Matahari pagi bersinar lebih redup dari biasanya. Ini karena mendung menyembunyikan sebagian sinarnya. Rania termenung sendiri di dapurnya. Sudah seminggu berlalu sejak pengakuan dan pernyataan Bima. Ia menatap keluar jendela dapurnya. Tangannya mengaduk kopi, tetapi mata dan pikirannya menerawang jauh.
Rania tak habis pikir. Ia terus memikirkan perkataan Bima seminggu yang lalu. Ia terus menerus mencari kesalahan dirinya. Apa salahnya sampai Bima harus menduakannya. Jika dalam mengurus rumah, ia merasa sudah mencurahkan semua waktu dan tenaganya. Namun, jika alasannya hanya karena kecantikan, ia tak akan bisa mendebatnya. Di umur tiga puluh tahun tentu tak mudah baginya menjaga kecantikannya apalagi dengan segudang kegiatannya sebagai ibu rumah tangga. Apa karena ia tak ikut membantu perekonomian keluarga, sampai harus Bima mencari penggantinya. Semakin dipikir, semakin ia pusing. Yang membuatnya semakin sedih adalah ia tak tahu bagaimana menjelaskannya pada Ardan dan Husna.
"Yang, aku ber...," Bima tak meneruskan kata-katanya ketika melihat istrinya terpaku di dapur. Seolah tak mendengar perkataannya. Sejak ia memberitahu Rania soal keinginannya tempo hari, suasana di rumahnya terlihat suram. Tak ada keceriaan ataupun senyuman Rania lagi. Bahkan ketika bangun di pagi hari, ia sering melihat Rania melamun dengan mata sembab habis menangis. Bima tahu, tak mudah bagi Rania menerima semua ini. Jujur, ia kasihan melihat kondisi Rania saat ini. Tetapi apa daya, ia terlanjur berjanji menikahi Anggita.
Bima berjalan mendekat ke arah Rania. Ia memegang tangan Rania yang terus mengaduk kopi itu. Rania terhenyak dari lamunannya. Ia menoleh ke arah Bima. Bima menatapnya sayu.
"Sudah, Nia. Kopinya sudah larut," kata Bima. Rania melihat kopi yang ada di meja dapur. Sebagian tumpah karena ia terus mengaduknya. Menyadari itu, buru-buru ia mengambil lap dan membersihkannya. Kemudian, ia mengambil cangkir dan hendak menyiapkan kopi lagi. Namun, pelukan Bima dari belakang menghentikan aktivitasnya. Sesak memenuhi dadanya. Sakit. Amat sangat sakit. Lalu, tangisnya pecah. Bima membalik badan Rania dan memeluknya. Membiarkan Rania menumpahkan air matanya di dalam pelukannya. Seperti hujan yang mulai deras mengguyur halaman rumah mereka.
🍁🍁🍁
Bima menatap Rania dalam-dalam. Hujan di luar baru saja reda, bersamaan dengan tangis Rania. Mungkin tangis itu sudah ditahannya selama seminggu ini. Ia tak mengatakan apapun lagi sejak hari itu. Ia lebih banyak diam. Ia merasa pendapatnya tak ada arti lagi bagi Bima.
"Yang, kamu sudah tenang?," tanya Bima. Rania mengangguk meskipun masih sesenggukan. Ia mengusap air matanya lagi. Baginya, sebenarnya tak ada perubahan dari sikap Bima. Ia tak terlihat seperti sedang memiliki wanita lain. Ia memperlakukan Rania dengan baik. Bahkan, sejak hari itu, Bima tak membahas soal pernikahan ataupun soal Anggita. Rania takut, tiba-tiba Bima pergi bersama Anggita.
"Baik-baik di rumah ya? Aku harus ke kantor. Ini sudah telat," kata Bima. Ia bukannya tak bersimpati pada istrinya itu. Tetapi, ia juga harus tetap bekerja. Perusahaan itu bukan miliknya, jadi ia tak mungkin seenaknya sendiri.
"Berangkat aja, Bim! Aku enggak apa-apa," jawab Rania. Bima mengernyitkan dahi menyadari perubahan Rania memanggilnya. Setelah hampir seminggu tak banyak bicara, ada perubahan dalam cara memanggil dirinya. Ia ingin mempertanyakan itu, tetapi saat ini ia telah terlambat untuk urusan kantornya. Namun, melihat Rania tetap mencium tangannya, ia merasa tak perlu terlalu khawatir. Ia pun berangkat ke kantor dengan terburu-buru.
🍁🍁🍁
Di kantor Bima segera menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Pikirannya kembali pada perubahan sikap Rania. Wanita itu seolah menarik diri dari Bima. Padahal hampir sebelas tahun pernikahannya, Rania tak pernah seperti ini. Wanita itu seolah seperti kehilangan. Apakah ia mulai insecure dengan dirinya, batin Bima.
Tok Tok Tok
Bima menengadahkan wajahnya, melihat siapa yang datang. Anggita. Wanita selalu sukses membius pandangan Bima padanya. Meskipun dengan setelan formalnya, ia tampak anggun dan cantik dengan polesan make up yang tipis. Anggita berjalan mendekati meja Bima. Cara berjalannya pun terlihat menarik bagi Bima.
"Sayang, makan siang di luar yuk!," ajak Anggita manja. Bima mengernyitkan dahinya. Kini cara Anggita menyapanya juga berubah. Mulai dari kata panggilan 'sayang' dan sikap manjanya. Entah kenapa, ia merasa lebih nyaman ketika mendengar Rania yang memanggilnya seperti itu dibandingkan Anggita.
"Aku masih ada kerjaan, Nggi. Kamu aja duluan. Dan jangan panggil aku seperti itu di sini! Enggak enak didengar yang lain," kata Bima datar. Anggita memasang wajah sebal dan menyilangkan kedua tangannya mendengar perkataan Bima. Bima menghela napas. Ia berdiri dan mendekati Anggita.
"Sorry, Nggi! Ini kantor! Ingat kata Pak Lutfi, kita harus profesional," bujuk Bima lembut. Anggita menghela napas dan memutar bola matanya. Sungguh, Bima tak suka cara Anggita merajuk. "Jangan begitu, Nggi. Aku nggak suka," sergah Bima. Ia menunjukkan sikapnya. Anggita sedikit terhenyak dengan perubahan sikap Bima yang lembut menjadi tegas.
"Terus kapan dong aku boleh panggil kamu 'sayang'?," tanya Anggita masih dengan kekesalannya.
" Kalau kita sudah menikah," jawab Bima pendek. Ia kembali duduk menghadapi laptopnya, membuat Anggita semakin kesal.
"Kapan kamu mau nikahin aku?," tanya Anggita lagi. Bima menghela napas pendek dan memandang Anggita lembut.
"Soon," jawab Bima pendek. Anggita mendekatkan dirinya ke Bima dan berbisik, "jangan cuma bilang soon tanpa kepastian kalau kamu enggak mau kehilangan aku". Kata-kata Anggita setengah mengancam membuat Bima terkekeh lirih. Anggita menghentakkan kakinya kesal dan membuat Bima semakin tergelak.
"Kamu ini! Lucu sekali!," seru Bima sambil tertawa.
"Bimaaaaa!," seru Anggita kesal. Akhirnya Bima menyudahi tawanya. Kini ia menatap Anggita dengan serius.
"Memangnya kamu bisa apa sampai minta cepat-cepat dinikahin?," tanya Bima. Anggita benar-benar marah sekarang. Ia merasa terlukai harga dirinya dengan pertanyaan Bima barusan. Apa Bima sedang membandingkan dia dengan Rania, istrinya.
"Apa yang tak dimiliki istrimu, aku memilikinya," jawab Anggita berani. Bima menatapnya tak percaya. "Kalau memang Rania memiliki segalanya, kamu nggak mungkin jatuh cinta lagi padaku," sambung Anggita. Bima menghela napas panjang. Ia terdiam sejenak. Otaknya berusaha mencerna kata-kata Anggita barusan. Apa yang dikatakan Anggita benar. Kalau tak ada yang kurang dari Rania, kenapa ia bisa jatuh cinta pada Anggita? Atau hanya dia yang kurang bersyukur memiliki istri seperti Rania. Ah, pikirannya benar-benar kacau.
Anggita yang melihat Bima terdiam, tersenyum sinis. Ia kembali menyilangkan tangannya. Kali ini ia merasa menang berdebat dengan Bima.
"Sekarang masih belum telat kalau kamu mau bilang kita enggak usah nikah. Enggak rugi juga aku enggak jadi nikah sama laki-laki yang enggak bisa pegang omongan," ujar Anggita dingin. Sebenarnya itu hanya strateginya untuk mendesak Bima mengambil keputusan. Kemudian, ia melengang pergi meninggalkan Bima yang masih termangu dengan pilihannya.
🍁🍁🍁
Anggita berdiri di depan lobi kantornya. Ia seperti sedang menunggu seseorang. Lebih tepatnya ojek online. Bima yang kebetulan juga hendak pulang melihatnya. Ia kira Anggita sedang menunggunya.
"Sudah lama nunggu? Ayok pulang sekarang!," ajak Bima tanpa basa basi. Anggita tak menjawab. Ia malah berfokus pada ponselnya. Bima yang telah berjalan melewatinya kemudian berhenti. Ia menoleh ke arah Anggita yang seolah-olah tak memedulikannya.
"Nggi!," panggil Bima. Anggita tak bergeming. Bima mendekatinya. "Anggita!," panggil Bima sekali lagi dengan nada meninggi. Ia kesal karena Anggita mengacuhkannya. Anggita hanya melihatnya sejenak, kemudian kembali lagi kepada ponselnya. Ada notifikasi bahwa ojek yang ia pesan sudah sampai.
"Mbak Anggita?," tanya driver ojol tersebut. Anggita mengangguk senyum. Driver itu kemudian menyerahkan helm kepada Anggita. Anggita memakainya sebelum akhirnya naik sepeda motor ojol itu. Sebelum Anggita naik, Bima mencekal tangannya.
"Nggi, tunggu!," kata Bima. Anggita menghempaskan tangan Bima.
"Apaan sih? Lepasin!," Anggita meronta. Tangannya terlepas dari Bima. Namun, Bima masih mengejarnya.
"Kamu ikut aku pulang!," tegas Bima. Anggita mengacuhkannya. Ia tetap naik motor ojol itu. "Nggi, jangan buat aku marah!," tegas Bima sekali lagi. Anggita menoleh ke arah Bima dengan sinisnya.
"Siapa yang bikin lo marah, Bim? Gue cuma mau pulang! Gue capek! Gue bukan mainan dan memang bukan perempuan idaman lo," jawab Anggita dengan kesalnya. Ia pun menepuk pundak ojol itu agar segera melajukan motornya, meninggalkan Bima yang terkejut dengan perubahan sikap Anggita.
Bima masuk ke mobilnya. Ia memukul setir mobilnya untuk meluapkan kekesalannya. Hari ini kedua wanitanya menunjukkan perubahan sikap padanya. Keduanya seperti sedang menarik diri darinya. Ia tak mengerti kenapa wanita sekompleks itu. Kenapa tidak bisa sabar dalam menghadapi masalah. Lagi-lagi dia yang harus mengalah. Tetapi jika ia mengalah pada Rania, ia akan kehilangan Anggita. Begitu pula sebaliknya. Ah, hatinya kacau, pikirannya semakin buntu. Ia pun melajukan mobilnya ke satu tempat yang menurutnya adalah jawaban dari kegundahannya.
🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Tati Suwarsih
laki2 yg tdk bersyukur...
2023-08-13
0
Vivi Bidadari
Makanya Bima kamu ga setia wajar dong Rania kecewa, sakit hati
2022-09-29
0
Maulina Kasih
critany seru tp kok sdikit yg baca ya
2021-08-12
1