La Tahzan

La Tahzan

KELUARGA BAHAGIA

Matahari pagi telah mengintip dari balik dedaunan. Jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Suasana perumahan Alam Citra di Surabaya tampak sudah mulai ramai. Beberapa penghuni ada yang joging, sekedar jalan pagi. Bahkan ibu-ibu sedang berkumpul membeli sayur sambil sesekali bergosip ria.

Rania sudah bangun dari subuh tadi dan menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Sudah menjadi rutinitasnya jika ia bangun di waktu subuh untuk sholat dan segera menyiapkan segala keperluan keluarganya. Tiga piring nasi goreng spesial sudah terhidang di meja. Dua gelas susu dan dua cangkir kopi juga sudah terhidang di sana. Mata cantiknya itu berkeliling mencari kedua anak dan suaminya. Tadi pagi, Ardan dan Husna sudah ia bangunkan. Sepertinya mereka sedang mandi. Terdengar gemericik air di kamar mandi, saat Rania mencoba mengintip kamar keduanya.

Kemudian ia berjalan menuju kamarnya untuk melihat apakah Bima, suaminya sudah bangun atau belum. Tadi pagi saat adzan subuh, ia sudah membangunkan Bima. Tetapi Bima tak bergeming sama sekali. Rania mencoba mengerti akan hal itu. Mungkin dia kelelahan, batinnya. Saat perempuan berhijab itu membuka pintu kamarnya, ia melihat Bima masih tergolek di tempat tidurnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian, ia membuka korden jendela kamarnya, membuat sinar matahari yang sudah terang menyorot langsung ke Bima.

Silau karena terangnya sinar matahari yang tiba-tiba masuk, membuat Bima spontan menutupi dirinya dengan selimut. Rania menghela napas pendek. Ia mulai kesal dengan sikap suaminya itu. Timbullah niat untuk menggoda laki-laki bertubuh kekar di hadapannya itu. Rania memeluk tubuh suaminya dari belakang dan mematikan ac ruangan kamarnya. Satu, dua, tiga menit berlalu. Bima membuka selimutnya karena kepanasan.

"Aduh, Yang. Panas!," serunya berusaha melepaskan selimut dari badannya. Namun, selimut itu hanya turun sepinggangnya karena ada tangan Rania yang melingkar di perutnya. Bima menghela napas tanda kalah dengan wanita kesayangannya itu. Ia berbalik, menghadap Rania. Dengan senyum di muka bantalnya ia menyapa Rania.

"Pagi, Yang. Lepasin dong? Panas nih," pinta Bima memelas. Rania pun melepas pelukannya. Ia tersenyum melihat suaminya melepaskan diri dari selimut tebalnya itu.

"Kamu kok nggak bangunin aku, Yang? Kelewat sholat subuh akunya," ujar Bima.

"Aku itu udah bangunin kamu sampe 3 kali ini lho, Yang," jawab Rania. Ia tersenyum geli dengan tingkah Bima yang terkadang manja. Bahkan lebih manja dari dirinya. Tetapi, ada saatnya ia tegas dan tak bisa dibantah.

"Oya?," tanya Bima mengernyitkan dahinya. Rania mengangguk senyum.

"Sudah, enggak apa-apa, Yang. Kamu kecapekan kayaknya. Sekarang bangun dan mandi dulu sana. Aku sudah siapin nasi goreng sama kopi buat sarapan," kata Rania. Ia kemudian bangun hendak keluar untuk memeriksa anak-anaknya. Namun, tangan Bima menarik tubuhnya kembali ke kasur.

"Makasih, Sayang," kata Bima sembari mencium bibir istrinya yang ranum itu. Mereka saling berpandangan. Bima mendekatkan wajahnya dan tiba-tiba ia menciumi pipi, hidung, dahi dan dagu Rania dengan cepat membuat Rania geli. Setelah itu Bima langsung bangun dan lari ke kamar mandi.

"Bimaaaaa," seru Rania kesal. Bima hanya tertawa dari kamar mandi. Ia tampak senang sudah menjahili istrinya itu. Rania bangun dan membetulkan jilbabnya. Ia merapikan jilbabnya di depan cermin. Kemudian, ia terpaku pada tubuhnya di cermin. Badannya sedikit lebih berisi. Wajahnya masih cantik walaupun tanpa polesan make up. Ia tak pernah menggunakan make up karena Bima memang tak pernah menyukainya. Ia hanya cukup merawat diri. Dan hasilnya, meski sudah masuk kepala 3, wajahnya bersih dan kencang.

"Mama!," terdengar suara Husna, anak bungsunya. Rania terhenyak dari lamunannya. Ia pun keluar kamarnya menuju kepada Husna.

 

🍁🍁🍁

 

Sepeninggal suami dan anak-anaknya, Rania akan berkutat dengan pekerjaan rumahnya. Ia hanya perlu merapikan kamarnya sendiri. Kamar anak-anaknya sudah dirapikan oleh mereka sendiri. Ia memang mengajari Ardan dan Husna untuk belajar mandiri. Ardan sudah 9 tahun dan Husna 7 tahun. Waktu berjalan terasa begitu cepat.

Usia pernikahan Rania dan Bima ternyata sudah berjalan sepuluh tahun lebih. Iya karena setahun setelah menikah, Rania memiliki Ardan, anak pertama mereka. Dua tahun kemudian disusul dengan kehadiran Husna, putri cantiknya. Sepuluh tahun mereka lalui dari Bima hanya sebagai karyawan kontrak, hingga sekarang menjadi salah satu tangan kanan direkturnya.

Rania tersenyum ketika melihat foto pernikahannya itu. Itu adalah pernikahan penuh drama dalam hidupnya. Rania ingat, ia baru saja wisuda saat itu, dan memutuskan menikah dengan Bima, yang hanya karyawan kontrak di sebuah perusahaan advertising. Orang tua Rania sangat tak setuju dengan pernikahan itu. Namun, seiring berjalan waktu mereka mulai menerima Bima dan anak-anaknya. Apapun yang terjadi, Rania tak pernah mengeluh kepada orang tuanya. Ia tak ingin membuat mereka sedih. Lagipula memang tak perlu ada yang dikeluhkan. Bima masih Bima yang dulu ia kenal. Bima yang masih setia dan menyayanginya.

Bima sendiri selalu memprioritaskan keluarganya, terutama Rania. Ia selalu berusaha memenuhi apapun keinginan Rania. Ia tak mau Rania terlalu stress, maka ia mengatur keuangan sendiri. Ia selalu meminta daftar belanja bulanan, kemudian berbelanja bersama. Sisa uang belanja itulah yang ia berikan kepada Rania sebagai nafkah. Ia tak ingin Rania bekerja. Ia ingin Rania fokus mengurus rumah dan anak-anaknya. Maka dari itu, sisa bersih uang gajinya ia berikan kepada Rania sebagai nafkah. Rania sudah teramat sangat paham dengan perilaku suaminya itu. Ia tak pernah protes. Uang yang ia terima selalu ia tabung diam-diam.

Siapapun akan iri melihat keharmonisan mereka. Rania memang selalu berusaha menutupi kekurangan Bima. Begitu pula sebaliknya.

"Bukankah istri adalah tulang rusuk dan suami adalah jantungnya? Tulang rusuklah yang melindungi jantung," Rania selalu mengingat kata ustadzah setiap pengajian. Itulah yang ia pegang selama ini. Di setiap do'anya ia selalu memohon agar rumah tangganya selalu baik-baik saja. Ia ingin menghabiskan akhir hayatnya hanya dengan Bima seorang sebagai suaminya. Ia berdoa tak ada pernikahan kedua dalam hidupnya.

 

🍁🍁🍁

 

Di tempat lain, Bima sedang meeting dengan kliennya. Ia ditemani dengan seorang gadis muda nan enerjik sebagai sekretarisnya. Sebenarnya Anggita, demikian nama gadis itu adalah sekretaris atasannya, Pak Lutfi. Hanya saja hari ini ia menggantikan Pak Lutfi untuk meeting dan ia bebas membawa Anggita hari ini.

"Jadi, ini semua penawaran dari kami," kata Anggita menyudahi presentasinya. Senyum manis mengembang di bibir berlipstik merah itu. Klien itu membaca proposal mereka sekilas.

"Kami akan mempelajarinya lagi. Minggu depan akan kami info kembali," jawab klien itu dingin. Kemudian, klien itu pamit. Senyum manis Anggita langsung menghilang begitu mereka pergi. Ia menghela napas kesal. Bima sedari tadi memperhatikan gerak gerik Anggita.

"Dasar! Sombong benar! Padahal sudah dikasih harga murah, masih juga dipertimbangkan," gerutunya seolah untuk dirinya sendiri. Ia kemudian meneguk jus jeruk dihadapannya hingga setengah gelas. Ia lupa bahwa Bima, atasannya masih di sana. Begitu ia menyadari sedang diperhatikan Bima, ia menurunkan gelasnya perlahan dan menunduk malu.

"Maaf, Pak Bima," katanya sopan. Bima tertawa keras sekali. Ia sudah tak tahan melihat tingkah laku sekretarisnya itu.

"Kamu ini lucu sekali! Sudah santai aja! Panggil aja Bima. Berapa sih umur kamu, Nggi?," tanya Bima masih dengan sisa tawanya. Anggita kemudian tersenyum sumringah melihat sikap santai Bima.

"Dua tiga, Pak," jawab Anggita cepat.

"Tuh kan, Pak lagi. Kita lho seumuran kalau angkanya dibalik," ujar Bima bercanda. Anggita tertawa.

"Bima, Bima. Kalau dibalik ya ngejungkir dong! Enggak kebaca!," timpal Anggita. Keduanya tertawa kembali. Kemudian obrolan santai itu pun berlanjut dengan banyak hal seru lainnya.

"Kamu cantik," kata Bima. Pipi Anggita merona dipuji oleh lelaki setampan Bima. Sayang, sudah punya istri, batin Anggita sedikit kecewa. "Pacar kamu nggak marah kalau kamu tinggal kerja bareng Pak Lutfi gitu?," tanya Bima lagi.

"Jojoba aku, Bim," jawab Anggita kemudian.

"Jojoba?," Bima balik bertanya tak mengerti. Anggita tertawa kecil. Ia lupa, Bima sembilan tahun lebih tua darinya.

"Jomblo-jomblo bahagia," jelas Anggita. Bima tertawa. Setelah membayar bill makan siang mereka, Bima mengajak Anggita kembali ke kantornya. Dan dimulailah kisah ini

 

🍁🍁🍁

 

Terpopuler

Comments

PraSetyo Azzahra Salile Wiwi

PraSetyo Azzahra Salile Wiwi

Hay kk, aku mampir yah

2023-02-24

0

🌼stfaiza

🌼stfaiza

permisi...aq mampir thor
🤭🤭🤭🤭

2022-09-10

0

Maulina Kasih

Maulina Kasih

blm apaan udah main puji cewe lain....udah kliatan emang belangnya...gedeg banget laki model ginian...istri dirumah gak suka liat klo dandan...tp liat anggita bibir merah lipstik dibilang cantik..

2021-08-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!