Rania membuka matanya perlahan. Ia baru sadar telah tertidur sejak masuk kamar. Ia melihat jam di mejanya. Pukul dua siang. Ia pun bangun dan mengambil wudhu serta menunaikan sholat dzuhurnya. Telinganya menangkap suara tawa renyah dari kamar di sebelahnya. Suara Anggita dan Bima yang sedang bercanda dalam panggilan video. Ini terdengar suara Bima yang agak samar-samar. Rania menghela napas panjang mencoba menenangkan hatinya yang mulai sesak oleh rasa cemburu.
Sejak kedatangan Anggita, hubungan antara Rania dan Bima tak sehangat dulu. Ketika tiba gilirannya, mereka hanya membicarakan perihal anak-anak. Bagi Rania itu penting. Bima tak pernah lagi mengajaknya bercanda atau mengirimkan pesan manja ke ponselnya. Kalaupun Bima mengirimkan pesan itupun hanya menanyakan keadaan rumah dan Anggita. Kadang Rania berpikir ia hanya dianggap sebagai "babysitter" Anggita, bukan istri Bima lagi.
Seusai sholat dzuhur, Rania melihat kamar anak-anaknya. Ternyata Ardan dan Husna masih tidur siang. Mereka baru pulang jam 1 siang. Ia mengecup kening kedua anaknya sembari berbisik, "maafin Mama, Sayang". Ia beranjak dari kamar anak-anaknya sebelum air matanya jatuh.
Rania duduk di ruang makan. Menjatuhkan beberapa bulir air matanya di sana. Tak ada siapapun. Masih terdengar suara tawa Anggita dan Bima. Entah kenapa sedih rasanya. Seperti kehilangan sesuatu. Namun, sedetik kemudian, ia teringat ajakan Ustadzah Fitria tadi pagi. Ia melihat jam tangannya. Masih jam 2. Ia pun bergegas menuju rumah Ustadzah Fitria yang berada di depan rumahnya.
"Assalamu'alaikum, Ustadzah", sapa Rania dari depan pintu rumah Ustadzah Fitria.
"Wa'alaikumsalam," jawab Ustadzah Fitria. Ia tersenyum mendapati Rania berada di depan pintu rumahnya dengan rona wajah yang bingung. Ia tersenyum dan mengajak Rania masuk ke ruang tamunya. Rania duduk di depan Ustadzah Fitria.
Rania memperhatikan sekeliling. Sepi. Tak ada satu pun jamaah yang hadir. Biasanya kalau ada pengajian, ruang tamu ini akan penuh dengan ibu-ibu komplek. Ia begitu bingung, kenapa tadi Ustadzah Fitria mengajaknya mengaji, sedangkan saat ini tak ada siapa-siapa di sana.
"Maaf sebelumnya, Ustadzah. Pengajiannya jam berapa?," tanya Rania. Ustadzah Fitria tersenyum.
"Bisa dimulai kapan aja, Nia," jawab Ustadzah Fitria. Ia melihat sahabatnya yang masih belum dapat mencerna kata-katanya. Rania terlihat tak mengerti maksud ucapannya.
"Nia, aku mengajakmu ngaji bukan untuk pengajian resmi. Ngaji antara aku dan kamu, ngaji kehidupan," jawab Ustadzah Fitria. Rania mengangguk. Kini, ia mengerti maksud ucapan Ustadzah Fitria. Rania menatap sahabatnya itu dan tersenyum. Sudah lama mereka tak berhadapan berdua seperti ini. Mereka dulu pernah sekampus dan sekelas. Namun, setelah lulus mereka berpisah. Lima tahun kemudian, mereka bertemu di komplek perumahan ini, saat Rania dan Bima pindah rumah ke komplek ini. Saat itu, Rania tak menyangka bisa bertemu sahabat sekelasnya itu. Apalagi dengan penampilannya yang semakin agamis. Ternyata Fitria telah menikah dengan seorang ustadz dan ikut berhijrah.
"Untuk kamu, panggil aja Fitria seperti dulu. Kamu mau cerita sesuatu?," kata Ustadzah Fitria. Rania tertawa kecil. Ada kepahitan dalam tawanya.
"Aku nggak tahu apa aku boleh menceritakan ini. Ini masalah rumah tangga kami, Fit," kata Rania lirih. Ustadzah Fitria tersenyum.
"Boleh jika tujuan kamu mencari ketenangan dan keikhlasan. Bukan untuk menjatuhkan pasangan atau orang lain," jawab Ustadzah Fitria. Rania kembali tersenyum pahit. Ia tak tahu apa yang harus ia ceritakan atau harus memulai darimana. Ia hanya menghela napas sebentar.
"Fit, dosa nggak sih kalau aku nggak ridho sama semua ini? Dosa nggak sih, kalau aku cemburu? Dosa nggak kalau aku nggak pernah ikhlas sama pernikahan mereka?," tanya Rania dengan isak tangisnya. Ustadzah Fitria terdiam. "Aku nggak pernah minta banyak darinya. Aku nggak pernah nuntut apa-apa dari Bima. Aku hanya minta dia setia. Sebegitu susahkah untuk setia? Aku nggak pernah tahu kapan dan dimana mereka nikah. Yang aku tahu, dia datang membawa perempuan itu ke rumah kami, menyuruh kami beradaptasi dengannya, menyuruhku menjaganya dan menyuruhku menerimanya. Ia terus berkata, 'jadikan ia istri sebaik dirimu, walaupun tak sesempurna dirimu'. Kalau aku sudah sempurna baginya, kenapa ia mengkhianatiku? Kenapa menikah lagi?," isak Rania lagi. Kata-kata itu lebih mirip sebuah tuntutan kepada Allah dan Bima. Ustadzah Fitria membiarkannya menumpahkan semua yang Rania rasakan dan menunggu tangisnya reda.
"Nia, kamu harus kuat dan sabar. Ada anak-anak yang harus kamu dampingi. Ini ujian kesabaranmu. Kamu tahu, jika kamu bisa ridho dan ikhlas, ada surga sebagai jaminannya. Jadikan semua ini sebagai ladang pahala kamu," kata Ustadzah Fitria lembut ketika tangis Rania sudah reda. Ia pun berpindah dan duduk di sebelah Rania. "Aku tahu perasaanmu. Semua serba mendadak di depan mata. Itulah ujian. Jangan pernah merasa rendah diri, Nia. Kamu cantik, kamu sempurna. Benar kata Bima. Kamu harus positif thinking. Kalau Bima menyuruhmu menjaganya dan menjadikannya istri yang baik, artinya Bima mengakui bahwa kamulah yang sempurna baginya. Kamu lebih baik darinya dan Bima percaya itu. Lalu kenapa kamu harus cemburu?," jelas Ustadzah Fitria.
Rania menoleh dan menatap Ustadzah Fitria dalam-dalam. Hati dan pikirannya membenarkan apa yang disampaikan Ustadzah Fitria. Benar, ia lebih baik dari Anggita. Kalau tidak, kenapa Bima mempercayakan Anggita padanya? Mungkin saja Bima hanya memenuhi jiwa petualangnya sebentar dengan Anggita.
"Cemburu itu wajar. Tetapi jangan buta. Apa yang dulu kamu lakukan pada Bima sampai ia jatuh cinta padamu, lakukan. Kamu tak perlu takut dinilai berlebihan. Kalau cemburu, ungkapkan dengan baik, misalkan dengan bermanja mungkin. Lakukan tugasmu sebagai istri. Layani Bima seperti sebelumnya, bahkan lebih baik. Ingat, Nia! Kalau kamu bisa memuaskan jiwa yang haus itu, ia tak akan berpaling lagi darimu," kata Ustadzah Fitria. Rania mengangguk. Iya! Dia ingat sejak Anggita datang, memang banyak perubahan dalam kehidupan rumah tangganya. Itu karena ia tak banyak bicara lagi dan juga karena rasa bersalah Bima.
"Ikhlas, Nia. Biarkan Allah yang atur. Kamu cukup jalani. Kembalikan semua padaNya," kata Ustadzah Fitria sebelum Rania pamit. Rania mengangguk senyum. Kini, hatinya cukup lega. Ia hanya perlu melakukan saran dari Ustadzah Fitria. Dan ia berjalan kembali ke rumahnya dengan langkah yang sedikit lebih ringan.
🍁🍁🍁
Pukul tujuh malam, Bima baru sampai di rumah. Ia melihat Rania duduk di teras, dan berdiri ketika ia turun dari mobil. Rania mencium tangannya dan menyambutnya dengan senyuman manis. Seperti dulu. Iya! Dulu Rania akan menunggunya pulang di depan. Menyambutnya dengan senyuman termanis. Rania akan masak masakan favoritnya. Dan benar saja! Di meja makan ada masakan favoritnya. Ayam bakar.
"Ada apa ini, Yang?," tanya Bima bingung dengan perubahan sikap Rania. Ia menatap Rania penuh tanda tanya. Sedangkan Anggita yang baru keluar kamar melihat mereka dalam diam. Ia terpaku melihat Rania bermanja pada Bima. Sebenarnya, ia keluar untuk menyambut Bima seperti biasanya. Tetapi ia justru melihat Rania yang terlebih dulu menyambut Bima. Bahkan Rania berdandan cantik meskipun tipis.
"Nggak ada apa-apa, Yang. Yah, udah lama kan aku nggak masakin enak suamiku tersayang ini. Perut gendutnya jadi ilang," jawab Rania setengah bercanda. Bima tersenyum dengan setengah kebingungan. Sedangkan, Rania tertawa kecil. Bima tersenyum melihat tawa Rania yang sebulan lebih menghilang.
"Udah, ah! Ayok mandi dulu! Aku siapin baju gantinya juga," ajak Rania. Bima begitu menurut ajakan Rania. Mereka berdua berpapasan dengan Anggita. Anggita jadi salah tingkah melihat kemesraan Bima dan Rania. Anggita mencium tangan Bima. Bima mengecup keningnya dan berlalu menuju kamar Rania.
"Dek, kamu duluan aja sama anak-anak. Siapin minumnya Bima ya?," kata Rania dengan senyumnya. Anggita hanya terdiam dan mengangguk. Rania pun berlalu, menyusul Bima masuk ke kamarnya.
Di kamar Bima sudah menunggunya. Ia sudah melepas jasnya dan bersiap mandi. Tetapi melihat Rania datang, ia membatalkan mandinya.
"Yang, sebenarnya ada apa sih?," tanya Bima penasaran. Rania membuka lemarinya dan mencarikan kaos serta celana ganti untuk Bima.
"Nggak ada apa-apa, Yang," jawab Rania tanpa menoleh ke Bima. Bima memegang bahu Rania. Rania pun menoleh. Ia juga menurut saat Bima menuntunnya duduk di tepi tempat tidur mereka.
"Yang, please. Kamu nggak apa-apa kan?," tanya Bima khawatir. Rania terkekeh. "Nia, aku serius," kata Bima. Rania malah mencubit pipi Bima gemas. Dulu setiap Bima ngambek, ia akan memeluk atau mencubit gemas pipi pria kesayangannya itu.
"Uluh-uluh ngambek dia lho!," canda Rania. Bima memegang tangan Rania dan menatapnya. Dari sorot matanya, Rania tahu bahwa suaminya ingin jawaban darinya. Kemudian, ia menghela napas. Satu tangannya memegang pipi Bima dengan lembut.
"Bim, aku akan mencoba ikhlas dan ridho dengan semuanya. Aku hanya ingin hidup tenang. Aku sadar, aku nggak bisa memutar balik waktu. Jadi, mau tak mau aku harus menerimanya. Suka tak suka ini sudah jadi jalan hidupku. Biarkan aku ikhlas dengan caraku. Aku ingin kita kembali seperti dulu. Masih adakah tempat untukku di hatimu?," tanya Rania. Bima menatapnya dalam-dalam dan tersenyum bahagia. Ia mengecup kening, kedua pipi, hidung dan terakhir bibir Rania. Lama ia mengecupnya. Kemudian, ia memeluk wanita yang telah bersamanya selama 12 tahun itu.
"Tentu, Sayang. Kamu menempati tempat paling spesial di hatiku. Selamanya. Aku minta maaf kalau beberapa hari ini aku mengacuhkanmu. Itu karena banyaknya tekanan dan aku sendiri tak tahu harus bersikap bagaimana untuk membuatmu tersenyum kembali. Terima kasih, Nia. Terima kasih kamu sudah berusaha ikhlas dan ridho. Percaya, Sayang! Aku akan berusaha adil untuk kalian," kata Bima. Ia begitu terharu sampai-sampai tak ingin melepas pelukannya. Rania mengusap-usap punggung Bima. Semenit kemudian, ia melepas pelukan Bima.
"Sudah! Mandi sana! Aceeeemmm!," seru Rania setengah bercanda. Kedua tertawa kemudian. Bima pun meninggalkannya untuk mandi. Rania menatapnya hingga pintu itu tertutup. Kemudian, tawanya berganti menjadi senyum pahit.
'*Andai kamu tahu bagaimana hatiku, Bim. Aku berusaha untuk ikhlas. Sedang berusaha. Meskipun ini bukan surga yang kurindukan, tetapi aku ikhlas menjalaninya. Aku hanya berharap bisa kembali seperti dulu bersamamu. Meskipun rasanya sudah terlalu beda buatku. Aku hanya mencoba untuk ikhlas,'
-Rania*-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Maulina Kasih
aq cm baca tp kok aq yg kesel....
2021-08-12
0