas Alzam, Mbok," ucapku jujur.
"Ya Allah Gusti ... Bagaimana ceritanya seorang istri tidak memiliki nomor telepon suaminya sendiri. Sebentar mbok ambil HP dulu."
Wanita yang ku tafsir berusia sekitar 50 tahun itu segera bergegas menuju kamar untuk mengambil ponselnya.
"Ini nomernya." Mbok Inah segera menyerahkan ponselnya kepadaku untuk menyalin nomor Mas Alzam.
"Bilang saja sudah pulang dari tadi, tetapi ketiduran. soalnya tadi Mbok sudah membuat alasan seperti itu kepada den Al," saran mbok Inah. Aku tidak tahu harus mengucapkan terima kasih yang seperti apa. Meskipun dia adalah pembantunya mas Alzam tetapi dia sangat memperdulikan aku. aku hanya menuruti saran dari mbok Inah. Mungkin dengan begitu kemarahan Mas Alzam akan berkurang.
"Halo Assalamuaikum," kataku setelah panggilan telepon tersambung ke milik mas Alzam.
Dadaku semakin bergetar saat suara wanita yang menjawab salamku. Aku sudah yakin jika wanita itu tak lain adalah Aira. Mungkin saja saat ini kedua sedang menikmati malam pertama mereka. Aku semakin meremas dadaku yang terus bergerumuh.
"Ini siapa?"
"Ini aku Zahra, Mbak," ucapku pelan.
"Oh, kamu ada Ra?"
"Kata mbok Inah tadi mas Alzam menghubungiku, ada apa?"
Beberapa detik tak terdengar Aira. Namun, sesaat kemudian suara mas Alzam menggema di telingaku. Entah mengapa mendengar suara itu hatiku menjadi teriris dan terasa sakit.
"Kata mbok Inah kamu berkunjung ke rumah ibumu, ada apa?" tanya mas Alzam tanpa basa-basi.
"Aku hanya merindukan Ibu saja Mas."
"Bagus ya, saat aku tidak ada kamu keluyuran kemana-mana. Apakah kamu sengaja untuk mencari pria lain di luar sana?"
"Astaghfirullahaladzim, Mas. Kamu ngomong apa? Aku hanya ke rumah ibu karena memang aku sangat merindukannya. Kalau kamu tidak percaya silakan kamu tanya sama ibuku," kataku dengan rasa kesal akibat kejatuhan mas Alzam.
"Baguslah kalau kamu tidak menemui pria lain. Aku hanya ingin mengatakan kepadamu bahwa aku akan pulang minggu depan. Jadi aku harap kamu tidak menungguku," ucap Mas Alzam yang kemudian mematikan sambungan telepon kami.
Aku hanya bisa mengelus dadaku yang dari tadi sudah. Aku yakin jika saat ini mas Alzam dan Aira sedang menikmati masa-masa pengantin barunya, sehingga Mas Alzam menunda kepulangannya.
Memang tidak ada yang aku harapkan dari pernikahan ini, tapi setidaknya aku masih bisa hidup dengan layak. Bahkan saat ini aku tidak tahu dimana keberadaan kedua adikku dan juga ibuku berada. Aku benar-benar sudah kehilangan mereka.
Dalam kesunyian malam, dadaku masih terasa sesak memikirkan masalah yang terus terus mengujiku. Terkadang aku merasa percuma untuk tetap bertahan, karena yang aku pertahankan sama sekali tak pernah menganggapku ada.
1 Minggu kemudian ...
Tak terasa sudah satu minggu berlalu. Selama itupun tak ada kabar lagi dari mas Alzam. Mungkin dia sedang menikmati masa-masa pengantinnya bersama dengan Aira. Selama itu juga aku mencoba untuk biasa saja, karena ini adalah awal lembaran baru hidupku.
Jika tidak mundur, maka hari ini adalah jadwal mas Alzam pulang. Namun, aku sudah tidak peduli mau pulang hari ini ataupun satu bulan kemudian.
"Non, kata den Al hari beliau akan pulang," ujar mbok Inah yang menghampiriku di dapur.
Selama satu minggu kepergian mas Alzam, aku mencoba untuk melampiaskan rasa sakit hatiku dengan mengeluarkan kemampuanku. Aku membuat kue kering lagi dan ku jual secara online. Aku pun bersyukur, meskipun sudah lama Hiatus, tetapi masih ada pelanggan setia yang masih mau memesan kue kering yang ku buat.
"Biarkan saja, Mbok. Meskipun pulang, dia tidak akan pulang kesini. Mbok Inah kan tahu kepergian mas Alzam ke Bandung hanya untuk menikah dengan Aira," ucapku datar.
"Mbok tahu bagaimana perasaan non Ara saat ini. Yang sabar ya, Non."
Ku pandangi mbok Inah yang turut membantu ku untuk mengemas kue kedalam toples. "Makasih ya, Mbok. Mungkin jika tidak ada mbok Inah aku sudah menjadi orang gila yang tak punya tujuan hidup lagi," ujarku sambil menahan air mata yang sudah mulai berkaca-kaca.
"Sampai kapanpun, non Ara satu-satunya nyonya di rumah ini, meskipun seribu kali den Al menikah."
Ku ukir senyum bibirku. Mbok Inah bisa saja untuk mencairkan suasana hatiku yang kadang sedang berkabut.
Saat kami berdua sedang melakukan packing, suara salam terdengar begitu nyaring. Dadaku mulai bergetar saat mendengar suara mas Alzam yang semakin mendekat. Dia hanya memanggil mbok Inah saja.
"Assalamualaikum Mbok, aku pulang."
Mbok Inah segera meninggalkan pekerjaan dan segera menyambut kedatangan mas Alzam.
"Den Al sudah pulang? Bagaimana perjalanan bisnisnya? Pasti menyenangkan bukan?" tanya mbok Inah langsung.
"Lumayan menyenangkan. Dimana Zahra," tanya mas Alzam.
"Non Ara sedang mengemas kue yang akan di kirim kepada pelanggannya, Den," ucap mbok Inah.
Mas Alzam menautkan alisnya. "Maksud mbok Inah?" tanyanya.
Segera diceritakan awal mula mengapa aku membuat kue. Bahkan mbok Inah juga memberi teguran pada mas Alzam mengapa tak memberikanku uang belanja.
"Apakah aku sangat keterlaluan, Mbok?" tanya mas Alzam yang kemudian mencuri pandanganku.
"Mbok tidak tahu apa maksud dan tujuan den Al menikahi non Ara. Tapi mbok sangat menyayangkan sikap den Al kepada non Ara yang memang sangat keterlaluan. Non Ara itu perempuan yang baik. Ada sisi lain yang tidak den Al ketahui tentang non Ara. Tapi mbok berharap, jangan pilih kasih untuk memberikan nafkah lahir dan batin. Mbok sebagai seorang perempuan merasa tidak sanggup jika suami mbok menikah lagi," ujar mbok Inah yang kemudian meninggalkan mas Alzam dalam kebisuan.
.
.
.
.
.
.
.
.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Surati
semangat Ara ... kamu pasti bisa malalui semua itu.
2023-02-04
0
Elisa Nursanti Nursanti
semangat ara 💪💪💪💪💪
2022-12-07
0
Hernawanti
😭😭😭😭😭😭 sedih banget ya....
2022-12-05
0