Tak terasa pernikahanku sudah berjalan tiga bulan. Tak ada yang berbeda dengan sikap mas Alzam padaku. Malah semakin hari hubungan mas Alzam dengan Aira semakin dekat. Bahkan tak ragu-ragu mas Alzam sering membawa Aira pulang ke rumah. Dan yang lebih parahnya, di depan Aira aku hanya dianggap sebagai pembantu oleh mas Alzam.
"Pagi Zahra, mas Al masih di rumah 'kan?"
Aku mendongak menatap Aira yang baru saja datang. Ku sambut kedatangannya dengan seuntai senyum yang mengembang di bibirku. "Mas Al baru saja berangkat," jawabku dengan sopan.
Aira mengangguk pelan lalu mengajakku untuk masuk. Tangannya yang menenteng beberapa papar bag langsung diserahkan kepadaku. Aku hanya bisa tersenyum tipis. Sampai kapan Aira menganggap ku pembantu. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa karena peringatan mas Alzam yang melarang ku untuk tak ikut campur dalam urusan pribadinya.
"Mbok Inah mana, Ra?" tanya Aira saat matanya mengedar tak menemukan sosok mbok Inah.
"Oh, mbok Inah lagi ke pasar," jawabku santai.
"Ra, lusa aku sama mas Al ada reunian ke Bandung, gimana kalau kamu bantuin aku nyari baju. Rencananya aku mau pakai yang senada dengan bajunya mas Al."
Aku tersenyum getir. Mungkin bibirku bisa tersenyum, tapi tidak dengan hatiku yang sedang remuk redam. Istri mana yang sanggup merelakan kepergian suaminya bersama dengan wanita lain.
"Tapi aku sibuk, Mbak," tolak ku pelan.
"Kamu tenang aja, kan ada mbok Inah. Nanti kalau mas Al marah biar aku yang menghadapinya." Aira tetap memaksaku meskipun aku sudah menolaknya.
Di dalam sebuah Mall, Aira membawaku ke toko baju. Tangannya lihai dalam pilih-memilih. Sedangkan aku, hanya sekedar menyentuh saja tanganku sudah bergemetar saat melihat bandrol yang menggantung. Berulang kali Aira menanyakan padaku apakah baju ini cocok dengan dirinya apa tidak.
Semua pilihan Aira aku anggukan, karena semua memang bagus dan cocok ditubuhnya.
"Ra, kamu gak terpikirkan ingin melanjutkan kuliah? Kalau kamu ada tamatan kuliah kan setidaknya kamu bisa kerja di kantoran. Gajinya pun juga lumayan besar. Kamu masih muda lho, Ra. Masa depan kamu itu masih panjang. Masa iya perempuan cantik sepertimu menjadi ART," kata Aira dengan tatapan yang sulit diartikan. Entah apa yang dipikirkan oleh Aira. Apakah dia merasa tidak suka dengan keberadaan ku di rumah mas Alzam atau memang Aira sedang menasehati ku.
"Biaya kuliah mahal, Mbak."
Bukan aku tidak mau untuk melanjutkan ke jenjang kuliah. Saat ini keadaan ku sudah berbeda. Bahkan sampai saat ini tak sepeser pun aku diberi uang oleh mas Alzam untuk biaya kebutuhanku.
"Kan kamu bisa mencari beasiswa, Ra. Kalau kamu mau, aku punya kenalan disalah satu Universitas. Kalau kamu mau, aku bisa membantu mu," tawar Aira. Kali ini aku bisa melihat keseriusan dari wajah Aira.
"Kamu bisa kerja paruh waktu. Jika mas Al marah, kamu bisa panggil aku untuk menjinakkan serigala buas itu."
Aku belum bisa memberikan jawaban. Ada baiknya jika aku berdiskusi terlebih dahulu dengan mas Alzam. Biar bagaimanapun dia adalah suamiku, meskipun sikapnya tak mencerminkan sebagai seorang suami.
Cukup lama aku menemani Aira berbelanja. Kini beberapa papar bag telah ku tenteng. Miris rasanya saat Aira benar-benar percaya jika aku adalah seorang pembantu.
"Ra, makasih ya udah menemaniku berbelanja hari ini." Aira melambaikan tangan setelah menurunkan ku di depan rumah mas Alzam. Aku hanya bisa mengangguk pelan dengan membalas lambaian tangan Aira.
Sesampainya aku di dalam rumah, ku lihat mas Alzam sudah duduk di ruang tamu. Dengan mata yang tajam, mas Alzam bertanya, "Dari mana?" ketusnya.
"Aku mengantar mbak Aira berbelanja, Mas," jawabku gugup karena sorot mata mas Alzam terlihat menyeramkan.
"Apa tujuanmu mendekati Aira? Apakah kamu ingin memberitahu jika kamu adalah istriku agar Aira meninggalkan ku?" tanya mas Alzam dengan sorot mata yang menyala.
"Astaghfirullah, Mas. Meskipun aku tahu jika mbak Aira adalah tunangan mu, tapi aku tak seburuk yang kamu tuduhkan, Mas!" Dadaku yang sesak memilih meninggalkan mas Alzam yang masih menegang.
Ini adalah kali pertama aku memberanikan diri untuk berbicara dengan nada tinggi. Setelah setengah hari aku menemani tunangannya, kini aku malah mendapatkan tuduhan dari suamiku. Seharusnya aku yang marah karena dengan jelas suamiku menjalin hubungan dengan perempuan lain di depan mataku.
"Sudah ku katakan, jangan menangis! Aku benci dengan air mata!" ucap mas Alzam yang sudah berada di belakangku.
Segera ku usap jejak air mata yang baru saja tumpah. Sungguh aku tidak mengerti dengan sikap mas Alzam. Dia tidak memiliki rasa cinta, tetapi hampir setiap malam dia menjamah ku.
"Kamu harus tahu jika Aira adalah satu-satunya perempuan yang aku cintai. Jangan sedikitpun berpikir untuk mencelakai dia jika tidak ingin berurusan denganku!" tekan mas Alzam tepat ditelinga ku.
Aku tidak peduli dengan ancaman mas Alzam karena niatku tulus, meskipun hatiku perih. Selamanya aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Aira. Bahkan dari segi keluarga, Aira-lah yang lebih unggul.
***
Hari yang telah nantikan oleh Aira pun telah tiba. Pagi ini dia sudah tiba di rumah mas Alzam dengan koper yang telah dia seret. Setelah mengucapkan salam, Aira langsung masuk dan segera memeluk tubuh mas Alzam dari belakang.
"Mas, aku rindu," ujarnya dengan mengeratkan pelukannya.
Aku dan mbok Inah segera membuang muka saat dua sejoli sedang dimabuk asmara. Tanpa memiliki rasa malu, Alzam pun segera membalikkan badan dan membalas pelukan Aira. "Aku juga sangat merindukanmu. Bagaimana, kamu sudah siap?" tanya mas Alzam pada Aira yang berada dalam dekapannya.
"Sudah dong," jawab Aira.
"Mbok Inah jaga rumah ya. Aku sama Aira hanya pergi 2 hari saja," kata mas Alzam sambil melirik kearahku.
"Tenang saja Den, pasti aman selagi ada Mbok."
Aku sama sekali tak berarti di mata mas Alzam. Percuma saja jika aku berharap bisa mengikis batu karang, jika nyatanya tenagaku tak sekuat deburan ombak di lautan.
"Ra, kami pergi dulu ya." Aira memberikan sebuah pelukan singkat kepadaku. "Kami hanya sebentar, jadi kalian tidak usah merindukan kami," ucap Aira dengan candanya.
Ku anggukan kepalaku dengan pelan sambil berkata, "Hati-hati di jalan," ucapku sambil melirik kearah mas Alzam.
Sepeninggal mereka berdua, mbok Inah langsung mendekatiku. "Non Ara yang sabar ya. Mbok tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Non Ara. Teruslah berdoa pada Gusti Allah, semoga pintu hati den Al bisa terbuka lebar," ucap mbok Inah yang berusaha untuk menguatkan hatiku.
"Iya Mbok, aku pasti bisa melewati semua ini," jawabku dengan berat. Padahal aku sendiri tidak yakin apakah aku bisa melewati semua ini dengan kuat.
...~BERSAMBUNG~...
MON MAAF JIKA MASIH BANYAK TYPO BELUM SEMPAT EDIT. HUJAN DERAS, SINYAL ILANG-ILANG TIMBUL.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Surati
mas Al egois.... kok gk ngasih yang nafkah, biar uang tersebut dipake Ara utk menebus utang ibunya ka kamu
2023-02-04
0
Santi Liana
berharap alzam nyesel😭😭
2022-11-04
2
Bidan Simba
Sebagai org mencegah kebawa mungkin Pasrah jalan yg tepat tp harus juga optimis... semoga Kamu bisa setelah Ini kamu bujuk ayra untuk bisa kuliah dan kerja harus mandiri... menebung dan jika waktunya kamu pergi saja .. bhgiakan diri itu juga kewajiban...
2022-10-20
1