...Menangislah jika memang itu perlu. Karena tangisan bukan jaminan kelemahan seseorang. Terkadang tangisan bisa menjadi sahabatmu dalam kesusahan. Memendam rasa sakit hanya akan membuatmu tersiksa...
...***...
Sudah cukup Air mata ini aku keluarkan, karena hanya sia-sia saja. Nyatanya mas Alzam tak bisa menghentikan langkahku untuk meninggalkan rumahnya.
Pagi ini setelah ku tunaikan kewajiban sholat subuh, aku segera meninggalkan kamar yang baru aku tempati malam tadi. Tak lupa ku tinggalkan sepucuk surat diatas nakas, berharap jika mas Alzam yang menemukan surat ini. Aku sengaja tak memberitahukan kepergian ku secara langsung, tetapi seharusnya mas Alzam peka dengan penjelasan ku tadi malam.
Lebih baik pergi daripada batinku semakin tersiksa.
Saat ini belum terbesit dalam hati akan kemana kaki ini melangkah. Aku tak punya tujuan. Apalagi berada di tengah-tengah kota metropolitan seperti ini. Bahkan satu orang pun tak ada yang aku kenali.
Karena masih begitu pagi aku pergi, aku belum sempat sarapan. Perutku sudah melilit untuk meminta jatahnya. Beruntung masih ada sisa uang dari hasil jualan kue beberapa hari yang lalu. Saat ini aku harus bisa bertahan dengan sisa uang yang kumiliki. Kartu ATM yang pernah diberikan mas Alzam pun ku tinggalkan di samping surat.
"Mau kemana, Neng," tanya supir taksi yang sekilas melirik kearah ku. Aku tak bisa memberikan jawaban cepat kepada Pak sopir, karena aku sendiri juga tidak tahu akan pergi kemana.
"Neng," panggil Pak sopir lagi.
"Sebenarnya saya tidak punya tujuan mau ke mana Pak. Saya hanya sedang ingin menenangkan diri," ujar ku.
Sekilas, Pak sopir melirik ku dari kaca spionnya. "Neng lagi kabur?" tanyanya lagi.
Aku hanya bisa tersenyum getir karena aku juga tidak tahu apakah perbuatan ku ini bisa dibilang kabur. "Yah, namanya juga orang hidup pasti akan ada masalah yang datang, kecuali kalau udah meninggal," katanya lagi.
Aku tidak tahu akan dibawa ke mana. Pak sopir itu terus mengemudikan mobilnya meskipun aku tidak mempunyai tujuan.
"Lagi ada masalah sama keluarga ya?"
Lagi-lagi aku hanya menarik tipis garis bibirku.
"Kalau Neng mau, Neng bisa tinggal di rumah bapak. Kebetulan istri bapak sedang butuh tenaga untuk membantunya berjualan di kantin. Gimana, Neng?"
Mataku membulat lebar. Tak ku sangka jika akan ada orang baik yang mau menolongku, padahal kami tidak saling mengenal. Dengan anggukan cepat, aku menyetujui tawaran dari Pak sopir.
"Iya, Pak. Saya mau," ucapku dengan penuh kegirangan.
"Ya sudah kalau begitu kita putar balik. Kontrakan bapak ada di dekat sebuah kampus. Ngomong-ngomong, nama Neng siapa?"
"Saya Zahra, Pak. Tapi sering dipanggil Ara," jelas ku.
Pak sabar itu mengangguk pelan. "Panggil saja aku pak Aji," timpal Pak sopir itu.
Tidak membutuhkan waktu lama kini, Pak Aji telah membawaku ke rumah kontrakannya. Aku sangat terkejut karena ternyata kontrakan rumah Pak Aji berdekatan dengan salah satu Universitas terbaik di kota ini. Bahkan itu adalah salah satu Universitas impianku sejak aku duduk di bangku SMP.
"Istri Pak Aji berjualan di kantin kampus itu Pak," tanya aku dengan jari telunjuk yang mengarah ke kampus yang ada di depan.
"Iya, Neng. Istri bapak sudah lama berjualan di sana. Bahkan anak bapak juga kuliah di sana, tapi sekarang dia melanjutkan S2 nya ke luar Negeri," jelasnya.
Hatiku sedikit terhibur dengan penjelasan Pak Aji. Mungkin dengan cara seperti ini aku bisa mencari beasiswa untuk bisa masuk ke Universitas ini. Dalam hati aku berjanji tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ada di depan mata aku.
Pov Author
Alzam terkejut setelah membaca sebuah surat yang ditinggalkan oleh Zahra. Tatapan matanya kosong saat mengingat kata-kata Zahra malam tadi jika. Tak disangka jika Zahra bisa senekat itu.
"Mas Al. Aku cariin ternyata di sini," kata Aira yang melihat Alzam tengah duduk di tepian ranjang. Dengan cepat Alzam menyembunyikan sebuah kertas yang baru saja dia baca. Dia tidak ingin Aira mengetahui apa yang sedang terjadi.
"Zahra ke mana ya? Pergi kok nggak bilang-bilang," kata Aira yang merasa putus asa untuk mencari Zahra.
"Aku baru dapat pesan, ternyata Zahra pulang ke kampung. Keluarganya sedang sakit keras makanya dia tidak sempat untuk membangunkan kita dari pagi," kilah Alzam.
"Ya ampun Mas, kasihan banget Zahra. Kalau tahu kan aku bisa titipkan biaya pengobatan untuk keluarganya," kata Aira dengan ketulusannya.
Alzam tak bergeming menatap istrinya yang begitu sangat khawatirkan keadaan Zahra. Sedangkan dirinya sebagai seorang suami tega membiarkan sejarah pergi begitu saja.
Dua pilihan yang sulit untuk dipertahankan. Antara cinta dan tanggung jawab. Alzam tak bisa melepaskan cintanya pada Aira dan juga tak bisa melepaskan tanggung jawabnya pada Zahra yang sudah dia ambil dari ibunya.
Memang tak seharusnya Alzam melampiaskan kekecewaannya pada ibu Zahra. Yang mempunyai sangkut-pahut adalah dia dengan ibunya, bukan dengan Zahra.
"Kok masih bengong disini sih, Mas? Ayo hubungi Zahra!"
"Kamu yang tenang nanti jatuh sakit lagi. Sekarang aku yang akan mengurus Zahra." Alzam kemudian membawa tubuh Aira untuk keluar dari kamar Zahra. Kali ini hatinya benar-benar kalut. Dia tidak tahu kemana perginya Zahra di tengah-tengah kota metropolitan seperti ini.
Kembali Pov Zahra
Kedatanganku disambut ramah oleh istrinya pak Aji yang bernama Bu Endang. Dia sangat baik dan ramah. Bahkan untuk sementara waktu aku diizinkan untuk tinggal bersama dengan mereka. Sungguh sebuah anugerah tak terduga, padahal kami baru saja mengenalnya.
"Neng Ara udah siap?" tanya buk Endang yang melihatku sudah siap. Hari ini adalah hari pertamaku untuk membantu Bu Endang berjualan di kampus.
"Udah dong, Bu," jawabku mantap yang kemudian mengikuti langkah Bu Endang meninggalkan rumah kontrakannya.
Tak berselang lama, kami berdua pun telah sampai di gedung kampus. Karena hari masih terlalu pagi, belum ada mahasiswa yang datang dan ini adalah kesempatan kami untuk menyiapkan dagangan kami. Aku tak menyangka jika bisa menginjakkan kaki di sebuah kampus impian, meskipun hanya sebagai pelayan di kantin.
"Neng, biasanya kalau jam 9 itu puncaknya keramaian kantin ini. Jadi sebelum jam 9, semua harus sudah ditata dan disiapkan ya!" jelas Bu Endang.
"Siap, Bu," jawabku antusias.
Ku lakukan apa yang menjadi tugas, mulai dari menyapu, mengelap meja dan kursi serta menata perlengkapan lainnya. Tak ku sangka, satu, dua orang mahasiswa telah mengunjungi kantin.
"Pesan apa, Mas?" tanyaku ramah kepada seorang mahasiswa yang sudah duduk di sebuah meja. Namun, tubuhku harus membeku saat ku lihat wajah yang sedang menatapku tanpa berkedip.
"Mas Kanna." Ku ucapkan nama Mas Kanna, anak Bu Yeni yang sempat mengantarkanku beberapa waktu yang lalu. Mas Kanna pun tak kalah terkejut saat melihatku dengan celemek yang ku kenakan.
"Ara," lirihnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Surati
yeaayyyy lepas dari kandang buaya.....senangat Ara menjemput masa depanmu. yuhuiiiiii
2023-02-04
0
Benazier Jasmine
semoga zahra bs berjodoh dg arkana, g rela zahra balik alzam sdh sangat menyakiti zahra
2022-11-05
0
Santi Liana
semoga Kana TDK membocor kn keberadaan ara
2022-11-04
1