DIA PULANG

Matahari pagi terbit dengan malu-malu di ufuk timur. Sinarnya menyeruak masuk melalui ventilasi kamar Rania, membangunkan Rania yang tertidur di atas sajadahnya. Ia mengejapkan matanya. Sakit. Kepalanya juga terasa sakit. Ia baru sadar ia kesiangan bangun. Dengan susah payah ia bangun keluar dari kamarnya. Di meja makan hanya ada Ardan dan Husna yang sedang menunggunya. Ia menghela napas panjang penuh penyesalan.

"Ardan, Husna sudah dari tadi kalian bangun?," tanya Rania kepada kedua anaknya. Ardan dan Husna mengangguk. Ardan menyadari ibunya yang pucat, langsung memegang kening ibunya itu. Rania tersenyum melihat tingkah Ardan. Anak itu selalu perhatian mengenai ibu dan adiknya.

"Mama nggak apa-apa, Kak. Hari ini kalian beli sarapan di kantin aja ya? Maaf semuanya, Mama tadi kesiangan," kata Rania. Ardan dan Husna mengangguk.

"Papa mana?," tanya Ardan. Rania salah tingkah, bingung harus menjawab apa.

"Papa udah berangkat pagi tadi. Kalian ikut jemputan seperti biasa ya?," kilah Rania. Ardan hanya menghela napas pendek. Sedangkan Husna mengiyakan saja. Rania sedikit khawatir dengan Ardan yang sudah mulai memahami situasi.

Rania mengantarkan anak-anaknya sampai depan rumah ketika mobil jemputan datang. Tepat saat mobil sekolah anak-anaknya meninggalkannya, mobil Bima memasuki garasi rumahnya. Rania hanya terdiam menatapnya di depan pintu. Bima tak sendiri. Ia turun dari mobilnya dan menurunkan sebuah koper. Kemudian, seorang wanita muda dengan rambut terurai panjang turun dari mobil Bima. Kali ini Rania benar-benar ternganga. Bima membawanya pulang.

DEGG...

Jantung Rania seolah berhenti berdetak. Ia terpaku, membeku melihat pemandangan di depannya. Air matanya menggenang di pelupuk matanya. Bima membawanya pulang. Ia membawa perempuan itu pulang dan koper. Koper? Apa Bima akan mengajaknya tinggal bersama?, batin Rania semakin hancur. Saking tak percayanya ia sampai menutup mulutnya dan menangis.

Bima melihatnya. Ia melihat Rania tidak hanya syok, terkejut tetapi dari raut wajahnya sepertinya ia tak percaya Bima melakukan ini. Tetapi Bima tetap ingin terlihat sebagai suami yang memiliki wibawa. Meskipun seluruh ruang di hatinya dipenuhi rasa bersalah, ia tak mampu mengucapkan maaf.

"Kita bicara di dalam," ucap Bima melengang membawa koper dan Anggita masuk, melewati Rania. Rania pun berjalan gontai masuk ke dalam rumahnya. Begitu sudah di dalam rumah, Bima meraih tangan Rania. Mencium tangan itu dan memeluknya. Namun, tak seperti kemarin. Air matanya tak sederas kemarin. Mungkin hatinya sudah mempersiapkan untuk kenyataan seperti ini. Bima menuntunnya ke kursi makan. Ia juga menyuruh Anggita duduk di depan mereka.

Ketika Rania sudah duduk di kursi, Bima berlutut di hadapan Rania. Ia memegang tangan Rania. Ia menangis. Habis sudah wibawanya di depan Anggita. Di hadapan Rania, Bima merasa kecil. Anggita mengernyitkan dahinya. Bima yang tegas bisa menjadi seperti itu di depan Rania.

"Nia, maafin aku. Aku sudah menikah dengannya tanpa izinmu," kata Bima penuh penyesalan. Air mata Rania meleleh. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan. Mereka sudah menikah. Menolaknya? Percuma! Bima sedang jatuh cinta. Tak akan mendengar apapun darinya. Menerimanya? Hatinya belum siap membagi keluarganya.

"Bukankah kamu yang bilang kamu nggak perlu izinku? Jadi, ngapain kamu minta maaf?," tanya Rania.

"Aku menyakitimu".

"Kamu udah tahu itu pasti nyakitin aku, tapi kamu lakuin juga kan?," kata Rania dengan senyum pahitnya. Bima diam tertunduk. "Apa gunanya pendapatku?," sambung Rania kemudian. Bima tertunduk. Rania menoleh, menatap Anggita dalam-dalam. Anggita tak sanggup menatap mata Rania. Bima benar. Sinar mata Rania tak sanggup ia tatap apalagi di sini ia dalam posisi salah.

"Dan kamu sendiri, Anggita. Apa kamu mau berbagi dengan kami? Karena kamu berbagi Bima bukan hanya dengan aku, tetapi juga anak-anaknya. Kamu juga harus menerima Ardan dan Husna. Sekarang mereka juga anak-anakmu," kata Rania. Matanya tajam menatap Anggita. Anggita pelan-pelan menengadah mencoba menatap Rania. Benarkah Rania ikhlas berbagi suami dengannya? Kemudian, ia mengangguk. Rania menghapus air matanya. Ia membangunkan Bima dari posisinya.

"Antarkan dia ke kamar tamu," kata Rania. Ia melengang melewati suaminya tanpa menoleh lagi. Ia berjalan menuju kamarnya. Bima hanya terpaku menatap kepergian istrinya itu.

 

🍁🍁🍁

 

Bima membantu Anggita beberes baju-bajunya. Kamar tamu itu cukup luas untuk Anggita seorang. Namun begitu, Anggita kurang menyukai interiornya. Tidak ada meja rias. Hanya ada lemari dan meja kecil di sisi tempat tidur.

"Yang, boleh nggak aku minta meja rias dan beberapa peralatan untuk interior kamar ini?," tanya Anggita manja. Ia menggelayut manja dengan mengalungkan kedua tangannya di leher Bima. Bima tersenyum dan mengangguk. Anggita tersenyum girang. Lalu, mencium pipi Bima dengan manja.

Tok Tok Tok

Mereka menoleh. Rania berdiri di pintu membawa sprei dan sarung bantal. Begitu melihat Rania, spontan Bima melepaskan pelukan Anggita. Rania masuk tanpa banyak bicara.

"Ini sprei dan sarung bantal juga ada selimut," katanya menyodorkan setumpuk kain kepada Anggita. Anggita tersenyum menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Rania tersenyum tipis. Kemudian ia berlalu.

"Nia," panggil Bima. Rania berhenti tanpa menoleh. "Makasih," kata Bima. Rania tak menjawabnya. Hanya mengangguk dan pergi meninggalkan mereka.

"Kamu bisa kan pasang sprei sendiri?," tanya Bima pada Anggita. Anggita mengangguk senyum. Ia mengerti, Bima pasti ingin berbicara dari hati ke hati dengan Rania. Anggita mengerti perasaan Rania. Jadi, ia memberikan waktu kepada mereka berdua untuk menyelesaikan pembicaraan mereka.

Rania duduk di pinggir tempat tidurnya menghadap ke arah jendelanya. Bima masuk ke dalam kamar itu dan memeluk Rania yang ternyata sedang menangis. Ia merengkuh istrinya itu ke dalam pelukannya.

"Kamu jahat banget sih, Bim! Apa salahku sampai kamu hukum aku kayak gini?," tanya Rania sesenggukan di pelukan Bima. Ia bahkan menumpahkan kekesalannya dengan memukul dada bidang Bima.

"Kamu nggak salah, Nia! Kamu bahkan sangat sempurna sebagai seorang istri. Yang salah itu aku, Nia. Aku yang nggak bisa mengendalikan rasa dan egoku sebagai laki-laki," kata Bima. Rania masih menangis tersedu-sedu.

"Kalau aku sudah sempurna buat kamu, kamu nggak akan jatuh cinta lagi, Bim. Kamu nggak akan nikah lagi, Bim. Kamu nggak akan mengkhianati janjimu sendiri," sergah Rania. Ia melepaskan diri dari pelukan Bima. Ia masih sesenggukan tapi ia sedang tak ingin pelukan Bima. Ia ingin pelukan ibunya.

"Rania. Sayang, aku janji aku akan berusaha seadil-adilnya sama kalian. Aku mohon kamu ikhlas dan ridho ya?," kata Bima memohon. Rania menatap Bima dalam-dalam.

"Kalo aku yang menduakan kamu, apa kamu akan ikhlas dan ridho juga? Kalo aku membawa pulang kekasihku, apa kamu akan ridho? Kalo aku menikah tanpa sepengetahuanmu, apa kamu juga akan ikhlas?," sergah Rania gusar. Nadanya meninggi bahkan hampir teriak. Badannya gemetar menahan amarahnya. Sedetik kemudian, ia tertawa. "Aku lupa! Aku cuma istri yang nggak punya hak berpendapat di sini," ucapnya sambil tertawa. Bima terlihat sedih menatapnya.

"Kamu nggak perlu sedih, Bim. Harusnya kamu bahagia. Ini hari bahagiamu," seru Rania. Bima semakin sedih melihat istrinya yang terus menangis dan tertawa.

"Rania, please. Jangan begini. Aku mohon maafkan aku. Please, Nia," kata Bima memelas. Ia merengkuh Rania kembali dalam pelukannya. Dalam pelukannya kali ini Rania hanya menangis. Bima membiarkan istrinya menumpahkan segala sedihnya di sana. Diam-diam Anggita menatap mereka dari kamarnya yang berseberangan dengan kamar Rania. Ia juga merasa bersalah. Tetapi ia juga tak mau kehilangan Bima. Baginya, Bima adalah penyelamatnya. Bima adalah harapannya. Dan ia akan melakukan apaoun untuk Bima.

🍁🍁🍁

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Waktunya makan malam tiba. Hidangan sudah tersaji di meja makan. Tetapi tak ada satu pun diantara yang ada di meja menyentuh makanan yang ada di depan mereka. Bima dan Anggita tertunduk, asyik dengan pikirannya masing-masing. Rania memandang sekelilingnya. Ia melihat ekspresi bingung di raut wajah kedua anaknya. Ardan terlihat wajah tak suka pada Anggita. Rania menghela napas.

"Kalian kok pada diem? Ayo dimakan dong! Ayo, Pa kamu makan dulu," kata Rania. Bima menatap Rania. Ia tahu Rania sedang berakting, berpura-pura tak ada apa-apa di depan anak-anaknya. Bima pun menyambutnya dengan ceria juga, seolah tak ada masalah apapun.

"Ayo dong, Dek! Kamu juga makan. Cobain masakanku," ucap Rania pada Anggita. Anggita sempat salah tingkah, namun ia segera mengiyakan. Ardan menatapnya tajam, seolah tahu dia siapa.

"Ardan, dimakan, Nak," kata Rania dengan senyum manisnya. Ardan tahu itu bukan senyum asli ibunya. Namun, bertanya di meja makan bukan hal yang diajarkan Rania. Ardan diam dan mengiyakan.

Anggita kini paham apa yang membuat Bima benar-benar menghormati Rania. Rania bukan hanya sebagai istri dan ibu, tetapi ia juga kehidupan dalam rumah mereka. Rania lah yang menghidupkan suasana kekeluargaan diantara mereka. Diam-diam rasa iri itu merayapi hati Anggita. Tipis namun terasa. Ia akan belajar dari Rania. Harus belajar darinya.

🍁🍁🍁

Terpopuler

Comments

Maulina Kasih

Maulina Kasih

1 aja gak abis2...malah nambah lg....gedeg banget sm lelaki gini...sabar banget si rania...aq mah gitu minta cerai......

2021-08-12

0

Momo R

Momo R

baru membayangkan udah sakit hati smpai ke ubun2

2020-09-23

0

Ana mozlem

Ana mozlem

contoh lelaki yg tdk pandai bersyukur

2020-08-07

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!