Malam semakin larut. Pikiranku masih tertuju pada mas Alzam yang belum juga pulang. Meskipun dia sudah menitipkan pesan pada mbok Inah akan pulang larut, tetapi aku masih tetap menunggunya. Hatiku semakin kalut saat mengingat sosok Aira yang ternyata adalah tunangan mas Alzam.
"Non Ara, masih menunggu den Al?" tanya mbok Inah yang melihatku masih termenung di ruang tengah.
Aku mendongak. Meskipun sudah tahu jika mas Alzam akan pulang larut, tapi aku masih bersikeras untuk menunggu mas Alzam.
"Iya Mbok," jawabku singkat.
Mbok Inah berjalan pelan dan duduk di sampingku. "Non Ara tidur saja. Tadi pagi 'kan udah Mbok bilang kalau beliau akan pulang larut."
"Tapi aku ingin menunggunya, Mbok," jawabku penuh harap.
"Non Ara jangan memaksakan diri. Sekarang tidurlah!"
Meskipun berat, aku tetap mengikuti saran mbok Inah. Didalam kamar, hatiku gelisah tak menentu. Bayangan mas Alzam dan Aira terus memenuhi kepalaku hingga akhirnya aku mendengar suara mobil masuk ke garasi.
Ku pandangi jarum jam yang menggantung di dinding, ternyata sudah pukul 11 malam. Tiba-tiba detak jantung ini semakin bergerumuh saat suara pintu dibuka. Aku mencoba untuk memejamkan mata, berpura-pura untuk tidur.
Tak berselang lama, aku merasakan ada sentuhan lembut di tubuhku. Jelas itu adalah tangan mas Alzam.
"Aku tahu kamu hanya berpura-pura tidur saja," bisik mas Alzam di telingaku sambil digigitnya pelan.
Perlahan kubuka mataku. Dengan sigap Mas Alzam mengunci tanganku. Garis tegas di wajahnya terlihat sedikit sayu. Aku mencoba untuk memberontak, tapi lagi-lagi kekuatan Mas Alzam lebih kuat.
"Mas, kamu mau ngapain?" Aku bertanya meskipun aku tahu apa yang sedang diinginkan oleh mas Alzam.
"Kamu jangan pernah lupa dengan tugas dan kewajiban mu! Aku sudah membeli mu, Ra!" kata mas Alzam dengan tatapan tajam.
"Tapi Mas .... "
Tak bisa terelakkan lagi. Ini adalah malam kedua mas Alzam menjamah ku. Meskipun dengan perlakuan yang lembut, tatap saja tindakan mas Alzam sangat menyakiti hatiku. Percuma saja jika air mata ini terus mengalir, karena mas Alzam takkan pernah sedikitpun peduli. Dia hanya menginginkan hasratnya terpenuhi.
Setelah melakukan penyatuan, mas Alzam langsung bergegas untuk membersihkan tubuhnya. Sedangkan aku masih terisak dalam tangisku.
"Lain kali tidak usah menungguku pulang, karena aku pasti akan pulang larut," kata mas Alzam yang sudah merebahkan tubuhnya disampingku.
"Jangan menangis! Karena aku tidak menyukai air mata!" ujarnya lagi.
Ku usap jejak air mataku dan ku beranikan diri untuk menatap pria yang berstatus sebagai suamiku. Setelah seharian aku menunggu kedatangannya, tetapi apa yang dia lakukan padaku?
"Mas, aku tahu kamu hanya terpaksa menikahiku. Jika memang tidak ada cinta diantara kita, tolong lepaskan aku."
"Kamu pikir mudah untuk melepaskan mu begitu saja? Tidak, Ra! 100 juta bukanlah uang yang sedikit. Kamu pikir jika kamu dijual ke tempat pelacuran bisa tembus 100 juta meskipun kamu masih perawan? Tidak, Ra!"
Kata-kata mas Alzam begitu menusuk hatiku. Aku hanya bisa menahan air mata agar tak berjatuhan. Saat bibirku menganga hendak membahas Aira, ternyata mas Alzam sudah beranjak dengan sebuah bantal yang berada ditangannya.
"Kamu mau kemana, Mas?" tanyaku bingung.
"Sebaiknya kamu tidur. Aku akan tidur di kamar sebelah."
Ku tatap punggung kekar itu hingga tenggelam. Tak bisa lagi ku tahan air mata yang sudah mulai merembes jatuh begitu saja.
"Aku harus kuat, meskipun menyakitkan," lirihku sambil meremas selimut yang membungkus tubuhku.
****
Alarm telah membangunkan tidurku. Aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama, dimana aku tidak bisa menyambut mas Alzam pagi ini. Meskipun sikap mas Alzam terlalu dingin kepadaku, tetapi aku ingin berusaha mencairkannya. Bukankah batu karang di laut akan terkikis oleh deburan ombak yang setiap hari menerjangnya? Lalu mengapa hati manusia tidak bisa? Semua akan bisa jika ada udah yang kuat dibelakangnya.
"Lho, kok udah bangun, Non?" tanya mbok Inah yang melihatku menghampirinya.
"Iya Mbok, habis sholat subuh kan gak baik kalau tidur lagi," jawabku dengan memberikan sebuah senyuman kepada Mbok Inah.
"Aku bantuin ya, Mbok," tawar ku padanya.
"Gak usah, Non. Nanti den Al marah."
Aku tak menghiraukan lagi larangan mbok Inah untuk menyiapkan sarapan pagi. Karena hanya untuk sarapan kami berdua, mbok Inah tidak masak banyak yang penting ada sayur hijaunya.
"Mbok, kira-kira makanan yang disukai oleh mas Alzam itu apa ya?" tanyaku di tengah kegiatan memasak.
"Semua jenis makanan disukai sama den Al, kecuali terong, Non," jelas mbok Inah. "Masa terong makan terong," kelekar mbok Inah.
Aku pun ikut tertawa. Ternyata mbok Inah bisa diajak bergurau. Aku pikir dia adalah orang yang selalu serius. Namun nyatanya dia bisa membuatku tertawa.
"Oh iya mbok, orang tua mas Alzam tinggal dimana ya? Soalnya aku tidak melihat kehadiran orang tua mas Alzam saat hari pernikahan. Dan mas Alzam juga tidak memberitahu kami tentang keberadaan orang tuanya.
Tiba-tiba mbok Inah membeku untuk beberapa saat. Bahkan gorengan yang ada di teplon pun hampir saja Gosong. Aku tidak tahu apakah ada yang salah dengan pertanyaanku.
"Mbok, tempenya mau gosong!" ujarku sambil menyenggol bahunya. Ketika wanita tengah baya itu tersadar dari diamnya.
"Mbok, kenapa?" tanyaku heran saat melihat perubahan wajah Inah yang tertekuk.
"Berjanjilah kepada Mbok, kalau Non Ara tidak akan pernah menanyakan pertanyaan seperti ini kepada den Al. Mbok berjanji akan memberitahu Non Ara, tapi tidak untuk sekarang."
Aku mengerti dengan ucapan mbok Inah yang sepertinya sedang menyimpan sesuatu mengenai orang tua mas Alzam.
Tak berapa lama mas Alzam sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Jika dilihat dari dekat, wajah mas Alzam terlihat tampan den berwibawa. Namun, sikapnya tidak bisa ditebak.
"Sepertinya ada masakan baru. Apakah ini kamu yang memasaknya?" tanya mas Alzam padaku.
Aku mengangguk pelan. "Iya Mas. Cobain ya," tawarku sedikit ragu.
Tak ada penolakan dari mas Alzam. Jelas saja aku menarik kedua garis bibirku dengan penuh bahagia.
Namun, senyumku harus pudar manakala mas Alzam mengangkat sebuah panggilan telepon dengan wajah yang berbinar.
"Kamu tunggu saja, setelah sarapan aku jemput kamu."
Aku sudah bisa memastikan jika yang menelepon adalah Aira. "Siapa Mas?" tanyaku pura-pura.
Sorot mata tajam itu seakan menusuk mataku. "Jangan melewati batas! Meskipun kamu adalah istriku, tapi aku tidak mencintaimu. Kedepannya jangan pernah mencampuri urusan pribadiku!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, mas Alzam berlalu tanpa berpamitan kepadaku. Aku hanya bisa mengelus dadaku dengan pelan seraya berdoa agar Tuhan tetap menguatkan hati ini.
Mbok Inah yang melihat segera mengelus lenganku. "Yang sabar ya, Non. Teruslah berdoa kepada Gusti Allah, semoga den Al bisa luluh kepada non Ara."
Ku anggukan kepalaku dan mencoba untuk biasa saja. Ternyata pernikahan yang baru berjalan dua hari ini terasa amat menyakitkan.
"Iya Mbok, aku gak papa, kok."
...~BERSAMBUNG~...
TERIMA KASIH ATAS KEHADIRAN KALIAN UNTUK MERAMAIKAN NOVEL INI 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Surati
sungguh kejam mulutmu mas Al....ntar awas kalo bucin😬😬😬
2023-02-04
0
Bidan Simba
dijual ibu sebagai penebus hutang🤦 eh sbntr dipoligami akan sakit hati Krn hanya sebagai pemuas dan istri penebus hutan..
2022-10-20
1
Nelly Katanya
mas Al abis makan abon cabe level brapa sih. pedas amat tu mulut
2022-10-16
0