Matahari pagi sudah bersinar dengan teriknya. Siang kota Surabaya terasa panas, membuat tenggorokan terasa kering dan haus. Anggita membuka kulkas mencari-cari sesuatu yang dingin dan bisa meredam rasa hausnya itu. Ternyata di kulkas hanya ada makanan beku, sayuran dan buah. Ia begitu malas untuk sekedar membuat jus. Ia ingin sesuatu yang lain. Ia pun keluar rumah untuk berbelanja ke warung tempat Rania biasa membeli bumbu dapur.
Dengan menggunakan kaos dan celana jeans pendek, ia menerobos panasnya jalanan dan berjalan kaki menuju warung yang letaknya hanya 3 rumah. Namun, di sebelah warung itu ada pos jaga untuk warga. Ia tak tahu jika warga di sana belum mengetahui siapa dia dan keberadaannya di sini. Saat melewati pos jaga itu, ia melihat beberapa warga laki-laki serta satpam yang sedang main catur. Mata mereka spontan tertuju pada Anggita.
"Beli apa, Neng?," tanya Ibu Warung itu ramah. Anggita tersenyum dan melihat sekelilingnya mencari minuman dingin. Begitu ketemu chiller, ia langsung mengambil dua teh botol yang tersedia di sana. Saat membayarnya, datang seorang ibu-ibu yang hendak berbelanja. Sepertinya tetangga mereka.
"Mba yang tinggal di rumahnya Mba Rania ya?," sapa ibu itu ramah. Anggita hanya tersenyum. Ibu itu mengernyitkan dahinya, melihat penampilan Anggita.
"Duh, adik cantik. Warga baru ya?," sapa salah seorang laki-laki yang duduk di pos jaga. Anggita menoleh kesal pada laki-laki itu.
"Maaf ya, Pak saya sudah punya suami," jawab Anggita ketus. Ia ingat kalau Rania pernah bilang Bima cukup dikenal warga sekitar dengan baik dan mereka menghormati Bima. "Saya ini istrinya Bima," katanya lagi. Semua melongo mendengar perkataan Anggita barusan, termasuk ibu yang menyapanya tadi. Sebelum banyak pertanyaan, Anggita segera membayar dan pergi dari warung itu. Meninggalkan tanya dan gosip yang siap beredar di antara mereka.
🍁🍁🍁
Rania baru saja selesai membereskan kamar anak-anaknya saat mendapati Anggita yang duduk di meja makan sambil meneguk teh botol dinginnya. Rania memperhatikan teh botol itu. Ia merasa tak pernah membeli minuman seperti itu untuk ia taruh di kulkasnya. Ia sudah bisa menebak Anggita datang darimana.
"Kamu abis dari warung?," tanya Rania. Anggita menoleh ke arah Rania yang tengah berjalan ke arah dapur.
"Iya, Mbak. Abisnya aku haus banget. Di kulkas nggak ada minuman dingin," jawab Anggita santai. Rania menghela napas panjang. Pasti akan terjadi sesuatu. Ia khawatir ini akan memicu kemarahan Bima. Bima paling tidak suka dengan omongan orang tentang istrinya dan gosip. Sejujurnya ia kadang kasihan melihat Anggita yang tak tahu cara menghadapi Bima. Entah, apa yang dilihat mereka berdua saat memutuskan menikah.
"Kamu pake baju begitu keluar?," tanya Rania lagi. Ia bertanya tanpa menoleh agar Anggita tak tahu bagaimana ekspresinya saat ini.
"Iya, Mbak. Emangnya kenapa?," tanya Anggita. Kini, Rania menoleh. Masih berdiri di posisinya dengan menatap Anggita.
"Bukannya gimana, Nggi. Cuma akan jadi bahan omongan," kata Rania. Anggita menatap Rania bingung. Ia bisa melihat ekspresi khawatir Rania sekarang. Namun, ia tetap merasa heran kenapa Rania harus takut dengan omongan tetangganya.
"Biarin aja, Mbak. Toh kita nggak minta makan sama mereka. Aku tadi digodain sama mas-mas di pos jaga. Awas aja aku bilang sama Bima tar," kata Anggita seolah untuk dirinya sendiri. Ia nampak begitu bangga memiliki Bima. Apa ini sikap yang Bima suka?, batinnya. Ia tak bisa mengatakan Bima tak suka jadi bahan gosip karena mendengar jawaban Anggita barusan. Ia memilih diam dan membiarkan semuanya berjalan seperti seharusnya.
Dan benar saja fellingnya. Saat mereka sedang makan malam, pintu rumah mereka digedor dari luar. Ketika Rania membuka pintu, di sana sudah berdiri Pak RT, Lurah dan beberapa warga. Suasana yang ramai membuat beberapa penghuni komplek lainnya melihat keluar apa yang terjadi.
"Assalamu'alaikum Bu Rania," sapa Pak RT. Lelaki paruh baya itu tampak sopan sekali berhadapan dengan Rania. Bima dan Anggita menyusul ke depan melihat siapa yang datang dan apa yang terjadi.
"Wa'alaikumsalam, Pak RT. Ada apa ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu, Pak?," tanya Rania dengan jantung berdebar.
"Pak Bima ada, Bu?," tanya Pak RT. Belum sempat Rania menjawab, Bima dan Anggita muncul dari belakangnya. Beberapa warga yang ikut datang langsung saling berbisik melihat Anggita yang menggelayut mesra di tangan Bima.
"Silahkan masuk, Pak," jawab Rania mempersilahkan mereka masuk. Pak RT dan Pak Lurah menyusul masuk ke ruang tamu mereka, sedangkan warga yang ikut menunggu di teras. Beberapa warga yang mengamati dari luar rumah masing-masing saling berbisik. Rania memperhatikan itu semua. Menyakitkan, tetapi ia sudah tak bisa berbuat apa-apa kecuali menutup telinganya.
"Ada apa, Pak?," tanya Bima to the point setelah mereka duduk di ruang tamu. Anggita duduk di samping Bima, sedangkan Rania duduk di depan Pak RT dan Pak Lurah.
"Begini, Pak Bima. Ini saya mau konfirmasi soal laporan warga terkait adanya wanita yang tinggal bersama Pak Bima dan Bu Rania. Kabarnya wanita itu istrinya Pak Bima. Mohon maaf sebelumnya, kami hanya ingin konfirmasi kebenarannya supaya nggak timbul fitnah," jawab Pak RT. Tuh kan, batin Rania. Rania tertunduk tak berani menatap Pak RT maupun Pak Lurah. Berbeda dengan Bima yang tersenyum santai. Bahkan, Rania sangat heran dengan sikap Bima.
"Maaf, Pak RT kalau sampai timbul fitnah atau gosip di masyarakat. Saya terlalu sibuk sampai lupa melapor ke bapak-bapak. Ini Anggita dan memang benar dia ini istri kedua saya. Kami baru menikah siri sebulan yang lalu dan memang belum mengurus nikah resminya. Besok saya datang ke kantor untuk mengurus semuanya," jawab Bima dengan senyum santainya. Rania menghela napas. Ternyata Bima bisa lebih adem dan bijak menyikapi masalah ini. Ia bersyukur Bima berubah menjadi lebih baik. Namun, ia juga menyesal karena Bima bukan berubah karena dia. Karena kehadiran Anggita, wanita baru dalam kehidupan Bima. Ada sesak yang memenuhi dadanya.
Rupanya Pak RT dan Pak Lurah bisa menerima penjelasan Bima. Mereka pun pamit undur diri. Sepeninggal mereka, Rania mendengar percakapan Bima dan Anggita.
"Tuh kan, Yang. Apa kubilang? Makanya segera urus surat nikahnya kita. Jadi bahan gosip deh aku!," gerutu Anggita manja. Bima terlihat gemas melihat Anggita yang merajuk seperti itu.
"Iya, iya, Sayangku," kata Bima sambil mencubit gemas pipi Anggita. Kemudian ia menggendong Anggita ala bridal style dan membawanya ke kamar Anggita. Rasa sakit menelusup ke dalam hati Rania. Padahal hari ini gilirannya bersama Bima. Apakah Bima tak ingat hal itu? Entah kenapa Rania merasa semakin hancur ketika ia berusaha mengikhlaskan semuanya.
"Lama-lama kamu membunuh cintaku padamu, Bim," isak Rania kesal di kamarnya sendiri. Tanpa sadar, dua pasang mata menyaksikan itu dari balik pintu kamar Rania.
🍁🍁🍁
Keesokan harinya Rania bangun lebih pagi. Ia membeli sayur di tukang sayur keliling. Ia menghela napas panjang ketika melihat tukang sayur yang berhenti di depan rumahnya itu mulai dikelilingi oleh ibu-ibu tetangga rumahnya. Mereka melihat apa yang terjadi semalam.
"Pagi, Mba Rania," sapa Bu Hasan. Ia tinggal di sebelah rumah Rania. Rania mengangguk senyum. Rania memasang senyuman paling manis padanya agar terlihat baik-baik saja.
"Mba, Mba Nia gapapa suaminya nikah lagi? Sama cewek lebih muda lagi?!," tanya Bu Hasan disambut dengan anggukan ibu-ibu lainnya. Rania tersenyum kelu, tak bisa menjawab apapun. "Kalau saya jadi Mba Nia, udah saya potong-potong itu laki saya!," tambah Bu Hasan.
"Mba Nia lawan dong kalau Mba nggak suka!," seru Bu Erni, tetangga Rania juga. Rania lagi-lagi hanya tersenyum kelu. Ia tidak ingin menjawab gosip atau apapun yang jadi pertanyaan mereka. Karena itu menambah luka di hatinya.
"Assalamu'alaikum, Ibu-ibu," sebuah suara lembut membuyarkan percakapan mereka. Ustadzah Fitria ternyata hendak berbelanja juga. Sontak semua yang ada di sana terdiam dan salah tingkah. Mereka sangat hormat dengan Ustadzah Fitria. Satu per satu ibu-ibu yang berbelanja segera menyelesaikan tugas belanja dan membayarnya.
"Makasih, Ustadzah. Kalau nggak ada ustadzah bisa kelamaan saya di sini dengerin gosip mereka," kata Bang Maman, tukang sayur itu. Ustadzah Fitria tersenyum. "Bu Nia, sabar ya?," kata Bang Maman sebelum pergi. Rania hanya mengangguk dengan senyum pahit.
Sepeninggal Bang Maman, Ustadzah Fitria mendekati Rania, sahabatnya itu. Rania tak sanggup menatap mata sahabat sekaligus guru ngajinya itu. Ia menunduk berusaha menyembunyikan genangan air matanya.
"Ngaji ya nanti sore," kata Ustadzah Fitria. Rania mengangguk. Ustadzah Fitria mengelus bahu sahabatnya itu sebelum akhirnya Rania pamit masuk ke dalam rumahnya. Dan Bima telah menunggunya di meja makan dengan wajah tanpa senyuman.
"Lain kali, kamu nggak perlu belanja di depan. Bikin gosip aja!," tegas Bima. Anggita mengelus lengan suaminya, mencoba menenangkan suaminya yang terlihat marah.
"Bukan aku yang bikin gosip," jawab Rania datar sambil membereskan belanjaan yang baru saja dia beli.
"Kamu emang nggak bikin gosip, tapi kamu nimbrung," sergah Bima mulai emosi. Rania masih tak bergeming. Ia tak ingin berdebat dengan Bima sepagi ini. "Rania! Lihat aku!," tegas Bima meninggi. Rania menghentikan kegiatannya. Ia menghela napas sebelum akhirnya membalik badannya, melihat ke arah mereka berdua.
"Asal kamu tahu, Bim. Aku nggak nimbrung. Aku bahkan nggak respon pertanyaan mereka. Apa kamu lihat atau dengar aku menjawab mereka?," jawab Rania tak kalah tegas. Untuk urusan hal benar Rania memang akan ngotot mempertahankan pendapat atau jawabannya.
"Ya...ya tapi dengan gitu itu akan menimbulkan spekulasi dan gosip yang enggak-enggak lagi," kata Bima terbata-bata. Sejujurnya ia membenarkan jawaban Rania. Sayangnya, egonya sebagai kepala rumah tangga dan suami tak ingin dikalahkan. Rania tersenyum sinis. Ia tahu Bima akan mencari-cari kesalahannya lagi.
"Trus menurut kamu itu salahku? Tanggung jawabku? Aku tanya sama kamu, yang memulai dan bikin gosip ini siapa? Yang membuat mereka punya spekulasi aneh-aneh itu siapa? Jangan melempar batu lalu kamu mau sembunyi tangan, Bim. Jangan buat aku benci sama kamu karena sikapmu yang pilih kasih kayak gini!," ungkap Rania gusar. Ia meninggalkan Bima dan Anggita di meja makan dengan pikirannya masing-masing. Rania menutup pintu kamarnya dengan setengah membantingnya.
Bima mengepalkan tangannya gusar. Anggita terus menenangkannya dengan mengusap-usap bahunya. Sebenarnya ia tak mau jadi bahan gosip sekomplek. Tetapi semuanya sudah terjadi. Ia tidak bisa marah pada Anggita. Memang bukan salah siapa-siapa. Bima hanya bisa terdiam menahan emosinya sendiri.
🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Maulina Kasih
kok nyalahin rania sih ..itu si sundal itu bikin gosip....
2021-08-12
0
Indah Miftakul J
Hhhh Dada ku haredang
2020-09-21
0
Nen'k Uyun Ajjah
kapan ada kelanjutannya. bkin penasaran
2020-05-25
1