Malam ini setelah mandi, mas Alzam mengajakku untuk berbicara sebentar. Aku tidak tahu apa yang akan dibicarakan oleh Mas Alzam dengan tatapan dinginnya.
"Aku harap kamu bisa menerima keputusanku ini," katanya dengan membuang beratnya. Ku tatap wajah tegas dan sorot mata tajamnya.
"Apa itu?" tanyaku penasaran.
Mas Alzam menarik dalam napasnya sebelum mengeluarkan kata-katanya.
"Mulai besok Aira akan tinggal disini," ucapannya.
Aku masih mendongak tak percaya dengan ucapan yang keluar dari bibir mas Alzam. Bagaimana mungkin mbak Aira akan tinggal satu atap dengan kami. Lalu apakah aku yang harus mengalah untuk keluar dari rumah ini? Jika seperti ini mengapa mas Alzam tak melepaskan ku saja. Ku gelengan kepalaku pelan dan bertanya, "Maksud kamu apa, Mas?"
"Saat ini Aira juga istriku, Ra. Tolong kamu mengerti! Aku tidak akan tega untuk membiarkannya tinggal sendirian disana. Aku akan terlihat egois jika sampai itu terjadi. Apa yang akan aku katakan kepada orang tuanya jika mengetahui anak semata wayangnya aku abaikan?"
Dadaku terasa sangat nyeri bahkan mataku pun sudah berkaca-kaca. Apakah ini adil untukku? Tentu tidak. Apakah mas Alzam memikirkan perasaanku? Tidak sama sekali!
"Kamu tenang saja, aku tidak akan mengusir mu. Kamu tidak akan pergi dari rumah ini. Kebetulan di kamar sebelah kosong. Mulai besok kamu bisa menempatinya."
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Tubuhku seketika menjadi lemas tak berdaya dengan dada yang semakin sesak. Sungguh aku tidak tahu pola pikir mas Alzam bagaimana. Bagiku ini tidak adil!
Hening untuk beberapa saat karena aku harus menghirup oksigen yang dalam-dalam. Setelah merasa cukup, ku beranikan untuk menatap pria yang status sebagai suamiku.
"Mas, aku tahu kamu tak memiliki rasa sedikitpun kepadaku, tapi bukan seperti ini caramu memperlakukanku! Aku punya perasaan, tapi aku tak memintamu untuk mengasihinya. Namun, setidaknya kamu juga harus berpikir apakah ini benar-benar adil untukku? Aku tahu pernikahan ini hanya pernikahan semu untuk kita, tapi ku mohon jika kamu tidak menginginkanku, tolong lepaskan aku!" Aku mengiba dengan kesungguhan hatiku, karena pasti aku tidak akan pernah sanggup untuk melihat suamiku tidur satu ranjang dengan maduku di depan mataku.
"Jika kamu masih bersikeras tak ingin melepaskan ku, aku yang akan memberontak! Bagiku pernikahan kita adalah pernikahan yang sah di mata Agama dan Negara, bahkan di mata sang pencipta pencipta sekaligus. Meskipun aku tidak mencintaimu, tapi aku mencoba menerima kenyataan dan mencoba untuk mencintaimu, Mas. Aku bisa menerimamu menikahi mbak Aira, tapi aku tidak akan terima jika aku harus tinggal satu atap dengannya. Aku tidak akan sanggup, Mas. Maaf jika ucapan ku terlalu lancang. Aku sadar siapa aku di matamu," ucapku panjang lebar. Baru kali ini aku bisa mengeluarkan segala unek-unek dalam hatiku dengan tubuh yang masih bergemetar.
Mas Alzam menatapku tak bergeming. Aku sudah siap jika dia akan mencaci diriku atas ucapan ku yang panjang lebar.
"Aku tidak perduli dan aku tetap tak akan melepaskan mu sampai usia pernikahan kita beranjak satu tahun."
Aku semakin geram dengan ucapan mas Alzam. "Kamu keterlaluan, Mas!" Tanpa aku sadari aku telah membentaknya. Hatiku benar-benar sakit.
"Aku tidak peduli!" balasnya dengan dingin.
Aku yang merasa kesal dengan perlakuan mas Alzam langsung berdiri. Tanganku segera menyambar sebuah bantal dan selimut. Untuk apa menunggu hari esok jika detik ini saja bisa kulakukan untuk tidur di kamar sebelah. Namun, dengan cepat mas Alzam segera mengunci pintu dan menyimpan di saku celana.
"Mas Alzam," kataku dengan rasa geram.
"Aku tidak mengizinkanmu untuk beranjak dari sini, karena kamu harus melayaniku!"
Tak ku sangka ternyata mas Alzam tak seperti yang aku bayangkan. Dia mempunyai dua kepribadian yang sulit untuk ditebak dan nanti mengerti.
Dibawah temaram lampu kamar, mas Alzam kembali menjamahku lagi. Aku tak berdaya, hanya air mata yabg bisa mewakili perasaanku saat ini.
***
Sebelum sang fajar menampakkan diri, aku telah bangun untuk menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim. Saat ini satu-satunya tempatku mengadu hanyalah kepada sang pencipta. Dimana aku bisa leluasa mengeluarkan keluh kesahku. Tak pernah hentinya ku panjatkan doa untuk nasib pernikahanku. Pernikahan tanpa cinta yang semakin lama semakin membuatku menderita.
Pagi ini mataku terlihat sembab akibat tangisan tak berarti malam tadi. Setelah mas Alzam mendapatkan kepuasannya, aku tak langsung memejamkan mata. Sakit dalam dada masih terasa nyeri, air mataku pun tak hentinya membasahi pipi.
"Non Ara sakit?" tanya mbok Inah saat melihatku di dapur.
"Aku gak sakit, Mbok. Memangnya kenapa?" tanyaku heran.
"Mbok lihat wajah non Ara pucat," kata mbok Inah yang begitu jeli dengan penglihatannya.
"Mungkin aku hanya kelelahan, Mbok. Tadi malam aku mencari resep untuk percobaan kue baru. Aku ingin menciptakan sesuatu yang berbeda," kilahku dengan mahir. Selama tinggal di rumah ini lidahku sudah terbiasa untuk berbohong, jadi tidaklah sulit bagiku untuk mencari alasan demi alasan karena sudah terbiasa.
"Oh, Mbok kirain sakit."
Setelah berkutat di dapur bersama dengan mbok Inah, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Aku yakin sebentar lagi mas Alzam pasti akan keluar dari kamarnya.
"Mbok!" panggil mas Alzam pada mbok Inah. "Tolong nanti bersihkan kamar di sebelahku!"
"Apakah akan ada tamu, Den?" tanya mbok Inah.
"Tidak ada. Kamar itu akan digunakan Zahra. Aku sudah berpikir dengan matang bahwa mulai hari ini Aira akan tinggal disini."
Mbok Inah yang mendengarkan penuturan mas Alzam hanya bisa ternganga dengan keterkejutannya. Namun, tidak denganku yang biasa saja.
"Apa? Neng Aira akan tinggal disini?"
"Sekarang Aira adalah istriku juga. Tidak mungkin aku membiarkan dia tinggal sendirian di rumahnya. Apa kata orang tuanya nanti, Mbok." Mas Alzam memberikan penjelasan.
"Jadi neng Aira juga sudah mengetahui siapa non Ara sebenarnya?"
Mas Alzam menggelengkan kepalanya. "Dia tidak akan pernah tahu kebenaran ini jika tidak ada yang memberitahunya," ucap mas Alzam sambil melirik kearah ku.
"Tenang saja, aku tidak akan pernah menceritakan dengan istrimu." Sengaja ku tekan kata istri agar mas Alzam puas.
"Baguslah. Sekarang aku akan menjemput Aira. Ku harap mbok Inah bisa menyelesaikan tepat waktu. Aku akan juga akan mengulur waktunya, jadi mbok Inah bisa memanfaatkan waktu itu dengan baik."
Aku dan Mbok Inah saling berpandangan saat mas Alzam telah berlalu. Sampai detik ini mbok Inah masih ternganga dengan keputusan mas Alzam yang sangat konyol.
"Non," lirihnya.
"Aku gak papa, Mbok," dusta ku yang berusaha menahan air mata agar tak meleleh.
"Ya Allah, Non. Mbok tak sanggup jika harus melihat non Ara seperti ini. Non Ara adalah istri sah tapi harus diperlakukan seperti pembantu. Mbok gak terima itu!"
"Percuma saja Mbok menentang keputusan mas Alzam, itu semua tidak akan mengubah pendiriannya."
.
.
Air mata akan berbicara ketika mulut tak sanggup lagi untuk menjelaskan akan rasa sakit hati ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Marlyne Lia Lyne
pergi sj diamdiam.. kan gk di anggap istri untuk. apa bertahan zahra.. jgn jd orng bodoh bersabar untuk hal yg gk jelas
2023-05-06
2
Surati
sungguh teganya kau Alzam😠💪
2023-02-04
0
Nur Ain
ha 0arah 1 rumah
2022-12-16
0