TEMAN TAPI CINTA II

Jalanan kota Surabaya di siang hari sangat padat. Bima dapat melihat dari lantai lima kantornya, deretan mobil yang sedang terjebak macet. Mereka terlihat sangat kecil dari atas.

Tok tok tok

Terdengar suara pintu ruangannya diketuk. Bima menoleh. Di sana berdiri Anggita dengan setelan kemeja putih dengan blazer abu yang senada dengan roknya. Ia berdiri dengan senyuman dan menyandarkan tubuhnya di pintu ruangan. Bima hanya menatapnya antara takjub dan bingung harus bersikap bagaimana.

"Bim, sudah makan siang?," tanya Anggita.

"Belum. Aku masih ada kerjaan," jawab Bima. Nadanya terdengar dingin di telinga Anggita. Anggita berjalan mendekat ke arah meja Bima. Ia berdiri di depan Bima. Ia menatap Bima yang sedang menghindari tatapan matanya.

"Kenapa, Bim? Masih marah?," tanya Anggita kemudian. Bima menghela napas. Ia masih enggan menatap Anggita. Ia tak mau menggoyahkan iman dan cintanya terhadap Rania.

"Marah kenapa, Nggi?," Bima balik bertanya. Anggita memutar bola matanya dan mendengus kesal.

"Terus kalo kamu enggak marah, kenapa kamu berubah?," desak Anggita lagi. Bima kembali menghela napas. Kini ia menengadah, melihat Anggita yang berdiri dengan melipat tangannya. Kemudian ia tertawa kecil. Tetapi terdengar sinis di telinga Anggita. Kesal dirinya menjadi bahan lelucon Bima, Anggita dengan kesal berbalik badan hendak pergi. Namun, Bima mencegahnya.

"Tunggu, Nggi!," cegah Bima. Anggita berhenti, tetapi tak menoleh ke arah Bima. Bima beranjak dari kursinya dan berjalan mendekati Anggita.

"Kenapa kamu bisa segini kesalnya dengan perubahan sikapku? Bukankah kita ini hanya teman?," tanya Bima. Anggita terdiam. Memang benar status mereka hanya teman. Tetapi diam-diam ia memperoleh kenyamanan dari perlakuan Bima padanya. Ia berharap perkataan Bima tempo hari adalah benar adanya.

"Iya teman, tapi cinta!," sahut Anggita ketus. Bima terkekeh.

"Cinta? Siapa yang mencintai dan dicintai?," tanya Bima dengan tawanya. Anggita semakin jengkel dengan sikap Bima. Ia menoleh melihat Bima. Wajahnya merah padam menahan marah.

"Jadi kamu anggap aku mainan? Hah? Seenaknya kamu mainin? Ngasi harapan tinggi dan sekarang kamu lempar gitu aja! Kalo kamu enggak cinta, omongan kamu tempo hari itu apa? Kamu mau nikahin aku!," sahut Anggita berapi-api. Sekali lagi Bima terkekeh melihat ekspresi Anggita yang marah luar biasa. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata cantik Anggita, membuat Bima berhenti tertawa.

"Aku kira kamu beda. Aku kira kamu laki-laki yang bisa megang omongannya, tapi nyatanya sama aja!," sambung Anggita tersenyum sinis meskipun air matanya sudah mengalir. Bima terdiam. Iya, dia mengakui bahwa dia sama saja dengan lelaki hidung belang lain yang tak bisa memegang omongannya.

"Kamu benar, Nggi. Aku ini laki-laki yang nggak bisa megang omongan. Janjiku untuk hidup bersama Rania selamanya tak bisa kupenuhi karena sekarang ada seseorang yang juga membuatku nyaman bersamanya," jawab Bima. Ia tersenyum lemah. Anggita menatapnya. Tak bisa mengeluarkan kata-kata lagi.

"Aku jatuh cinta sama kamu. Aku jatuh cinta sama Anggita. Puas sekarang?," sergah Bima. Anggita terdiam. Ia tersenyum puas mendengar jawaban Bima. Setidaknya ia tahu bahwa cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Tiba-tiba ia menghambur memeluk Bima.

"Aku juga cinta sama kamu, Bim. Aku sayang sama kamu. Aku enggak apa-apa jika harus berbagi dengan Rania. Asalkan bisa bersama kamu, Bim," kata Anggita di sela-sela pelukannya. Bima membalas pelukan Anggita dan mengelus lembut rambut Anggita.

Tanpa mereka sadari, ternyata Pak Lutfi berdiri di depan pintu ruangan Bima. Bahkan ia telah menyaksikan drama itu dari sepuluh menit yang lalu. Pak Lutfi menyandarkan tubuhnya di pinggiran pintu. Bima menoleh dan terkejut melihat Pak Lutfi berdiri di sana. Spontan ia melepas pelukan Anggita. Anggita pun sama ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintu.

"Sudah dramanya?," tanya Pak Lutfi. Bima dan Anggita tertunduk malu.

"Maaf, Pak. Saya bisa jelaskan semuanya," jawab Bima. Pak Lutfi menggeleng.

"Lu salah bro! Gue nggak butuh penjelasan lu. Lu jelasin aja sama istri lu nanti," jawab Pak Lutfi. Bima tertunduk semakin dalam. Jika Pak Lutfi sudah mengeluarkan panggilan 'lu-gua', tandanya ia sedang badmood.

Pak Lutfi menutup pintu ruangan Bima. Ia duduk di sofa khusus untuk tamu Bima. Dengan santainya ia menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya ke udara.

"Gila lu, Bim! Sekali tepuk dua lalat kena!," sindir Pak Lutfi. Bima terdiam. Anggita sama sekali tak berani mengangkat kepalanya untuk menatap Pak Lutfi. Sungguhpun Bima tak suka dengan sindiran Pak Lutfi, tetapi apa yang bisa ia lakukan. "Lu cinta sama Anggita atau cuma main-main aja?," tanya Pak Lutfi kemudian. Bima menengadah menatap bosnya itu. Anggita melirik ke arah Bima.

"Tentu saja saya serius, Pak," jawab Bima mantap. Anggita tersenyum bangga. Namun itu tak bertahan lama ketika Pak Lutfi melontarkan pertanyaan selanjutnya yang tak bisa Bima jawab.

"Terus Rania gimana?," tanya Pak Lutfi kemudian. Bima terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Anggita kini menatap Bima, menunggu jawabannya.

"Jangan mainin perasaan perempuan, Bim. Kalo lu nggak sanggup buat adil, jangan nyari yang baru. Tapi itu terserah lu juga sih! Urusan lu! Gue enggak mau kalo masalah ini ganggu profesionalisme kalian apalagi sampai timbul masalah juga di kantor. Tahu kan aturan perusahaan ini gimana?," kata Pak Lutfi kemudian. Bima mengangguk. Anggita pun mengangguk mengerti. Kemudian, Pak Lutfi beranjak dari kursinya dan keluar dari ruangan Bima tanpa permisi.

Sepeninggal, Pak Lutfi, Anggita terus menatap Bima yang tampak kebingungan. Ia melihat laki-laki yang biasanya tegas dan dewasa itu kini terlihat bingung.

"Bim, kamu enggak apa-apa?," tanya Anggita. Bima menatap Anggita sayu. Ia tahu peraturan kantor dan Pak Lutfi baru saja mengingatkan mereka soal itu. Artinya, jika mereka ingin melanjutkan hubungan mereka, salah satu harus merelakan karirnya. Belum lagi ia harus memikirkan bagaimana harus mengatakan semuanya kepada Rania dan anak-anaknya.

"Bim, aku enggak apa-apa kalau harus resign dari kantor. Aku akan terima kamu apa adanya. Enggak masalah kalau memang aku harus berbagi dengan Rania," kata Anggita berusaha menenangkan Bima. Bima tersenyum sendu mendengar perkataan Anggita. Ia justru merasa bersalah pada Rania sekarang. Ia tak tahu bagaimana respon Rania nanti. Hatinya lebih gelisah lagi memikirkan anak-anaknya. Ia melihat Anggita yang sedang menatapnya penuh harap. Ahh, persetan semuanya!, batin Bima. Mau tak mau ia akan bicara malam ini dengan Rania. Harus!

 

🍁🍁🍁

 

Malam ini terasa dingin. Rania tengah menyiapkan kopi hangat untuk Bima. Entah sejak datang dari kantor Bima tampak seperti orang badmood. Ia hanya berpikir mungkin Bima butuh relaksasi karena pekerjaannya.

Rania berjalan mendekati Bima yang tengah duduk di ruang tengah. Ia menyuguhkan kopi di meja depan Bima. Acara televisi bukan menjadi fokus Bima karena terlihat dari tatapan Bima yang menatap lantai rumahnya.

"Yang, ini kopinya," kata Rania. Hati-hati ia menaruh kopi itu di atas meja. Rania hendak kembali ke dapur, namun Bima mencegahnya.

"Nia, aku mau ngomong!," ucap Bima tegas. Rania pun duduk di samping Bima. Ia bertanya-tanya apa yang akan disampaikan Bima hingga setegas itu kata-katanya.

"Nia, aku mau nikah lagi!," tegas Bima. Bagai petir menyambar telinganya, Rania membeku mendengar perkataan Bima barusan. Apa ini prank?, batin Rania.

"It's a joke, right?," tanya Rania meyakinkan dirinya. Bima menggeleng. Rasa sesak tiba-tiba memenuhi dada Rania. "Anggita?," tanya Rania lagi. Mata Bima membulat, menatap Rania keheranan. Ia tak menyangka Rania tahu soal Anggita. Bima mengangguk.

"Darimana kamu tahu?," tanya Bima balik. Rania tertawa sinis.

"Dari cara kalian mencuri pandang saat kita dinner," jawab Rania cepat. Bima lemas. Ia ingat kejadian saat dinner malam itu. Ternyata Rania memperhatikan gerak-gerik mereka. Jadi, itu yang membuat Rania marah saat itu, batinnya. Ia baru menyadari semuanya. Sayangnya, ego Bima lebih besar dibanding rasa bersalahnya.

"Maafin aku, Nia. Tapi ini sudah keputusanku untuk menikah dengannya," kata Bima mantap. Rania sedikit terhenyak dengan pernyataan Bima. Tak adakah ruang di hati Bima untuknya lagi. Air mata menggenang di pelupuk matanya. "Kumohon, Nia. Jangan menangis! Setidaknya kamu akan memiliki teman di sini dan membantumu mengurus anak-anak," kata Bima setengah membujuk Rania.

"Katakan salahku yang tak bisa kamu terima sampai kamu melakukan ini," kata Rania lirih. Air matanya sudah menetes. Bima terdiam. Rania tak ada salah. Yang salah itu dia dan hatinya.

"Please, Nia!," kata Bima meninggi. Rania meliriknya dengan tatapan sinis. Bima meninggikan suaranya agar Rania tak lagi mendebatnya. Ia tak mau berdebat dengan wanita di depannya itu. Karena memang Rania tak ada salahnya, tak ada kurangnya.

Rania mengusap air matanya dan beranjak dari kursinya. Ia merasa tak ada lagi yang perlu ia katakan. Apapun pendapatnya, Bima tak membutuhkannya.

"Kamu mau kemana?," tanya Bima.

"Tidur. Kenapa? Ada lagi yang mau diomongin?," tanya Rania ketus. Bima terpaku. Rania tak pernah bicara seketus itu.

"Nia," panggil Bima melembutkan suaranya. Ia sadar telah menyakiti hati istrinya itu. Ia melihat Rania tak menoleh sedikitpun.

"Please, Bim. Aku capek. Kamu benar. Kamu imamnya. Kamu tak perlu izinku atau pendapatku untuk menikah dengannya. Lakukan sesuka hatimu!," kata Rania. Sesudah mengucapkan itu, ia berlalu meninggalkan Bima yang terpaku melihat kepergian istrinya itu. Jujur, ia sedikit lega karena Rania tak meminta cerai. Ia takut akan kehilangan Rania dan anak-anaknya. Meski begitu ia tetap merasa bersalah pada Rania. Semoga Rania mengerti suatu saat nanti.

 

🍁🍁🍁

 

Terpopuler

Comments

Tati Suwarsih

Tati Suwarsih

sakiiiit hatiqu...

2023-08-13

0

Caca🌹

Caca🌹

mengerti gundulmu

2021-08-13

0

Maulina Kasih

Maulina Kasih

emosiiiiiii gueeeeeee........

2021-08-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!