NIKAH SIRI

Senja telah berganti malam. Bima memarkirkan mobilnya di depan sebuah kosan elite daerah Airlangga, Surabaya. Ia berjalan terburu-buru menuju area kosan tersebut. Seorang satpam mendatanginya.

"Mau cari siapa, Pak?," tanya satpam itu sopan.

"Anggita, Pak. Kamarnya yang sebelah mana ya?," tanya Bima kemudian.

"Njenengan siapanya nggih?," tanya satpam itu lagi.

"Saya temennya, Pak. Ada hal penting yang harus saya sampaikan," jawab Bima berbohong. Kemudian, satpam itu menunjuk satu kamar yang ada di pojok. Bima mengucapkan terima kasih dan bergegas menuju kamar Anggita. Sesampainya di depan kamar Anggita, Bima mengetuknya dengan cukup keras.

Tak berapa lama Anggita membuka pintunya. Ia mendengus kesal begitu melihat siapa yang datang. Padahal, ia masih ingin santai setelah seharian disibukkan dengan file Pak Lutfi dan pertengkarannya dengan Bima. Bahkan, ia belum mengganti baju kerjanya.

"Kenapa?," tanya Anggita dingin. Ia berdiri di depan pintu dengan pintu yang setengah terbuka. Rambutnya terurai dengan indahnya menutupi bahunya.

"Aku mau ngasih tahu keputusanku!," jawab Bima cepat. Anggita tersenyum sinis, meskipun hatinya was-was. Jantungnya berdegup kencang. "Kamu ikut aku sekarang!," ajak Bima. Anggita mengernyitkan dahinya.

"Kemana?," tanya Anggita.

"Nanti kamu juga tahu!," jawab Bima sambil menarik tangan Anggita. Anggita menurut ketika Bima mengajaknya keluar dan menaiki mobilnya. Mobil itu melaju melewati kota-kota. Anggita tak tahu Bima akan membawanya kemana. Ia berharap bukan ke tempat yang buruk. Mobil berhenti di depan sebuah musholla.

"Ngapain kita di sini?," tanya Anggita. Ia benar-benar tak mengerti apa maksud Bima mengajaknya ke musholla. Mengaji? Itu tidak mungkin apalagi ia hanya berpakaian kerja tanpa kerudung. Bima melemparkan sebuah kain kepada Anggita.

"Pakai itu!," ucap Bima. Ia sendiri menggunakan peci hitam dan menggunakan jas hitamnya juga. Anggita merentangkan kain kerudung yang diberikan Bima. Ia memakainya tanpa bertanya. Ia pun keluar dari mobil dan mengikuti langkah Bima dengan ragu menuju musholla.

Mereka masuk ke dalam musholla. Di sana sepi. Sholat isya' juga telah usai. Anggita melihat ada 4 orang laki-laki di sana. Anggita mengenal salah satunya. Abdul. Teman sekantor mereka. Di sana juga ada Al Qur'an dan alat sholat yang masih terbungkus rapi. Ada sebuah cincin kecil juga. Fix ini ada pernikahan. Lalu, apa maksudnya Bima mengajaknya ke sini. Anggita masih ragu-ragu mendekat.

"Sini, duduk!," kata Bima. Anggita duduk di sebelah Bima.

"Baik, mau dimulai sekarang?," tanya seorang bapak yang duduk di depan mereka. Dimulai? Apanya?, batin Anggita tak mengerti.

"Wait! Maaf, ada yang bisa jelasin sama saya ada apa ini?," tanya Anggita pada semua yang ada di sana. Semua mata akhirnya tertuju pada Bima. Bima berdehem sebentar.

"Nggi, kamu minta aku ambil keputusan secepatnya. Dan ini keputusan aku. Aku nikahin kamu! Walaupun secara siri, tapi aku tetap akan bertanggung jawab dan meresmikannya dalam beberapa hari ke depan," jelas Bima. Anggita melongo mendengar penjelasan Bima. Ia masih tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Saat tadi kamu pulang buru-buru, aku sadar. Aku harus memilih segera. Aku memilih menepati janjiku padamu," kata Bima lagi. Ia memegang kedua tangan Anggita. Anggita mengangguk senyum.

"Jadi nikah enggak nih? Kasihan bokap gue!," seru Abdul. Jujur ia sangat tak menyetujui pernikahan ini. Rania juga sahabatnya. Ia merasa sudah mengkhianati Rania. Ia sangat kesal saat Bima menelpon dan menyampaikan maksudnya. Harus hari ini pula! Untung saja Ayah Abdul memang penghulu. Lebih kesalnya lagi melihat siapa yang dinikahi Bima dan sikap Bima yang tak menunjukkan rasa bersalah sama sekali terhadap Rania. Namun, ia tak bisa mencegah niat Bima saat ini. Ia tak boleh mencampuri urusan mereka terlalu jauh.

"Iya. Jadi. Sabar, Dul," jawab Bima dengan senyum sumringahnya. Abdul hanya melirik dan tersenyum sinis. Kemudian, ijab qabul pun dimulai. Diucapkan oleh Bima dengan lancar. Ketika saksi mengatakan sah, entah kenapa ada rasa sesal yang tak bisa Bima jelaskan. Namun, ia berusaha mengabaikannya. Ia memasangkan cincin seberat 3 gram itu ke jari manis Anggita. Anggita tersenyum bahagia. Ia mencium tangan Bima dan memeluknya.

Begitu prosesinya selesai, mereka pun membubarkan diri, karena tak ingin menjadi bahan pembicaraan warga sekitar. Abdul mengantarkan Bima hingga ke depan mushola. Ketika ia memeluk Bima, ia berbisik, "sekali lagi selamat, bro! Inget pesen gue soal keadilan ya?". Bima mengangguk. Mereka pun melepas pelukannya. Jujur, Abdul khawatir dengan rumah tangga yang sedang dijalani Bima. Ia tak ingin Bima mengambil keputusan hanya karena egonya, memuaskan jiwa petualangnya. Karena jika memang demikian, ia tak akan pernah puas. Ia takut sahabatnya itu akan menyakiti banyak orang, terutama anak-anaknya. Hanya do'a yang bisa ia panjatkan agar sahabat-sahabatnya itu bisa hidup bahagia.

🍁🍁🍁

Malam telah larut. Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Bima mengendarai mobilnya di jalanan kota Surabaya bersama Anggita. Selama menikah dengan Rania, baru kali ini ia terlambat pulang. Yang membuat Bima merasa aneh, Rania tak menelponnya seperti biasanya. Bahkan chat pun tidak. Namun, di sisi lain ia lega bisa leluasa bersama Anggita.

Anggita terus tersenyum sepanjang jalan. Bahkan, lagu di mobil diputar lagu-lagu cinta bernuansa bahagia. Sesekali ia mengikuti suara penyanyinya. Bima sesekali ikut bersenandung mengikuti lagu. Malam ini mereka bahagia sekali.

"Makasih, Sayang," kata Anggita lembut. Ia tak peduli dinikahi secara resmi atau siri. Baginya yang penting adalah bisa hidup bersama dengan Bima, menjadi istri Bima. Walaupun kini ia bukan satu-satunya istri yang Bima miliki. Walaupun ia harus berbagi Bima dengan Rania dan anak-anaknya. Ia benar-benar tak peduli hal itu. Bagaimanapun Bima juga miliknya dan ia juga punya hak atas Bima.

Bima menatapnya dengan senyuman penuh kasih sayang. Ia mencium tangan Anggita. Anggita merasa tersanjung.

"Sama-sama, Sayang. Oiya, mulai besok kamu sudah bisa resign dari kantor. Kamu nggak perlu kerja lagi. Cukup di rumah dan bantu Rania mengurus rumah. Baik-baiklah dengan Rania. Gimanapun juga dia sekarang saudaramu," kata Bima. Anggita terdiam. Senyum bahagia yang tadi menghiasi bibirnya berganti dengan wajah penuh khawatir.

"Tapi, Yang, mending aku kerja lagi aja. Kan bisa bantu ekonomi kita," kata Anggita. Ia sebenarnya tidak ingin berhadapan dengan Rania. Ia tahu Rania pasti tak terima dengan apa yang mereka lakukan hari ini.

"Kamu enggak perlu kerja. Uangku cukup untuk menghidupi kalian, bahkan kalau kamu punya anak sekalipun," jawab Bima.

"Tapi, Yang...," Anggita hendak menyanggah Bima. Namun, tatapan Bima yang tegas membuatnya harus menerima dan menelan kembali permintaannya.

"Jadilah istri yang baik. Istri yang baik taat sama suaminya," kata Bima. Terdengar seperti apapun perkataan Bima tak boleh dibantah. Meskipun ragu, Anggita meyakinkan hatinya untuk tinggal seatap dengan Rania dan anak-anaknya. Lagipula, ia hanya tinggal membantu Rania membereskan rumah. Apa perlu ia membuat kesepakatan dengan Rania soal Bima dan pembagian tugas lainnya. Ah, pasti Rania yang akan menyusun semuanya dan Bima akan menyetujuinya dengan mudah. Maka ia bertekad tak mau kalah dari Rania. Ia harus bisa seperti Rania.

"Yang, kamu siapin semua barang kamu. Besok kamu ikut aku pulang," kata Bima. Anggita menoleh kaget. Secepat itu, batinnya.

"Iya, Yang. Tapi malam ini bisa kan kamu nemenin aku dulu?," tanya Anggita merajuk. Bima mengangguk senyum. Anggita tersenyum bahagia. Mereka berpegangan tangan sepanjang jalan dan menyenandungkan lagu cinta. Mereka benar-benar bahagia. Mereka tak tahu ada hati yang menangis di satu sisi kota Surabaya.

Rania benar-benar hancur mendapati suaminya tak pulang hari ini. Ia tahu mungkin suaminya bersama Anggita. Hari ini dunianya seolah runtuh bersama kenangan manisnya bersama Bima. Baginya lebih baik suaminya menikah daripada harus tidur dengan perempuan lain tanpa ikatan pernikahan. Namun, hatinya benar-benar belum siap berbagi. Ia menumpahkan semua sakitnya di sujud terakhirnya. Ia menumpahkan segala kecewanya malam ini di hadapan Rabbnya. Biarlah kecewa dan marahnya hanya Rabbnya yang tahu. Ia memohon ketegaran dan kekuatan untuk menghadapi ujian ini. Malam ini pun Rania tertidur di atas sajadahnya setelah lelah menangis.

 

🍁🍁🍁

 

Terpopuler

Comments

Maulina Kasih

Maulina Kasih

dasar terong gak modal....mau punya bini 2 tp dibikin 1 rmh...gelo nih org....mana ada q atap ada 2 ratu

2021-08-12

0

Neng Yuli

Neng Yuli

thor tanggung jawab thor, aku nangis ampe mataku bengkak thor nyesek aku bacanya

2020-12-03

0

Eva Noviani

Eva Noviani

bimaaaaa keterlaluan

2020-11-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!