SERBA SALAH

Sudah sebulan berjalan Rania bekerja sebagai freelance audit di perusahaan Bima, tanpa diketahui Bima. Abdul yang mengurus semuanya dengan izin Pak Lutfi. Awalnya Pak Lutfi ragu menerima Rania. Apapun alasannya, ia dan Bima adalah suami istri, dan sesuai peraturan tidak ada suami dan istri yang bekerja dalam satu kantor. Namun, melihat sikap dan kinerja Rania, Pak Lutfi akhirnya menerima Rania bekerja. Perusahaannya sedang mengalami masalah keuangan yang lumayan berat. Dia tidak bisa menemukan freelance audit yang mau dibayar dengan fee standar harian. Rata-rata auditor memasang tarif diatas budget perusahaan Lutfi. Ia bersyukur Rania bisa membantunya dengan menerima fee yang diberikan. Ia hanya perlu menyembunyikan ini dari Bima dan menyediakan ruangan khusus Rania. Sebagai tambahan, Rania minta kopi saat bekerja. Tentu saja syarat yang sangat mudah bagi Lutfi sebagai direktur utama perusahaan itu.

Seperti hari ini, Bima tak mampu menyelesaikan pekerjaan audit keuangannya, menyerahkannya kepada Abdul. Di saat yang bersamaan, Lutfi sedang berada di ruangan Abdul membicarakan beberapa hal penting.

"Taruh aja di meja. Sebentar lagi auditor saya datang," kata Lutfi datar dan formal. Sejak insiden Bima dan Anggita, Lutfi memang terlihat menarik diri dari pergaulan dengan Bima. Ia lebih banyak berbicara dengan Abdul. Walaupun mereka bersahabat, ternyata bergaul dengan Abdul banyak memberi pelajaran bagi Lutfi.

Bima mengangguk dan mengundurkan diri kembali ke ruangannya. Sejak adanya freelance auditor Lutfi, pekerjaan Bima berkurang. Biasanya ia harus benar-benar menemukan kesalahan pada angka yang membuat keuangan tidak balance. Sekarang ia bisa lebih fokus dengan pekerjaannya soal relasi dengan klien.

Sepeninggal Bima, Rania datang mengambil berkas di ruangan Abdul dan membawa ke ruangan yang sudah disediakan Lutfi. Saat mulai melakukan pekerjaannya, terdengar suara pintu diketuk. Rania menengadah melihat siapa yang datang. Ia tidak khawatir soal Bima karena ruangan yang ia gunakan tidak boleh dimasuki pegawai sembarangan kecuali Lutfi, Abdul dan OB.

"Hai, boleh masuk?," tanya Lutfi melongokkan kepalanya. Rania tersenyum mengangguk melihat Lutfi. Lutfi masuk dengan membawa dua gelas kopi. Ia tak lupa menutup pintu ruangan itu.

"Nih, aku bawain kopi sesuai pesanan. By the way gimana? Masih banyak miss nya?," tanya Lutfi. Rania menerima gelas berisi latte favoritnya itu.

"Iya nih, Pak. Satu laporan ini, baru saya cek sudah keliatan miss nya. Miss nya ada di sini, di awal pembukuan. Jadi harus diperbaiki dari awal," kata Rania sembari menunjukkan laporan yang baru saja ia periksa dan dipenuhi lingkaran merah. Lutfi hanya mengangguk-angguk saja. "By the way, makasih kopinya ya, Pak?," ucap Rania dengan senyum manisnya. Lutfi tersenyum ke arah Rania. Setelah itu matanya tak bisa berpaling dari Rania.

'Bodoh Bima! Wanita secantik, sesabar dan sebaik ini dia duakan dengan Anggita,' batin Lutfi. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada gelas kopinya. Ia tidak mau berlama-lama menatap Rania. Ia menyadarkan dirinya bahwa Rania sudah bersuami. Bukan haknya untuk mengurus kondisi rumah tangga Bima dan Rania.

"Makasih ya, Nia?," ucap Lutfi tiba-tiba. Rania mengernyitkan dahi.

"Untuk?," tanya Rania.

"Yah...karena kamu sudah mau jadi auditor freelance saya. Susah banget dapat auditor dengan fee yang saya tawarkan," jawab Lutfi tertawa kecil.

"Fee segitu buat saya sudah alhamdulillah, Pak. Lumayan buat nambah uang jajan," timpal Rania dengan tawanya juga. Akhirnya keduanya tertawa. Entah apa yang mereka tertawakan.

"Sebenarnya saya nggak ngerti soal beginian. Yang ada dalam pikiran saya adalah gimana bikin perusahaan ini maju dan ngumpulin banyak uang. Tapi kok saya merasa kosong ya?," kata Lutfi seolah hanya untuk dirinya sendiri.

"Mungkin Pak Lutfi perlu pendamping hidup," celetuk Rania setengah bercanda. Lutfi tertawa kecil. Ia tahu selera humor Rania karena sudah sering bertemu dan berbincang sebelumnya.

"Aduh, Nia! Udah kepala 4 saya ini! Lagian, jaman sekarang susah nemu yang bener-bener tulus," jawab Lutfi masih dengan tawanya. Rania tersenyum kecut menanggapi jawaban Lutfi. Iya! Yang tulus ada, tapi juga disia-siakan, batin Rania.

"Saya sebenernya nggak pengen pegang perusahaan besar kayak gini. Tahu nggak cita-cita saya? Saya tuh pengen punya warung sembako," cerita Lutfi. Rania tertawa. Lutfi pun tertawa. Rania tak menyangka seorang Lutfi Nugroho, direktur utama perusahaan advertising besar di Surabaya punya obsesi buka warung sembako.

"Itu karena saya lihat petani, peternak dan supplier bahan makanan itu punya penghasilan kecil. Saya ceritanya bercita-cita mau jadi pengepulnya mereka, kasih mereka harga yang pantas gitu," sambung Lutfi. Rania tertawa kembali. Meski begitu, baginya itu mengagumkan.

"Trus kok nggak jadi, Pak?," tanya Rania.

"Saya terdampar di perusahaan Papa saya ini karena kakak saya pergi ke Kalimantan. Pilih bisnis di sana," jawab Lutfi. Rania kini tersenyum simpul.

"Eh, jadi keasyikan ngobrol, gangguin kerjaan kamu. Saya balik dulu mau meeting. Oiya, ini fee kamu sebulan ini. Maaf ya kalau kurang," kata Lutfi sambil menyodorkan amplop coklat kepada Rania. Rania menerimanya dengan tersenyum.

"Makasih, Pak," ucap Rania. Lutfi ternyata sudah berjalan menjauhinya dan hanya melambaikan tangan tanda ia menerima ucapan terima kasih Rania. Sepeninggal Lutfi, Rania membuka amplop itu dan menghitung uangnya. Ia terkejut karena uang yang ia terima ternyata lebih banyak dari yang seharusnya. Setelah pekerjaannya selesai, ia hendak mengembalikan kelebihannya. Namun, pesan chat dari Lutfi membuatnya mengurungkan niatnya.

- Pak Lutfi -

Maaf, Nia, aku mohon jangan tersinggung

Aku tambahkan sedikit untuk anak-anak

Maaf kalau masih kurang

Rania tersenyum membaca pesan atasannya itu. Ia pun membalas chat Lutfi segera.

- Rania -

Makasih Pak Lutfi

Ini sudah lebih dari cukup

Makasih sekali lagi, Pak

Rania pun mengucapkan alhamdulillah tanda syukurnya atas rejeki yang ia dapat. Gaji ini akan ia simpan baik-baik. Ia juga baru ingat kalau hari ini Bima gajian. Tentu saja ia akan mendapatkan uang dari Bima. Sedikit atau banyak yang ia terima nanti, ia akan menerimanya. Ia sudah berjanji dengan dirinya sendiri, tidak akan menuntut haknya lebih lagi. Ia akan cukupkan dengan berapapun pemberian Bima. Sisa tabungan dan fee hasil kerjanya hanya untuk berjaga-jaga saat ia butuhkan.

🍁🍁🍁

Rania sudah selesai menyiapkan makan malam. Namun, ia tidak berencana makan bersama mereka. Memang semenjak hari itu, hari dimana talak satu dijatuhkan padanya, ia belum berbicara dengan Bima ataupun berkumpul dengan mereka. Ia memilih makan belakangan setelah mereka selesai makan. Ia sedang tak mau mengundang konflik baik dalam dirinya atau dengan Bima.

Rania sudah hendak ke kamarnya, saat tangan Anggita mencegahnya. Ia menoleh. Anggita menarik tangannya dan mengajaknya duduk bersama mereka menikmati makan malam. Mata Rania dan Bima bertemu. Namun, Rania menghindari tatapan Bima. Ia duduk di samping Ardan. Saat ia baru membuka piringnya, Ardan berdiri, mengambilkan nasi dan lauk untuk dirinya, membuat semua yang ada di sana tercenung dengan perbuatan Ardan.

"Makasih, Nak," ucap Rania lirih sambil mengelus kepala anaknya. Bima menatap tajam ke arah mereka. Bahkan ia belum mengambil makanan dan Ardan juga tak mau menatapnya. Mereka pun makan dengan hening.

Seusai makan malam bersama, Ardan dan Husna kembali ke kamar. Sedangkan Rania sibuk membereskan piring dan gelas bekas makanan mereka.

"Nia, bisa kesini sebentar?," panggil Bima. Suaranya terdengar lembut kali ini. Rania menghela napas dan menuruti perkataan Bima. Ia duduk di sebelah Anggita. Bima menatapnya, mencoba mencari kasih sayang Rania yang dulu ada di matanya. Namun, tatapan Rania tajam, bukan membangkang atau marah. Namun, tatapan seorang wanita yang tersakiti. Seperti sedang meninggalkan cinta yang dulu digenggam erat olehnya.

"Ini jatah untuk kamu, Nggi. Semoga mencukupi sebulan ini," kata Bima menyodorkan amplop coklat. Selain ada uang, ada sebuah kartu ucapan yang berisi tulisan 'I Love You'. Rania terdiam melihat pemandangan itu. Anggita tersenyum bahagia dan memeluk Bima erat serta menghujaninya dengan ciuman di pipinya.

"Sudah, Nggi," ucap Bima kewalahan. Anggita menyudahi perilakunya. "Aku mau bicara dengan Rania. Kamu bisa tinggalkan kami berdua?," pinta Bima lembut. Anggita mengangguk senyum dan mengundurkan diri ke kamar. Meskipun begitu ia mengintip dari balik pintu kamarnya.

"Nia, ini jatah untuk kamu bulan ini. Maaf mungkin untukmu dan anak-anak ini kurang. Ini karena gajiku bulan ini sedikit berkurang," kata Bima menyodorkan amplop coklat. Rania membukanya. Ada kartu tulisan yang sama dengan Anggita. Ia hanya tersenyum tipis.

"Makasih, Bim," ucap Rania. Ia tak perlu menghitungnya. Ia tahu itu kurang dari yang biasanya ia terima. Tetapi ia sudah berjanji untuk tidak mendebat soal ini. Lagipula ia juga sudah memiliki penghasilan tambahan. Ia tidak perlu khawatir.

"Itu saja?," tanya Bima. Ia mengernyitkan dahinya. Ia sebenarnya sedang menunggu protes dari Rania soal haknya. Sehingga, ia bisa memberikan sisanya yang sebenarnya ia simpan. Ia ingin tahu reaksi Rania. Sayangnya, reaksi Rania tidak seheboh yang ia bayangkan. Rania menerimanya dengan senang hati, dan itu justru membuatnya curiga.

"Itu cukup bagimu sebulan ini dengan anak-anak?," tanya Bima lagi dengan penasaran. Rania mengangguk.

"Insya Allah," jawab Rania pendek dan tenang. Bima menghela napas panjang.

"Jadi tabunganmu masih banyak ya? Sampai uang segitu cukup bagimu. Come on, Rania! Itu aku kurangin jauh dari yang seharusnya. Bohong kalau itu cukup!," sergah Bima emosi. Rania bingung dengan sikap suaminya. Apa salahnya jika ia menerima apa yang diberikan suaminya? Ia merasa Bima sedang mencari-cari kesalahannya.

"Aku nggak ngerti sama kamu, Bim. Aku nggak bisa paham sama jalan pikiran kamu! Apa salahnya kalau aku terima uang ini meskipun kurang? Aku sudah berjanji untuk tidak meminta lebih dari hakku, dari apa yang kuterima. Dimana salahnya?," sergah Rania tak mau kalah.

"Salah! Itu salah! Kalau kurang harusnya kamu bilang aja! Jangan sampai nanti kamu minta sama orang tuamu atau pinjam temanmu, sana-sini. Bikin malu! Jelek namaku," seru Bima dengan menggebrak meja. Rania benar-benar tak mengerti dengan apa maksud Bima.

"Terus, kalau aku ngomong ini kurang, apa kamu mau kasih?," Rania balik bertanya dengan sinis.

"Tentu aku kasih!," jawab Bima.

"Dengan cara ngelempar uang ke mukaku lagi? Mengatakan aku mata duitan dan perhitungan sama suami? Enggak, Bim! Cukup sekali, Bim. Tenang saja! Aku bukan anak mama yang dikit-dikit ngadu. Aku, insya Allah bisa cari tambahan sendiri. Aku akan terima seberapapun pemberianmu meski itu nggak adil. Aku insya Allah ridho. Tapi untuk kejadian kemarin, maaf aku tak bisa dan tak mau terjadi lagi," kata Rania tegas. Bima terdiam. Ternyata apa yang dilakukannya itu membuat luka dalam di hati Rania. Tentu saja! Sudah diperlakukan tak adil, ditampar dan ditalak satu. Bima pun merasakan perihnya.

Rania beranjak dari sana. Ia meninggalkan Bima sendiri di ruang makan menuju kamarnya. Ia tak mau menghabiskan tenaganya untuk berdebat lagi. Entah kenapa air matanya tak bisa lagi menetes, meskipun hatinya sakit luar biasa. Ia merasa serba salah sekarang. Menerima salah, menolak pun ia takut salah. Di mata Bima apa yang Rania lakukan kali ini semuanya salah. Ia pun mengambil wudhu dan segera menunaikan sholatnya. Ia ingin mengadu sejadi-jadinya di hadapan Rabb-nya. Ia butuh kekuatan dan sandaranNya kali ini.

🍁🍁🍁

Terpopuler

Comments

Zuwarya Chairani

Zuwarya Chairani

Bagus ceritanya, baru baca mulai pagi ini,semangat author

2022-09-30

0

Leo Aren

Leo Aren

aku baru baca dan ini keren Thor. .

2021-09-12

0

Maulina Kasih

Maulina Kasih

bagus rania.....tegas jd istri...

2021-08-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!