...Kadang ada saat dimana aku harus menghadapi semua ini sendiri. Meski hati menangis, tak ada pilihan lain selain berusaha untuk TEGAR. Keadaan memaksaku harus KUAT, meskipun sebenarnya aku tak MAMPU....
...***...
Mas Alzam dan mbak Aira sudah tiba di rumah. Aku hanya bisa melihat senyum indah dari bibir mbak Aira saat mas Alzam menggandeng tangannya untuk menuju ke kamar. Kerapuhan hatiku kian mendalam. Ini tak adil untukku!
"Ra!" panggilan mas Alzam membuatku terkejut.
"Ada apa, Mas?" tanyaku datar.
"Aira sedang tidak enak badan, tolong kamu perhatikan dia. Satu lagi .... " Mas Alzam menjeda ucapannya. Kulihat dia sangat berat untuk mengatakan sesuatu padaku.
"Bersiaplah, nanti malam aku akan menjemputmu untuk menemaniku ke acara salah satu rekan kerjaku."
Aku mendongak. Dalam hati apakah tidak salah saat mas Alzam memilih untuk mengajakku pergi?
"Semua ini atas permintaan Aira," lanjutnya lagi yang memutuskan tingkat khayalanku.
Setelah berbicara seperti itu, mas Alzam segera berangkat ke kantor. Aku hanya bisa menatap punggung pria itu dengan tatapan layu. Seakan bunga yang ku sirami setiap hari telah bermekaran, tapi sayangnya duri disalah satu batangnya menusuk jariku. Meskipun terlalu indah untuk ku miliki, akan tetapi sangat menyakitkan.
"Mbok," panggilku dengan mencari keberadaan mbok Inah. Sejak kedatangan pengantin baru itu, belum kulihat sosok mbok Inah yang biasanya ada di dapur dengan segala kegiatannya.
"Mbok," ulang ku lagi. Namun, tak ada satu jawaban yang membalas panggilan ku. Aku semakin bertanya-tanya kemana perginya mbok Inah yang tak seperti biasanya.
"Mbok Inah kenapa?" tanyaku pada wanita paruh baya itu yang sedang menangis di dalam kamarnya.
"Non Ara." Isaknya, yang kemudian menghambur dalam pelukanku. Tangisannya malah kian menjadi dan pelukannya semakin erat. "Mbok kenapa?" tanyaku heran.
Mbok Inah langsung melepaskan pelukannya dan menunjukkan sebuah foto yang ada di layar ponselnya. "Astaghfirullahaladzim, ini siapa Mbok," tanyaku terkejut saat melihat foto seseorang yang sedang terbaring lemah dengan bantuan alat pernapasan dari rumah sakit.
"Dia anak mbok, Non. Mbok barusan dapat telepon dari kampung kalau anak mbok mengalami kecelakaan," isak mbok Inah dengan sesenggukan. Segera ku raih kembali tubuhnya dan ku bisikan kata sabar untuknya
"Semua cobaan datangnya dari sang pencipta, maka dalam keadaan seperti ini kita harus mendekatkan diri kepada-Nya dan memohon untuk kesembuhannya. Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak," bisik ku lembut kepada mbok Inah.
Kenyataan ini bukan hanya memukul mbok Inah saja, tetapi juga memukulku. Bagaimana tidak, saat ini juga mbok Inah meminta izin pada mas Alzam melalui sambungan telepon untuk pulang. Mbok Inah menjelaskan apa yang sedang terjadi. Dan mas Alzam juga mengerti akan keadaan mbok Inah.
"Non Ara harus bisa jaga diri dengan baik selama mbok masih di kampung," pesan wanita paruh baya yang sudah ku anggap seperti ibuku sendiri.
"Harus kuat dan sabar. Mungkin ini adalah titik menyakitkan untuk Non Ara, tapi percayalah bahwa akan ada hari cerah setelah hujan pergi."
Ku ukir senyum di bibirku untuk mengantarkan kepergian mbok Inah. Aku yang tak bisa mengendarai mobil ataupun sepeda motor hanya bisa mengantar mbok Inah sampai di depan rumah.
"Ingat pesan mbok ya, Non. Jika memang sudah tidak sanggup, menyerahlah dari pada harus tersiksa." Ku anggukan kepalaku saat mbok Inah sudah naik kedalam mobil. Tak lupa ku lambaikan tanganku untuk mengiringi kepergiannya.
Seketika senyumku luntur saat aku mulai masuk kembali ke dalam rumah. Saat ini tak akan ada lagi orang yang akan memberikan ku kekuatan, terlebih saat ini aku satu atap dengan istrinya suamiku.
***
Mbak Aira terkejut saat ku katakan jika mbok Inah sudah pulang kampung. Bahkan dia kecewa mengapa sampai tak diberi tahu saat mbok Inah akan pulang.
"Mbok Inah tidak ingin membuat mbak Aira mengkhawatirkannya, karena saat ini mbak Aira sedang tidak fit," ujar ku saat mbak Aira bertanya tentang mbok Inah.
Mbak Aria pun memahami keadaannya karena saat ini dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya masih lemas meskipun satu harian berada di dalam kamar. Namun, untuk suhu tubuhnya sudah normal.
"Mas Al udah kasih tahu ke kamu 'kan, Ra?" tanya mbak Aira saat aku ingin keluar dari kamarnya.
Aku hanya bisa mengangguk pelan.
"Aku minta maaf ya, sudah merepotkan mu. Kata dokter aku memang tak boleh terlalu banyak beraktivitas karena saat ini aku sedang menjalankan program kehamilan. Aku memang sedang menjalani proses ini agar mas Al tak melirik wanita lain. Dengan hadirnya malaikat kecil, aku yakin bisa mengunci hatinya mas Al," ucap mbak Aira padaku. Aku hanya bisa tersenyum tipis.
Sesuai dengan janji mas Alzam, tepat pukul 7 malam dia pulang. Mbak Aira segara menyambut kedatangannya dengan menghambur kedalam pelukannya. "Akhirnya kamu pulang juga, aku kangen," rengek mbak Aira. Satu kecupan mendarat di pipi mbak Aira. "Aku juga kangen, tapi sepertinya aku juga harus berangkat. Kamu gak papa 'kan di rumah sendirian. Nanti begitu acara telah usai, aku akan segera pulang. Kamu beristirahat saja," kata mas Alzam dengan penuh kasih sayang.
Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum getir dan menertawakan kebodohanku. Sudah jelas-jelas aku tak akan pernah dianggap, tetapi masih bersikeras untuk tetap bertahan. Apa yang ingin aku pertahanan?
"Ra, malam ini jagain suami aku ya! Langsung lapor jika dia ketahuan menggoda wanita lain," ujar mbak Aira dengan penuh semangat.
"Apakah kamu masih merasa curiga jika aku menjalin hubungan dengan wanita lain? Kamu berlebihan, Sayang. Aku tidak akan pernah memberikan hatiku kepada orang lain, karena hati ini telah ku serahkan semuanya padamu."
"Kamu bisa aja, Mas."
Akhirnya setelah puas dengan drama yang luar biasa, mas Alzam langsung membawaku menujukan tempat acara berlangsung. Ternyata malam ini adalah acara pernikahan salah satu rekan kerjanya. Mbak Aira hanya mengunakan ku untuk mengawasi gerak-gerik mas Alzam selagi berada disana.
"Jika bukan karena Aira yang meminta, aku tidak akan mau untuk membawamu kesana," ujar mas Alzam tanpa ekspresi.
"Aku pun juga sama," balasku datar. "Mungkin ini adalah malam terakhir kita untuk bersama, karena mulai besok aku akan meninggalkan rumahmu, Mas," kata ku dengan pandangan lurus ke depan.
Mas Alzam menginjakkan rem dan menatap tajam kearah ku." Apa maksudmu?" tanyanya.
Kuberikan diri untuk menatap pria yang ada di sampingku dan berkata, "Sudah pernah ku katakan padamu,.aku bisa terima jika kamu menikah dengan Aira, tapi aku tidak akan bisa jika harus tinggal satu atap dengannya. Dan saat ini kamu sudah membawanya pulang, maka dengan berat hati aku yang akan melangkah pergi," kataku dengan menahan air mata.
"Aku tidak akan pernah sanggup jika satu atap dengan orang yang tidak bisa menghargai ku, terlebih hanya menganggap ku sebagai seorang pembantu. Jika kamu ingin marah silahkan! Jika kamu ingin menurunkan ku disini silahkan! Aku tidak tahu dengan caramu berpikir, Mas! Kamu tidak mencintaiku tapi kamu masih menggauliku layaknya istrimu, tapi sisi lain kamu juga tak ingin melepaskanku. Sebenarnya mau kamu apa Mas? Jangan menambah luka di hatiku, sebelum luka itu kian membesar!"
Tak bisa lagi ku tahan emosi yang sudah menggebu. Meskipun ibuku yang salah, tapi tak seharusnya mas Alzam melampiaskan semua kesalahan ibu padaku. Saat ini, cukup sudah aku menahan rasa sakit yang bertubi-tubi. Mungkin dengan cara pergi menghilang adalah keputusan yang lebih baik.
.
.
.
.
.
...Satu sayatan akan meninggalkan jejak, meskipun seribu tahun telah berlalu....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Surati
good Ara , kudukung keputusanmu
2023-02-04
0
Santi Liana
bagus Zahra mg km ga cm ngomong aja,aq mohon pergi lh tinggalin alzam
2022-11-04
1
ipit
nah gitu dong zahra.... jangan mau kalah mentang kita perempuan se enak jidat nya aja gak mikirin perasaan orang...
2022-10-21
1