NovelToon NovelToon

La Tahzan

KELUARGA BAHAGIA

Matahari pagi telah mengintip dari balik dedaunan. Jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Suasana perumahan Alam Citra di Surabaya tampak sudah mulai ramai. Beberapa penghuni ada yang joging, sekedar jalan pagi. Bahkan ibu-ibu sedang berkumpul membeli sayur sambil sesekali bergosip ria.

Rania sudah bangun dari subuh tadi dan menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Sudah menjadi rutinitasnya jika ia bangun di waktu subuh untuk sholat dan segera menyiapkan segala keperluan keluarganya. Tiga piring nasi goreng spesial sudah terhidang di meja. Dua gelas susu dan dua cangkir kopi juga sudah terhidang di sana. Mata cantiknya itu berkeliling mencari kedua anak dan suaminya. Tadi pagi, Ardan dan Husna sudah ia bangunkan. Sepertinya mereka sedang mandi. Terdengar gemericik air di kamar mandi, saat Rania mencoba mengintip kamar keduanya.

Kemudian ia berjalan menuju kamarnya untuk melihat apakah Bima, suaminya sudah bangun atau belum. Tadi pagi saat adzan subuh, ia sudah membangunkan Bima. Tetapi Bima tak bergeming sama sekali. Rania mencoba mengerti akan hal itu. Mungkin dia kelelahan, batinnya. Saat perempuan berhijab itu membuka pintu kamarnya, ia melihat Bima masih tergolek di tempat tidurnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian, ia membuka korden jendela kamarnya, membuat sinar matahari yang sudah terang menyorot langsung ke Bima.

Silau karena terangnya sinar matahari yang tiba-tiba masuk, membuat Bima spontan menutupi dirinya dengan selimut. Rania menghela napas pendek. Ia mulai kesal dengan sikap suaminya itu. Timbullah niat untuk menggoda laki-laki bertubuh kekar di hadapannya itu. Rania memeluk tubuh suaminya dari belakang dan mematikan ac ruangan kamarnya. Satu, dua, tiga menit berlalu. Bima membuka selimutnya karena kepanasan.

"Aduh, Yang. Panas!," serunya berusaha melepaskan selimut dari badannya. Namun, selimut itu hanya turun sepinggangnya karena ada tangan Rania yang melingkar di perutnya. Bima menghela napas tanda kalah dengan wanita kesayangannya itu. Ia berbalik, menghadap Rania. Dengan senyum di muka bantalnya ia menyapa Rania.

"Pagi, Yang. Lepasin dong? Panas nih," pinta Bima memelas. Rania pun melepas pelukannya. Ia tersenyum melihat suaminya melepaskan diri dari selimut tebalnya itu.

"Kamu kok nggak bangunin aku, Yang? Kelewat sholat subuh akunya," ujar Bima.

"Aku itu udah bangunin kamu sampe 3 kali ini lho, Yang," jawab Rania. Ia tersenyum geli dengan tingkah Bima yang terkadang manja. Bahkan lebih manja dari dirinya. Tetapi, ada saatnya ia tegas dan tak bisa dibantah.

"Oya?," tanya Bima mengernyitkan dahinya. Rania mengangguk senyum.

"Sudah, enggak apa-apa, Yang. Kamu kecapekan kayaknya. Sekarang bangun dan mandi dulu sana. Aku sudah siapin nasi goreng sama kopi buat sarapan," kata Rania. Ia kemudian bangun hendak keluar untuk memeriksa anak-anaknya. Namun, tangan Bima menarik tubuhnya kembali ke kasur.

"Makasih, Sayang," kata Bima sembari mencium bibir istrinya yang ranum itu. Mereka saling berpandangan. Bima mendekatkan wajahnya dan tiba-tiba ia menciumi pipi, hidung, dahi dan dagu Rania dengan cepat membuat Rania geli. Setelah itu Bima langsung bangun dan lari ke kamar mandi.

"Bimaaaaa," seru Rania kesal. Bima hanya tertawa dari kamar mandi. Ia tampak senang sudah menjahili istrinya itu. Rania bangun dan membetulkan jilbabnya. Ia merapikan jilbabnya di depan cermin. Kemudian, ia terpaku pada tubuhnya di cermin. Badannya sedikit lebih berisi. Wajahnya masih cantik walaupun tanpa polesan make up. Ia tak pernah menggunakan make up karena Bima memang tak pernah menyukainya. Ia hanya cukup merawat diri. Dan hasilnya, meski sudah masuk kepala 3, wajahnya bersih dan kencang.

"Mama!," terdengar suara Husna, anak bungsunya. Rania terhenyak dari lamunannya. Ia pun keluar kamarnya menuju kepada Husna.

 

🍁🍁🍁

 

Sepeninggal suami dan anak-anaknya, Rania akan berkutat dengan pekerjaan rumahnya. Ia hanya perlu merapikan kamarnya sendiri. Kamar anak-anaknya sudah dirapikan oleh mereka sendiri. Ia memang mengajari Ardan dan Husna untuk belajar mandiri. Ardan sudah 9 tahun dan Husna 7 tahun. Waktu berjalan terasa begitu cepat.

Usia pernikahan Rania dan Bima ternyata sudah berjalan sepuluh tahun lebih. Iya karena setahun setelah menikah, Rania memiliki Ardan, anak pertama mereka. Dua tahun kemudian disusul dengan kehadiran Husna, putri cantiknya. Sepuluh tahun mereka lalui dari Bima hanya sebagai karyawan kontrak, hingga sekarang menjadi salah satu tangan kanan direkturnya.

Rania tersenyum ketika melihat foto pernikahannya itu. Itu adalah pernikahan penuh drama dalam hidupnya. Rania ingat, ia baru saja wisuda saat itu, dan memutuskan menikah dengan Bima, yang hanya karyawan kontrak di sebuah perusahaan advertising. Orang tua Rania sangat tak setuju dengan pernikahan itu. Namun, seiring berjalan waktu mereka mulai menerima Bima dan anak-anaknya. Apapun yang terjadi, Rania tak pernah mengeluh kepada orang tuanya. Ia tak ingin membuat mereka sedih. Lagipula memang tak perlu ada yang dikeluhkan. Bima masih Bima yang dulu ia kenal. Bima yang masih setia dan menyayanginya.

Bima sendiri selalu memprioritaskan keluarganya, terutama Rania. Ia selalu berusaha memenuhi apapun keinginan Rania. Ia tak mau Rania terlalu stress, maka ia mengatur keuangan sendiri. Ia selalu meminta daftar belanja bulanan, kemudian berbelanja bersama. Sisa uang belanja itulah yang ia berikan kepada Rania sebagai nafkah. Ia tak ingin Rania bekerja. Ia ingin Rania fokus mengurus rumah dan anak-anaknya. Maka dari itu, sisa bersih uang gajinya ia berikan kepada Rania sebagai nafkah. Rania sudah teramat sangat paham dengan perilaku suaminya itu. Ia tak pernah protes. Uang yang ia terima selalu ia tabung diam-diam.

Siapapun akan iri melihat keharmonisan mereka. Rania memang selalu berusaha menutupi kekurangan Bima. Begitu pula sebaliknya.

"Bukankah istri adalah tulang rusuk dan suami adalah jantungnya? Tulang rusuklah yang melindungi jantung," Rania selalu mengingat kata ustadzah setiap pengajian. Itulah yang ia pegang selama ini. Di setiap do'anya ia selalu memohon agar rumah tangganya selalu baik-baik saja. Ia ingin menghabiskan akhir hayatnya hanya dengan Bima seorang sebagai suaminya. Ia berdoa tak ada pernikahan kedua dalam hidupnya.

 

🍁🍁🍁

 

Di tempat lain, Bima sedang meeting dengan kliennya. Ia ditemani dengan seorang gadis muda nan enerjik sebagai sekretarisnya. Sebenarnya Anggita, demikian nama gadis itu adalah sekretaris atasannya, Pak Lutfi. Hanya saja hari ini ia menggantikan Pak Lutfi untuk meeting dan ia bebas membawa Anggita hari ini.

"Jadi, ini semua penawaran dari kami," kata Anggita menyudahi presentasinya. Senyum manis mengembang di bibir berlipstik merah itu. Klien itu membaca proposal mereka sekilas.

"Kami akan mempelajarinya lagi. Minggu depan akan kami info kembali," jawab klien itu dingin. Kemudian, klien itu pamit. Senyum manis Anggita langsung menghilang begitu mereka pergi. Ia menghela napas kesal. Bima sedari tadi memperhatikan gerak gerik Anggita.

"Dasar! Sombong benar! Padahal sudah dikasih harga murah, masih juga dipertimbangkan," gerutunya seolah untuk dirinya sendiri. Ia kemudian meneguk jus jeruk dihadapannya hingga setengah gelas. Ia lupa bahwa Bima, atasannya masih di sana. Begitu ia menyadari sedang diperhatikan Bima, ia menurunkan gelasnya perlahan dan menunduk malu.

"Maaf, Pak Bima," katanya sopan. Bima tertawa keras sekali. Ia sudah tak tahan melihat tingkah laku sekretarisnya itu.

"Kamu ini lucu sekali! Sudah santai aja! Panggil aja Bima. Berapa sih umur kamu, Nggi?," tanya Bima masih dengan sisa tawanya. Anggita kemudian tersenyum sumringah melihat sikap santai Bima.

"Dua tiga, Pak," jawab Anggita cepat.

"Tuh kan, Pak lagi. Kita lho seumuran kalau angkanya dibalik," ujar Bima bercanda. Anggita tertawa.

"Bima, Bima. Kalau dibalik ya ngejungkir dong! Enggak kebaca!," timpal Anggita. Keduanya tertawa kembali. Kemudian obrolan santai itu pun berlanjut dengan banyak hal seru lainnya.

"Kamu cantik," kata Bima. Pipi Anggita merona dipuji oleh lelaki setampan Bima. Sayang, sudah punya istri, batin Anggita sedikit kecewa. "Pacar kamu nggak marah kalau kamu tinggal kerja bareng Pak Lutfi gitu?," tanya Bima lagi.

"Jojoba aku, Bim," jawab Anggita kemudian.

"Jojoba?," Bima balik bertanya tak mengerti. Anggita tertawa kecil. Ia lupa, Bima sembilan tahun lebih tua darinya.

"Jomblo-jomblo bahagia," jelas Anggita. Bima tertawa. Setelah membayar bill makan siang mereka, Bima mengajak Anggita kembali ke kantornya. Dan dimulailah kisah ini

 

🍁🍁🍁

 

DILEMA

Pagi sudah menjemput matahari untuk bersinar. Sinar matahari masih malu-malu mengintip di ufuk timur. Rania menghirup udara pagi dalam-dalam. Ia meneguk kopinya dengan senyuman penuh syukur.

"Sayang, aku berangkat dulu ya?," pamit Bima. Rania berdiri dari tempat duduknya. Ia meraih tangan suaminya itu dan melihat jam tangannya. Masih pukul enam lebih lima belas menit. Sudah beberapa hari ini Bima berangkat pagi-pagi sekali. Hari ini ia tidak menghabiskan kopinya lagi.

"Kamu berangkat pagi banget sekarang, Yang?," tanya Rania sembari merapikan baju kerja suaminya itu. Bima tersenyum. Ia mengecup kening istrinya itu. Ia mengerti ketidaksukaan istrinya itu.

"Maaf ya, Yang. Nanti malam aku janji pulang lebih awal. Kita malam mingguan. Mumpung anak-anak lagi di rumah Mamamu," ujar Bima dengan senyum termanisnya. Rania mengangguk senyum. Sudah, cukup dengan kata-kata itu saja, Rania akan hilang amarahnya. Ia mencium tangan suaminya itu. Bima mengecup kening dan bibir istrinya itu dan berangkat kerja. Di tangan kanannya ia memegang roti bakar sarapannya. Rania hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah suaminya itu.

 

🍁🍁🍁

 

"Hai," sapa Bima dengan memasang senyum termanisnya. Ia membuka kaca mobilnya tepat di depan sebuah kos-kosan elite. Anggita tersenyum girang melihat Bima datang menjemputnya. Yups! Beberapa hari terakhir mereka sangat dekat sebagai 'teman'. Inilah alasan Bima berangkat pagi-pagi dari rumahnya, agar bisa menjemput Anggita. Bima sengaja berangkat pagi karena lokasi kos Anggita berlawanan dengan arah ke rumahnya.

Anggita segera duduk di samping Bima. Ia melihat Bima sedang menggigit roti bakar sambil menyetir. Ia gemas sekali melihat Bima yang menyetir sambil makan itu. Ia pun mengambil roti yang ada di mulut Bima.

"Nyetir yang benar, Bim! Jangan sambil makan!," seru Anggita. Bima tersenyum. Roti bakar. Pasti buatan Rania, batin Anggita. "Ciiee dibekelin sama istrinya," goda Anggita setengah cemburu. Kemudian ia melahap roti bakar itu sampai habis, tanpa menyisakan untuk Bima.

"Cemburu ya yang jomblo?," goda Bima kemudian. Anggita merengut sambil mengunyah roti bakar itu. Enak banget, batin Anggita.

"Ngambek tapi kok diabisin? Enak 'kan buatan Rania?," goda Bima lagi. Kemudian, keluarlah cerita soal Rania yang selain pintar memasak juga sangat lembut dan penyayang. Anggita mulai bosan dan gusar.

"Iya iya, istri kamu itu nomor satu. Pintar segalanya! Aku enggak ada apa-apanya!," sungut Anggita sebal. Entah kenapa ia tak terlalu suka dibanding-bandingkan dengan istri Bima. Ia penasaran sekali dengan 'wujud' Rania. Sesempurna itukah sampai Bima selalu mengagung-agungkannya.

Anggita diam sepanjang perjalanan menuju kantor. Bima tahu Anggita kesal karena ia terus bercerita soal Rania. Bima memarkir mobilnya di basement gedung kantornya. Begitu mobil terparkir, Anggita sudah hendak membuka pintu ketika tangan kekar Bima mencegahnya. Ia pun mengurungkan niatnya.

"Kalau aku melamarmu, gimana?," tanya Bima. Ia menatap dalam-dalam wanita di depannya itu. Anggita tertawa kemudian. Dia merasa lucu. Mana mungkin seorang Bima mau menikahinya.

"Jangan ngaco, Bim! Rania dan anak-anak mau kamu kemanakan?," sahut Anggita masih dengan tawanya. Bima tetap menatap Anggita. Anggita, gadis itu memang memiliki pesona yang berbeda. Ia energik dan menarik. Ketika ia tak suka dengan apa yang dihadapinya, ia akan menolaknya. Anggita memang berbeda dengan Rania yang lemah lembut. Mungkin juga karena Rania dewasa, dan sudah menjadi ibu. Astaghfirullah, kok jadi membanding-bandingkan, batin Bima.

"Poligami kalau kamu setuju," jawab Bima dengan santainya. Anggita semakin tergelak mendengar perkataan Bima.

"Bima, Bima. Tidak ada wanita yang mau dimadu," jawab Anggita dengan tawanya.

"Rania itu beda. Dia itu penurut. Dia tidak akan menolak permintaanku," kata Bima percaya diri. Anggita mencibir manja.

"Buktiin saja! Aku akan nikah sama kamu kalau kamu berhasil ngomong ke istri kamu," ujar Anggita setengah menantang. Sekalipun begitu, ia sedikit berharap Bima benar-benar melakukannya. Karena jujur, ia terlalu nyaman dengan Bima. Ada rasa yang tak bisa ia jelaskan bersama Bima.

"Okay! Deal yah?," Bima meyakinkan dengan mengulurkan tangannya. Anggita menjabat tangan Bima, sembari berkata, "DEAL!".

 

🍁🍁🍁

 

Bima memandang keluar ruangan kantornya yang menghadap ke jalanan kota Surabaya. Ia tak bisa mengerjakan apapun hari ini. Ia memikirkan tentang tantangan Anggita tadi pagi. Sesungguhnya Bima merasa tak tega dengan Rania. Menduakan Rania? Sama sekali tak pernah terpikir di benaknya.

Poligami. Bolehkah?, batinnya. Secara hukum agama maupun negara, suami boleh mengambil istri lagi atau menikah lagi. Tetapi dengan syarat atas izin istri pertama. Apakah Rania akan mengizinkannya?, batinnya lagi. Kalau ia meminta izin, tentu Rania akan menolaknya. Bukankah menikah lagi tidak perlu izin istri pertama dalam agama Islam, batinnya lagi. Ia tak mau terus menerus dilanda rasa penasaran dan rindu kepada Anggita. Daripada berzina, lebih baik poligami, begitu pikirnya.

Bima memutar kursinya kembali menghadap meja kerjanya. Tetapi ia terkejut menyadari Abdul, sahabat sekaligus rekan kerjanya itu sudah duduk manis di depannya. Ia sedikit terlompat dari kursinya.

"Elo bisa 'kan ketok pintu dulu?," tegur Bima setengah dongkol. Abdul menghela napas. Laki-laki itu menggelengkan kepalanya. Ia memandangi sahabatnya itu. Ia membaca suatu hal kacau dalam raut wajah Bima.

"Sorry, bro! Gue udah ketok-ketok tapi elonya 'tuh enggak denger!," jawab Abdul. Bima mengelus dadanya. Ia melirik sahabatnya itu. Lelaki berwajah timur tengah itu tampak dengan santainya duduk di hadapannya.

"Ada perlu apa, Dul?," tanya Bima. Ia tahu pasti ada sesuatu yang diinginkan Abdul darinya.

"Nggak ada apa-apa. Gue cuma mau cuti akhir bulan ini," jawab Abdul.

"Mau kemana lo?".

"Biasa. Nyenengin nyonya dulu," jawab Abdul senang. Bima mengangguk-angguk.

"By the way**, menurut lo poligami itu gimana sih?," tanya Bima. Ia hanya ingin mencari pendapat tentang poligami.

"Ya sah-sah aja asal lo sanggup untuk adil sama istri-istri lo. Adil itu bukan berarti sama rata lho, Bim. Adil dalam artian menurut porsinya masing-masing," jawab Abdul. Bima mengangguk.

"Gimana soal izin istri pertama?," tanya Bima lagi.

"Sebenernya dalam aturan agama Islam, poligami tidak memerlukan izin istri pertama. Kayaknya cuma hukum negara deh yang mewajibkan," jawab Abdul lagi. Lagi-lagi Bima mengangguk. Abdul mengernyitkan dahi. "Jangan bilang lo mau nikah lagi?!," seru Abdul kemudian. Bima terdiam, dan itu cukup memberikan Abdul jawaban.

"Duh, Bim, Bim. Rania kurang apa sih sampe elo mau nikah lagi? Lo sanggup adil enggak, lo sanggup enggak bikin mereka serumah? Trus lo mau bilang apa ke orang tua Rania? Kalau gue ya, Bim. Jujur gue belum sanggup adil apalagi soal nafkah dan hati. Bahagiain satu aja belum mampu mau ambil satu lagi. Bisa mati dirajam sama istri gue," komentar Abdul. Bima terdiam. Masalah adil soal nafkah, ia yakin bisa. Penghasilannya saat ini bahkan lebih dari cukup. Bukankah berbagi itu lebih baik?, batinnya mencoba membela diri.

"Ya udah, gue dikasih ijin cuti nggak nih?," tanya Abdul. Bima terhenyak.

"Iya iya cuti dah sono! Puas-puasin sama bini lo liburan," kata Bima. Abdul pun tertawa senang dan girang. Ia melengang keluar ruangan Bima sambil bersiul riang. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih pada sahabat sekaligus atasannya itu.

Sepeninggal Abdul, Bima kembali pada pemikirannya. Apa yang kurang dari Rania? Tak ada! Baginya Rania bukan hanya istri, tetapi juga sahabat dan ibu bagi anak-anaknya. Ia sangat menghargai perjuangan Rania. Tetapi jiwanya entah tak bisa berpaling dari Anggita. Cintanya pada Rania tak pernah pudar, tetapi apakah ia salah ketika ia jatuh cinta lagi pada Anggita, yang menghidupkan suasana saat mereka bersama. Batinnya benar-benar dilema.

🍁🍁🍁

TEMAN TAPI CINTA

Bima tengah bersiap untuk pulang ketika jam menunjukkan pukul lima sore. Di saat ia sedang membereskan mejanya, Pak Lutfi ditemani Anggita masuk ke ruangannya.

"Lho? Kamu sudah mau pulang, Bim?," tanya Pak Lutfi.

"Iya, Pak. Saya sudah janji sama Rania mau keluar dinner, Pak," jawab Bima sopan. Pak Lutfi tersenyum. Ia mengacungkan jempolnya.

"Oke, berarti kita cuma keluar berdua dong! Maunya saya ajak kamu merayakan proyek yang sudah kita menangkan kemarin. Tapi enggak apa-apa. Membahagiakan istri jauh lebih penting. Kalau saya, membahagiakan Anggita aja ya?," ujar Pak Lutfi setengah bercanda. Anggita tertawa. Bima pun ikut tertawa meski hatinya tidak suka cara Pak Lutfi memandang Anggita dan cara Anggita merespon candaan Pak Lutfi.

Kemudian, Pak Lutfi mengajak Anggita keluar ruangan Bima. Bima terpaku melihat mereka keluar berdua, berjalan beriringan. Dalam hatinya ia sedikit tak rela jika Anggita keluar berdua dengan Pak Lutfi. Ia tahu Pak Lutfi duda dengan paket lengkap. Duda kaya tanpa anak. Umurnya Pak Lutfi juga belum terlalu tua, baru memasuki umur 45. Sedangkan, Anggita juga paket lengkap. Perempuan cantik, sexy dan menarik. Anggita terlihat menarik dari gayanya berbicara dan menghidupkan suasana.

Ahh, Bima kesal pada dirinya sendiri. Ia menghela napas panjang. Mengatur emosinya yang mulai tertekan. Ia harusnya memikirkan apa yang akan ia berikan sebagai hadiah untuk Rania nanti malam. Ia pun bergegas menuju parkiran mobilnya. Tak mau terlalu toxic dengan melihat Anggita bercanda dengan Pak Lutfi. Bima melewati ruangan Anggita tanpa menyapanya. Ia tetap bergegas menuju mobilnya, ingin segera sampai ke rumah.

Baru saja ia masuk ke dalam mobilnya, sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Ia melihatnya sekilas. Ada nama Anggita di sana. Ia tak memedulikannya. Ia melajukan mobilnya menuju sebuah toko emas dekat kantornya. Ia memutuskan membelikan Rania satu set perhiasan, kalung dan cincin. Hitung-hitung untuk mengurangi rasa bersalahnya telah mendekati perempuan lain dengan sengaja. Ia berharap segera bisa menghapus Anggita dari hati dan pikirannya.

 

🍁🍁🍁 

Adzan maghrib baru saja selesai dikumandangkan. Suaranya tak jauh dari rumah Rania. Rania sedang mengambil wudhu dan Bima kini tengah bersiap di kamar sholat menunggu Rania. Sembari menunggu Rania, Bima memeriksa ponselnya. Pesan dari Anggita dari tadi sore belum ia baca. Ketika ia membuka whatsapp, panggilan tak terjawab dari Anggita begitu banyak. Ada 10 panggilan. Bima membuka chat Anggita.

* Anggita *

Bim, kamu kenapa? Kamu marah sama aku?

Maaf ya aku nemenin Pak Lutfi?

Bima menghela napas panjang. Ia seharusnya tak butuh maaf dari Anggita, karena dia bukan siapa-siapa Anggita. Mereka hanya sebatas teman yang kini mulai merasa nyaman satu sama lain. Mereka membangun pertemanan dan mulai menggunakan hati masing-masing.

"Yang, ayo dimulai!," suara Rania membuyarkan lamunan Bima. Bima mengangguk dan segera berdiri. Ia memulai sholat seperti biasanya.

Selesai mengucapkan salam, Rania mencium tangan suaminya itu. Ia melihat Bima menatapnya dalam-dalam. Kemudian, Bima mengecup keningnya dan berkata, "maaf ya, Yang?". Rania tak mengerti apa maksud suaminya. Perasaannya tiba-tiba menjadi campur aduk. Ia merasa sedih tanpa sebab. Lamunan mereka buyar ketika suara ponsel Bima berdering. Bima melihatnya sekejap. Anggita. Lalu, ia mematikannya dan membuat mode silent pada ponselnya.

"Siapa, Yang?," tanya Rania sembari melepas mukenanya.

"Sekretaris Pak Lutfi," jawab Bima.

"Ngapain nelpon? Kamu enggak bilang pulang cepet?," tanya Rania lagi. Bima nyengir dan menggeleng. Rania menghela napas. "Lain kali bilang dulu sama Pak Lutfi. Nggak enak lho sampai dicariin begini," ujar Rania lembut. Bima memeluk Rania dari belakang. Mengecup pipinya. Rania menikmati pelukan hangat suaminya itu untuk beberapa saat.

"Sudah enggak apa-apa, sekarang aku ganti baju dulu. Siap-siap biar nggak kemaleman," kata Rania melepaskan diri dari pelukan suaminya. Bima melepaskan pelukannya dan mengangguk senyum.

Sepeninggal Rania, Bima kembali membuka ponselnya. Chat dari Anggita memenuhi notifikasinya. Semuanya berisi permintaan maaf dan penjelasan. Chat terakhirnya ia mengatakan menunggu balasan dari Bima. Bima akhirnya memutuskan untuk membalas chat Anggita.

* *Bima *

Sorry*, Nggi. Aku lagi sama Rania. Aku enggak marah. Nikmatin aja malam minggu kita masing-masing. Kita ini cuma temen kan?

* Anggita *

Iya

Temen tapi cinta**

Bima membacanya. Ia hanya mampu menghela napas panjang. Kemudian dihapusnya chat itu. Terdengar suara langkah Rania berjalan mendekatinya. Ia menoleh. Rania tampak anggun dengan gamis bunga-bunga warna maroon dengan hijab warna senada. Bibirnya yang ranum hanya dipoles dengan liptint yang menciptakan kesan ombre lips. Meskipun usianya sudah memasuki kepala 3, namun ia terlihat cantik seperti masih 20an.

"Baju baru nih," goda Bima. Rania tersipu malu.

"Iya, Yang. Ini yang aku buat minggu lalu," jawab Rania. Memang sejak menjadi istri Bima, Rania mengisi waktu luangnya dengan menjahit baju sendiri. Seperti baju yang ia pakai saat ini. Bima hanya berdecak kagum melihat kecantikan Rania. Sayangnya, pikirannya kembali ke Anggita. Seandainya Anggita menggunakan baju yang sama, batinnya.

"Sudah, ah! Ayo berangkat, Yang!," ajak Rania. Bima mengangguk dan menggandeng tangan Rania menuju mobil mereka. Mereka pun berangkat menuju restoran favorit Bima.

Sesampainya di restoran, Bima mengajak Rania mengambil meja yang terpisah dari meja pengunjung lainnya. Mereka pun memesan hidangan dan mulai menikmati malam di restoran yang terbuka itu.

"Yang, kamu cantik," puji Bima. Rania tersipu. Tapi entah kenapa, perasaan Bima tak sama seperti sebelum-sebelumnya. Ia senang memuji Rania. Tapi kali ini rasanya berbeda. Ia berusaha mengusir perasaan-perasaan aneh itu lagi. Kemudian ia mengeluarkan hadiah yang telah ia persiapkan sebelum berangkat tadi. Rania terkejut dengan hadiah di hadapannya itu.

"Yang, ini...ini mewah banget," kata Rania. Rania sampai tak tahu harus berkata apa. Bima tersenyum manis.

"Nggak apa-apa, Yang. Aku senang bisa kasih kamu hadiah, untuk ibu dari anak-anakku. Untuk istri yang selalu setia menemaniku," jawab Bima. Suara itu terdengar romantis di telinga Rania. Bima memang tak pernah kehilangan sense of romanticnya. Ia tersenyum bahagia menerimanya. Bima mengambil cincin itu dan memakaikannya di jari manis Rania. Sedangkan kalungnya ia akan pakaikan nanti saat di rumah. Tak lupa ia mengecup punggung tangan Rania. Rania amat sangat bahagia melihat ini semua.

"Wahh, lihat siapa nih yang lagi dinner di sini!," terdengar suara celetukan dari arah belakang Bima. Bima mengenal suara itu. Pak Lutfi. Bima menoleh dan ternyata benar itu Pak Lutfi dan Anggita. Mereka ternyata makan malam di restoran ini juga.

"Malam, Pak," sapa Rania ramah. Anggita menatap Rania. Begitupula dengan Rania. Bedanya, Rania memandang Anggita sebagai sesama wanita. Sedangkan, Anggita memandang Rania dengan membandingkan kepada dirinya sendiri. Sungguh, Anggita merasa kecil, merasa bahwa apa yang diceritakan Bima tak berlebihan. Ia melirik cincin yang melingkar di jari manis Rania. Ia melihat bagaimana Bima memakaikan cincin itu dengan romantisnya. Ia merasakan sakit di hatinya. Ia cemburu. Tapi jika mengingat status hubungannya sebagai teman Bima, apa yang bisa diperbuatnya.

"Ternyata kalian dinner di sini ya?," seru Pak Lutfi. Bima mengangguk kelu. Tadi ia sudah berbohong soal panggilan dari Anggita. Sekarang, mereka bertemu di sini. Ia berdo'a semoga saja tidak membahas soal izinnya tadi.

"Ya sudah kalian nikmati dinner kalian. Kita kesana aja ya yuk, hon! Jangan ganggu yang lagi honeymoon," kata Pak Lutfi mengajak Anggita ke ujung ruangan. Anggita menoleh kaget saat Pak Lutfi memanggilnya 'Hon' yang artinya honey. Bahkan Pak Lutfi mengedipkan sebelah matanya saat menarik tangan Anggita. Bima yang mendengar itu hanya tersenyum. Ia melihat kelu ke arah keduanya. Setidaknya ia bisa merasa lega karena kebohongannya tak terbongkar.

Sepanjang dinner baik Bima dan Anggita tidak konsentrasi dengan pasangan mereka masing-masing. Bahkan terkesan mereka menjaga agar tak saling menyakiti. Rania yang menyadari hal itu melirik ke arah Bima. Ia melihat ke arah mana lirikan mata Bima. Anggita dan Pak Lutfi. Anggita yang bertemu mata dengan Rania menundukkan pandangannya. Rania kembali ke hidangannya. Ia merasakan sesuatu yang tak biasa diantara mereka. Tetapi, ia tak ingin merusak dinner yang sudah direncanakan suaminya. Sebenarnya, pada kenyataannya, dinner itu sudah rusak suasananya.

"Bim, kita pulang aja ya?," kata Rania. Bima terhenyak mendengar perkataan Rania. Ia melihat istrinya itu meneguk minumannya dan melap bibirnya, menyudahi memakan hidangannya.

"Lho, Yang? Kok 'gitu?," tanya Bima tak mengerti dengan perubahan sikap Rania.

"Sudah hilang seleranya," jawab Rania dingin. Bima masih bingung. "Harusnya kamu enggak perlu pesen hidangan kalau cuma buat dipelototin!," pungkas Rania kemudian. Bima melihat piringnya. Ia melihat piring Rania yang sudah berkurang porsinya. Bima menghela napas. Dia tak sadar telah merusak dinner yang ia rencanakan sendiri. Dan finally merusak suasana hati Rania. Rania beranjak dari tempat duduknya, diikuti oleh Bima.

Rania berjalan lurus ke depan tanpa melihat sekelilingnya. Ia sedang berusaha meredam hatinya yang panas. Ada hubungan apa antara mereka?, batinnya kesal.

"Nia, tunggu! Kamu cepat banget jalannya?," seru Bima. Rania bahkan tak menoleh. Begitu sampai di parkiran, ia menunggu Bima membuka mobilnya. Bima tak langsung membuka pintu mobilnya. Ia mendekati Rania.

"Yang, maaf kalo aku merusak dinner kita malam ini. Sebenernya tadi aku bohong. Aku sudah izin sama Pak Lutfi. Soal Anggita nelpon aku mungkin mau ngajakin mereka merayakan keberhasilan menang proyek," kata Bima. Ia mencoba jujur, meski setengahnya ia berbohong. Iya! Soal Anggita.

"Kamu enggak perlu bohong untuk soal kecil seperti itu," jawab Rania. Wajahnya terlihat kesal. Ia kesal bukan karena kebohongan kecil Bima, tetapi cara Bima dan Anggita mencuri pandang.

"Iya, aku minta maaf, Yang," ucap Bima lagi. Kali ini lebih memelas. Rania mengangguk meski masih ada kesal di hatinya. "Kalo gitu senyum, dong?," pinta Bima lagi. Rania tersenyum meski hatinya tidak.

"Sekarang kita kemana?," tanya Bima.

"Pulang aja! Aku capek," jawab Rania menghela napas panjang. Bima menghela napas dengan senyumnya. Ia mengerti istrinya itu masih kesal. Namun, ia tak akan mengikuti amarah itu.

"Hemm, capek apa pengen?," goda Bima dengan memainkan hidung istrinya itu. Mau tak mau, Rania tertawa juga. Amarah di hatinya lepas begitu saja. Kemudian ia memeluk Bima dan berbisik, "bawa aku pulang". Bima kemudian membuka pintu mobilnya dan segera melajukan mobilnya menuju rumahnya. Malam ini menjadi milik mereka. Diam-diam sepasang mata menatap mereka dengan penuh rasa sakit.

 

🍁🍁🍁

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!