SEMAKIN JAUH

Hari terus berganti. Musim juga telah berubah. Memasuki musim penghujan Rania sedikit kewalahan dengan cucian. Mau tidak mau sebagian ia bawa ke laundry. Karena anggota rumahnya bertambah sejak kedatangan Anggita. Sejak hamil, Rania membantu Anggita menyetrika bajunya. Itu karena Bima tak ingin Anggita bekerja terlalu berat. Semua pekerjaan diambil alih Rania.

Seperti hari ini, ia sedang memasukkan baju-baju kering untuk ia antarkan ke laundry dekat rumah. Baju itu hanya disetrika di laundry karena sudah dicuci di rumah oleh Rania. Anggita memperhatikan apa yang dilakukan Rania.

"Mau dibawa ke laundry lagi, Mbak?," tanya Anggita. Rania mengangguk. Anggita sebenarnya memperhatikan apa yang dilakukan Rania akhir-akhir ini. Rania yang menggunakan jasa laundry untuk setrika dan berangkat 2 jam lebih awal untuk menjemput Ardan dan Husna. Ia sudah memperhatikan hal itu akhir-akhir ini. Awalnya ia pikir mungkin Rania ingin punya waktu dan berkumpul dengan teman-temannya, tapi itu salah. Kata Bima, sahabat Rania hanya Gina dan Ustadzah Fitria. Itu membuatnya sedikit curiga.

"Mbak langsung jemput anak-anak?," tanya Anggita lagi. Rania mengangguk. Ia tidak bisa berkata banyak karena terburu-buru.

"Maaf ya, Nggi. Aku tinggal dulu. Assalamu'alaikum," pamit Rania.

"Wa'alaikumsalam," jawab Anggita. Ia termenung melihat kepergian Rania. Apakah Rania tak suka melihat kehamilannya, sampai-sampai harus menghindarinya setiap hari? Tapi sepertinya bukan sifat Rania seperti itu. Ia akan mencoba mencari tahu nanti.

🍁🍁🍁

 

Rania sampai di kantor Lutfi terlambat lima menit. Ia meminta maaf pada Abdul yang menyambutnya dengan senyuman. Ia memberikan segelas kopi pada Rania sebelum masuk ke ruangan yang biasanya ia gunakan untuk bekerja.

Tepat setelah Rania pergi, Bima menghempaskan dirinya di kursi depan Abdul. Abdul melihat wajah sahabatnya yang teramat kusut itu. Namun, tak ada niat untuk bertanya lebih lanjut. Ia membiarkan Bima asyik dengan pikirannya beberapa saat.

"Dul, lu tahu nggak siapa auditor yang disewa Pak Lutfi?," tanya Bima kemudian. Abdul terhenyak.

"Kenapa?," tanya Abdul kemudian. Ia berusaha agar fokus ke komputernya. Bima menghela napas pendek.

"Teliti banget orangnya. Gue aja nggak nemuin kesalahannya pas meriksa. Giliran dia periksa, satu laporan penuh revisi. Gila!," seru Bima. Abdul tersenyum. "Tapi bagaimanapun telitinya auditor Pak Lutfi, nggak akan sanggup nyelametin perusahaan ini lagi," kata Bima memprediksi. Matanya menerawang jauh.

"Maksud lo?," Abdul balik bertanya. Kini pandangannya berpindah kepada Bima.

"Ya sebagai manager, gue kan prediksi aja. Kelihatan kalo perusahaan ini bener-bener udah down. Saran gue, lu ancang-ancang cari kerjaan di perusahaan lain. Atau lu mau ikut gue, jadi assisten gue," kata Bima. Abdul mengernyitkan dahinya. Ia merasa Bima sudah benar-benar berbeda sekarang. Dulu, saat perusahaan ini baru dirintis, ia semangat sekali membesarkannya. Semangatnya mengalahkan Pak Lutfi sebagai pimpinan saat itu. Abdul dibuatnya kagum. Tapi sekarang, Abdul seolah tak mengenal Bima yang dulu. Wajar juga menurut Abdul jika Bima memutuskan pindah perusahaan. Itu haknya. Apalagi tuntutan hidup dengan dua istrinya.

"Jadi lu udah ambil ancang-ancang?," tanya Abdul.

"Gue dapet tawaran di perusahaan lain. Kata Anggita itu suami temannya yang punya. Beda bidang sih! Tapi gue yakin gue bisa lah," jawab Bima. Abdul mengangguk senyum.

"Baguslah kalo gitu! Tapi gue di sini aja. Gue yakin perusahaan ini bakalan bangkit lagi kok! Kita kan sudah nemu auditor yang handal. Insya Allah bisa," jawab Abdul tenang. Bima mencibir Abdul.

"Ati-ati nyesel lo entar. Di perusahaan yang baru, gue bukan manager lagi, Dul. Gue direkturnya karena gue ikut sahamnya di sana bareng suaminya Angel," kata Bima. Abdul lagi-lagi tersenyum.

"Selamat ya? Semoga sukses," ucap Abdul masih dengan senyumnya. Bima terdiam dan menghela napas pendek. Kemudian beranjak dari kursinya dan pergi dari ruangan Abdul. Abdul hanya bisa menghela napas panjang dan kembali bekerja.

Bima masih berkeliling kantornya. Ia ingin melihat-lihat siapa yang berpotensi untuk diajaknya berpindah ke perusahaannya nanti. Di sela-sela aktivitasnya itu, ia melihat ruangan di sebelah Pak Lutfi yang biasanya kosong kini terang benderang. Sepertinya sedang digunakan untuk auditor baru itu. Iseng sekali ia membuka pintu ruangan itu tanpa mengetuknya. Betapa terkejutnya ia melihat Rania di sana sedang bekerja memeriksa kertas-kertas laporan. Tanpa babibu lagi, ia berjalan mendekati Rania dengan gusar.

"Apa yang kamu lakukan di sini?," tanya Bima gusar. Rania terkejut melihat Bima berdiri di sana. Belum selesai keterkejutannya, Bima sudah mencekal tangannya dengan kuat hingga ia kesakitan.

"Pulang sekarang! Sudah kubilang, jagain Anggita! Ngapain kamu kesini?," sergah Bima kesal. Rania meronta kesakitan saat ditarik Bima. Beruntung Lutfi masuk ke ruangan itu setelah mendengar ribut-ribut dari ruangannya.

"Ada apa ini?," tanya Lutfi gusar. Bima yang melihat Lutfi terdiam. Ia melepaskan pegangannya pada Rania.

"Maaf, Pak. Saya harus bawa Rania pulang. Dia istri saya!," kata Bima tegas namun sopan. Lutfi menghela napas pendek. Ia tidak ingin melepaskan pekerja sebagus Rania, tapi di sisi lain bukan haknya menahan Rania untuk tinggal di sini.

"Bim, dia juga pegawai yang saya bayar untuk audit keuangan perusahaan ini. Minimal biarkan Nia menyelesaikan pekerjaannya hari ini," jawab Lutfi berusaha bijak. Bima mendengus kesal. Ia melepaskan tangan Rania dengan kasar. Ia berlalu pergi sembari berkata, "mau sehebat apapun auditornya, perusahaan ini sudah ambruk". Cukup panas di telinga Lutfi. Ia menoleh ke arah Bima.

"Apa maksud kamu, Bim?," tanya Lutfi tersinggung. Bima tertawa sinis tanpa menoleh. Lutfi mendekatinya. Kini mereka berhadapan. Lutfi yang lebih tinggi dari Bima memandang Bima dengan mengerutkan dahi. Suasana tegang dan ribut terdengar hingga ke ruangan Abdul. Abdul pun keluar untuk melihat apa yang terjadi.

"Pak, percuma bapak hire dia sebagai auditor Bapak. Sebagus apapun dia memeriksa keuangan, kalau nggak ada solusi atau pemasukannya, yakin kok bulan depan aja bangkrut ini usaha," ujar Bima berani. Lutfi mengatupkan rahangnya geram mendengar ucapan Bima. Sebelum suasana bertambah panas, Abdul datang menyeret Bima dari sana.

"Lihat saja, Pak! Kita lihat seberapa pintar Rania menyelamatkan usahamu. Dan kamu, Rania kita bicara di rumah!," tunjuk Bima kepada Rania. Rania memandang Bima dengan perasaan campur aduk. Antara marah, benci dan khawatir. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Saat ini ia hanya bisa minta maaf ke Lutfi sebagai atasannya.

"Pak Lutfi, saya...," Rania belum selesai dengan ucapannya, Lutfi sudah terangkat tanda ia tidak perlu melanjutkan kata-katanya.

"Nggak apa-apa. Bukan salahmu, Nia. Sekarang pikirkan saja dulu, apa yang harus kamu lakukan. Kamu mau menyelamatkan rumah tanggamu atau...," Lutfi juga tidak melanjutkan kata-katanya. Ia yakin Rania sudah tahu lanjutannya. Rania mengangguk dan tertunduk. Lutfi pun berlalu dengan senyumnya. Rania hanya tercenung melihat kepergian Lutfi.

🍁🍁🍁

Rania ragu melangkah masuk ke rumahnya sendiri. Ia tahu Bima sudah di rumah dari mobilnya yang terparkir di garasi. Ia juga sudah tahu bahwa Bima mengundurkan diri dari perusahaan Lutfi tadi siang. Bahkan, ia baru tahu dari Abdul kalau Bima akan mendirikan perusahaan baru bersama teman Anggita. Ia tahu Bima sudah menunggunya di dalam. Mau tidak mau, suka tidak suka ia harus menghadapi suaminya sekarang ini.

"Assalamu'alaikum," sapa Rania. Baru saja ia melangkahkan kaki di ruang makan, ia sudah disambut dengan tatapan tajam Bima. Anggita di sebelahnya mengusap bahu Bima.

"Udah pulang auditor handal?," sindir Bima tanpa menjawab salam Rania. Rania tertunduk.

"Kamu sudah berani melawan ya, Nia? Aku sudah bilang, jagain Anggita. Apa susahnya kamu diam di rumah? Lakukan pekerjaan rumah tangga seperti biasa? Susah jagain Anggita? Dia lagi hamil, kamu tinggal. Kalau dia butuh apa-apa gimana?," kata Bima dengan nada tinggi. 'Aku bukan pembantu. Bukan babysitternya Anggita. Dia sudah dewasa,' batin Rania. Hampir saja jawaban itu keluar.

"Dan hebatnya lagi kamu kerja di perusahaan tempatku bekerja. Apa sih yang ada di dalam kepalamu ini? Kamu menghancurkan segala rencanaku, tahu?! Sekarang aku nggak punya pekerjaan dan penghasilan. Kalian mau makan apa?," bentak Bima. Seumur-umur baru kali ini Bima membentaknya. Dan semua yang dikatakan Bima kali ini tidak semua salahnya. Iya, dia mengakui salah dengan bekerja tanpa memberitahu Bima, suaminya. Tetapi, perihal menghancurkan rencana Bima, ia sama sekali tak pernah memikirkannya. Bahkan ia tak tahu apa rencana yang dimaksud Bima.

"Aku harus meninggalkan salah satu diantara kalian. Ke depan aku tidak akan sanggup menafkahi dua istri. Aku baru merintis usaha," ucap Bima datar. Ia menghela napas kesal dan meninggalkan keduanya dalam kebingungan.

Rania menatap sendu kepergian Bima. Ia menatap punggung laki-laki yang telah menikahinya sepuluh tahun yang lalu. Entah kenapa, ia merasakan Bima telah melangkah jauh meninggalkannya. Bima terasa semakin jauh untuk ia gapai kembali. Rasanya seperti jatuh dari puncak dan gagal untuk kembali ke puncak itu seberapa kuat pun ia berusaha mendaki. Ia melangkah ke kamarnya dengan gontai. Duduk di tepian tempat tidur. Mengusap kasur empuknya dan mengenang kembali bagaimana perjuangannya bersama Bima hingga bisa di posisi puncak. Namun, semuanya seperti akan hilang di depan mata. Ia tertelungkup dan menangis disaksikan tiga pasang mata dari luar kamar tidurnya.

🍁🍁🍁

Terpopuler

Comments

Maulina Kasih

Maulina Kasih

sm pak lutfi aja nia.....

2021-08-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!