PULANG

Matahari pagi enggan menampakkan diri pagi ini. Ia bersembunyi di balik mendung abu-abu yang menggelayut di kota Surabaya. Membuat hawa dingin menyerbu. Angin juga sudah berhembus pelan, membawa hawa dingin.

Rania menatap keluar jendela kamarnya. Sejak subuh tadi, ia tak bisa kembali tidur. Semalam pun tidurnya tak nyenyak. Semua meninggalkan bekas kantung mata. Bima bahkan belum pulang. Ia tak tahu kemana Bima menenangkan dirinya. Ia sudah menanyakan pada Abdul semalam, dan Abdul juga tak tahu kemana Bima pergi. Dari Abdul, ia tahu bahwa mereka tak bersahabat seperti dulu lagi. Bima sudah banyak berubah. Entah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya atau untuk mempertahankan harga dirinya, ternyata Bima menggunakan uang perusahaan. Ada beberapa klien yang ternyata mengatakan sudah memberikan sejumlah uang kepadanya, tetapi tak sampai ke perusahaan.

Rania sungguh terkejut mendengar apa yang disampaikan Abdul padanya. Itu bukan Bima yang dikenalnya. Bima yang ia kenal adalah orang yang jujur, tekun dan loyal. Bima juga setia kawan. Rania lagi-lagi menghela napas panjang.

Hari ini hari sabtu. Hari yang seharusnya jadi miliknya. Hari yang harusnya jadi gilirannya. Dan keesokan harinya, mereka akan pergi menghabiskan waktu bersama. Kadang, untuk sesaat, di hari itu, hari saat mereka bersama-sama keluar tanpa Anggita, ia merasa Bima adalah Bima yang ia kenal dulu. Bima yang penyayang dan selalu mengutamakan dirinya. Dipandanginya foto pernikahan yang dipegangnya sedari tadi. Diusapnya perlahan. Pernikahan itu yang sudah hampir sebelas tahun dijalaninya itu kini bukan lagi pernikahan yang diimpikannya. Semuanya terasa berbeda.

BRAAKKK

Terdengar suara pintu dibuka dengan kasar oleh seseorang. Rania dan Anggita yang terkejut melihat keluar kamar siapa yang datang. Mereka melihat Bima sedang berdiri di ruang makan. Wajahnya tampak kusut dan acak-acakkan. Ia meneguk segelas air dengan cepat. Dan meletakkan gelasnya dengan setengah membantingnya. Rania dan Anggita saling berpandangan. Mereka tak dapat menyembunyikan kekhawatiran mereka.

"Kalian ini istri macam apa? Suami datang bukannya disambut, diambilin air kek, sarapan kek. Kalian udah bosen jadi istriku? Kalian mau kuceraikan bersama?," bentak Bima begitu melihat kedua istrinya berdiri melihatnya. Anggita terdiam dan menggeleng cepat.

"Enggak, Bim. Jangan begini! Kamu Bima yang penyayang. Jangan begini, Sayang," ucap Anggita menghambur memeluk Bima. Dengan ragu Bima membalas pelukan Anggita.

"Aku nggak mau kehilangan kamu, Bim. Aku udah nggak punya siapa-siapa di sini. Cuma kamu dan anak ini, Bim," kata Anggita terisak di pelukan Bima. Bima mengecup kepala Anggita. Ia menyesal sekali berkata kasar pada perempuan itu. Ia ingat, istrinya itu sedang mengandung anaknya. Ada seorang bayi yang tak berdosa yang sedang menuntut tanggung jawabnya.

Berbeda dengan Anggita, Rania tak melakukan apapun. Ia tidak memeluk bahkan menjawab perkataan Bima. Ia lebih memilih menyiapkan sarapan untuk Bima. Meletakkannya di meja makan bersama minuman dan kopi Bima. Bima terus memperhatikannya. Kemudian, ia melepas pelukan Anggita dan memanggil Rania yang hendak kembali ke kamarnya.

"Nia, kamu mau kemana?," tanya Bima. Rania menoleh. Tanpa harus diberitahu, Bima dapat melihat kelelahan dalam mata Rania. Selelah itukah hatinya?, batin Bima.

"Kembali ke kamar. Tugasku sudah selesai. Menyiapkan sarapan dan minumanmu. Kamu sudah datang, artinya aku nggak perlu menjaga Anggita," jawab Rania datar. Ia berusaha sekali tidak menggunakan emosi dalam perkataannya.

"Kamu bukan pembantu atau babysitter, Nia. Kenapa kamu menempatkan dirimu di posisi itu? Padahal aku hanya meminta tolong untuk melakukannya," ujar Bima.

"Rasanya kamu sendiri yang menempatkanku di posisi itu. Apa begitu caramu meminta tolong kepada istrimu? Maaf, tapi bagiku kemarin lebih terdengar seperti sebuah perintah dan aku harus taat bukan?," sergah Rania. Ia mencoba mengatakan semuanya tanpa emosi. Ia berkata masih dengan senyumannya. Memperlihatkan dirinya masih baik-baik saja.

"Yang, kamu lelah, kita bicara nanti saja ya? Kamu mandi dulu dan istirahat ya?," bujuk Anggita. Namun, Bima tetap tak bergeming.

"Sudah! Akhiri saja semuanya sekarang. Kamu sudah lelah kan bertahan dalam hubungan kita? Kamu juga sebenarnya tidak pernah benar-benar ikhlas menerima hubungan kami. Sekarang, aku berikan kamu kebebasan, Nia! Kamu boleh pergi kemanapun kamu mau. Kamu bisa keluar dan bekerja sesuka hatimu. Aku tidak akan menghalangimu lagi. Aku akan ceraikan kamu. Lagipula kamu tidak membutuhkanku," kata Bima tegas. Rahangnya bergetar mengatakan hal tersebut.

Mata Rania membulat mendengar semua perkataan Bima. Air matanya menitik perlahan kemudian meleleh membasahi pipinya. Ia sudah menyiapkan diri untuk semua ini, namun tetap saja semua itu terasa menyakitkan.

"Kamu bicara soal keikhlasan di depan seorang wanita yang kamu hianati cinta dan kesetiaannya. Apa kamu pernah mikir gimana perasaannya saat kamu bawa perempuan lain pulang? Kamu bicara seolah-olah semua kesalahanku. Terus, kenapa kamu nggak bisa jawab saat kutanya apa salahku sampai kamu hianati aku?," sergah Rania gusar. Sampai-sampai suaranya meninggi di hadapan Bima. Ia tak peduli lagi jika disebut pembangkang. Toh, sebentar lagi dia bukan istri Bima lagi. Rania mengatur napasnya dan mengusap air matanya.

"Tapi nggak masalah. Tenang aja! Aku nggak akan memohon lagi padamu, Bim. Aku terima semua ini. Terima kasih, Bim! Makasih banyak atas pelajaran selama 10 tahun ini. Makasih juga udah buang waktuku sia-sia selama 10 tahun. Kamu minta aku baik-baik ke orang tuaku, maka kembalikan aku juga dengan baik-baik ke mereka. Tunjukkan kamu adalah laki-laki sejati," tegas Rania. Kemudian ia berbalik dan tak menoleh lagi. Ia bahkan menutup pintu kamarnya dengan setengah membantingnya. Membuat Bima dan Anggita sedikit terkejut. Kemudian, Bima mengusap wajahnya gusar.

🍁🍁🍁

"Mama, kita mau kemana?," suara kecil Husna terdengar di telinga Rania yang sedang membereskan baju-baju Ardan dan Husna. Ardan mendekati Husna.

"Kita pulang ke rumah nenek, dik. Kita tinggal di sana ya? Kan lebih deket sekolah kita dari sana?," jawab Ardan menghibur. Husna mengangguk. Rania mencoba menahan tangis pedihnya saat mendengar Ardan menjawab adiknya dengan bijaksana. Tak terasa anak laki-lakinya sudah besar. Ia berharap anak itu tak mewarisi sifat-sifat Bima.

Begitu selesai beberes baju anak-anaknya, Rania mengajak anak-anaknya bersiap untuk segera berangkat. Ia dan Ardan menarik kopernya. Sedangkan, Husna memegang tangannya tanpa mengerti apa yang terjadi. Di ruang tamu, Bima dan Anggita menunggu mereka. Tak ada tangisan di mata Anggita. Begitu pula dengan Bima. Bima mendekati anak-anaknya. Ia juga berjongkok agar bisa sejajar dengan mereka.

"Ardan dan Husna di rumah nenek dulu ya? Nanti Papa tengok kalian," kata Bima lembut. Husna mengangguk tanpa senyum. Sedangkan, Ardan menatap tajam pada ayahnya itu. Saat Bima mencoba mengusap kepalanya, Ardan mengelak, membuat Bima terkejut.

"Papa nggak usah tengokin kami. Ardan yang akan jagain Mama sekarang. Kalau Papa kesana cuma bikin Mama sedih, nggak usah, Pa," jawab Ardan. Bima tercengang dengan perkataan Ardan. Ia tak menyangka anaknya yang masih berusi 9 tahun sudah bisa mengatakan itu semua.

"Pak Ustadz bilang Ardan wajib jagain Mama. Karena Papa pengen kita pergi, jadi Ardan yang akan gantiin Papa jagain Mama sama Husna. Papa nggak usah khawatir. Sekarang Mama nggak akan gangguin Papa lagi," kata Ardan lagi. Kali ini perkataan Ardan sukses membuat Bima terdiam. Ia pun berdiri dan menatap Rania penuh tanya. Rania tak mau menatapnya. Matanya ditundukkannya.

"Kita udah siap," kata Rania datar. Bima mengangguk. Tanpa melihat Anggita, Rania berjalan melewati mereka berdua dan berjalan ke depan. Begitu Bima membuka bagasi mobilnya, Rania memasukkan kopernya dan koper anaknya.

Setelah semuanya siap, Bima berpamitan kepada Anggita. Mereka pun berangkat ke rumah orang tua Rania. Sepanjang perjalanan, hening terasa. Bima sesekali melihat ke arah Rani yang menatap keluar kaca mobil.

"Nia," panggil Bima. Tangannya terulur hendak memegang tangan Rania, tetapi Rania menariknya perlahan supaya tak bersentuhan.

"Jangan. Aku bukan istrimu lagi," kata Rania. Rasanya sakit sekali harus mengatakan itu kepada laki-laki yang dicintainya itu. Bima pun menarik tangannya kembali.

"Nia, kumohon maafkan aku. Aku tak bermaksud menceraikanmu. Aku janji aku akan kembali setelah semuanya membaik," ujar Bima memohon.

"Tapi kamu sudah mengatakannya 3 kali. Secara agama, kamu sudah menceraikanku. Kamu bukan mahramku lagi," jawab Rania datar.

"Aku janji, aku akan kembali. Kalau harus menikahimu lagi, nggak masalah bagiku," kata Bima meyakinkan Rania.

"Terserah kamu. Itu bukan urusanku lagi sekarang. Tapi perlu kamu ingat bahwa saat kamu kembali, semua tak akan sama seperti sebelumnya. Aku tak akan berjuang atau mempertahankan kamu lagi. Kamu sendiri yang harus berjuang meyakinkan kedua orang tuaku dan anakmu" jawab Rania cuek. Ia tetap tak mau menatap Bima saat berbicara. Dalam hati Rania, Bima terlalu seenaknya mempermainkan perasaannya. Saat Bima tak butuh, dirinya disingkirkan. Baginya, perkataan Bima hanya sebuah hiburan dan bukan kenyataan. Ia tak mau memperjuangkan Bima lagi jika ia kembali. Biarkan takdir yang berjalan apakah mereka akan bersama lagi atau tidak. Setelah itu perjalanan menjadi lebih hening.

🍁🍁🍁

Terpopuler

Comments

Maulina Kasih

Maulina Kasih

sumpah aq benci banget sm bima...ya allah rania...kuat banget 😭😭😭😭

2021-08-12

0

𝑅𝒾𝓈𝓃𝒶𝓏𝒾𝒹𝒶𝓃𝑒𝒶𝓇𝒻𝒶

𝑅𝒾𝓈𝓃𝒶𝓏𝒾𝒹𝒶𝓃𝑒𝒶𝓇𝒻𝒶

Astagfirullah kok hati ini sakit ya

2021-02-09

0

Iluhwid Ajha

Iluhwid Ajha

bagus raniaaa,,harus diberi pelajaran tuh laki

2020-09-22

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!