NINE

Semoga cinta menjadi sempurna oleh cinta itu sendiri.

•{ Anonimoûs }•

"Itu obatnya kenapa belum abis\-abis, Rin? Padahal mau seminggu loh. Oh gue tau, lo jarang minum tuh obat ya? Ckck, gimana lo mau sembuh oon! Kalo tuh obat nggak lo minum." Kimi memarahi Sicka yang kini tengah menutup telinganya dengan bantal.

"WOY! Kalo gue ngomong tuh dengerin kampret! Sumpah ya nih anak dibilangin masuk kuping kiri keluar kuping kanan." Kimi menyingkirkan bantal yang digunakan Sicka.

Sicka terduduk dengan raut wajah kesal kepada Kimi. Memang sudah hampir satu minggu Sicka mengalami demam. Dan Kimi yang selalu datang ke rumahnya untuk memastikan Sicka meminum obatnya. Padahal sejak kecil Sicka tidak suka minum obat, mau dipaksapun kalau dia tidak mau minum ya tidak akan mau.

"Lo kalo kesini mau ngoceh\-ngoceh nggak jelas mending pulang aja deh. Kepala gue yang pusing tambah pusing denger suara lo." ucap Sicka sembari memijit pelipisnya.

"Ngoceh nggak jelas lo bilang?" pekik Kimi tak terima. "Heh gue ngoceh kaya gini karena gue peduli sama lo \*\*\*\*\*\*! Gue pengen lo cepet sembuh. Masa iya liburan kaya gini mau lo abisin tiduran di kasur dan berpusing\-pusing ria?" ucap Kimi dengan tangannya yang dia lipat di depan dada.

Sicka memutar bola matanya malas, "Kalo lo bawanya makanan pasti gue udah sembuh dari kemaren-kemaren. Lo aja tiap kesini nggak bawa apa-apa dan nyuruh gue minum obat terus. Heloooo! Nih lidah gue udah pait terus minum obat kan makin pait onyettt!" dengus Sicka dengan sedikit menyindir cewek itu.

Kimi menyengir lebar karena apa yang diucapkan oleh Sicka memang benar adanya. "Ehehehe maap maap, abisnya gue panik sih denger lo sakit gue langsung buru-buru kesini dan lupa mampir buat beli makanan."

"Alesan lo. Ngomong\-ngomong, Mami kemana, Kim?"

"Mami tadi pergi ke pasar, makanya lo dititipin ke gue."

Sicka menghela nafas, dia kemudian berdiri, "Bosen juga di kamar. Gue mau ke bawah ah nonton tipi Korea." ucap Sicka

Kimi pun membantu Sicka berjalan menuju ruang keluarga, dan akhirnya sampailah mereka di ruang keluarga.

"Eh Rin, gue ke dapur dulu yak! Mau nyari harta karun di kulkas lo." tanpa menunggu persetujuan dari Sicka, Kimi berlari menuju dapur.

"KIMPREETTT BIKININ GUE JUS JAMBU YAKK!" teriak Sicka agar Kimi mendengar. Baru saja dia akan menyalakan tv, telpon rumah berbunyi yang membuatnya harus segera mengangkat takut\-takut ada hal penting.

"Halo dengan keluarga Sinegar, ada yang bisa dibantu?" ucap Sicka seperti apa yang di ajarkan ayahnya saat ada telpon masuk.

"..... "

"Oh iya pak, maaf sebelumnya. Biasanya saat Tuan sedang berlibur, Tuan memang tidak menerima telpon kerja, Pak?"

".... "

"Jadi belum ada dana masuk? Bapak udah hubungi pak Suryo, wakil Tuan Afkar?" Di situ Sicka mengernyit heran.

"....."

"Baik pak baik, nanti saya coba hubungi Tuan untuk memberitahu hal ini secepatnya."

"......"

Selesai mengangkat telpon, Sicka termenung. "Perasaan pas aku beresin meja kerja Ayah, aku liat struck rekening deh. Ayah kan kalo mau liburan udah selalu beresin pekerjaannya dulu. Tapi kok ... Ah udahlah pusing aku. Ntar aku coba hubungi pak Suryo." 

Sicka pun segera merogoh saku di celana gombrongnya, lalu mencari kontak Pak Suryo. Sicka menunggu sambungan dari pak Suryo, hingga suara Pak Suryo menyapa telinganya.

"*Halo Sicka, ada apa*?" Suara pak Suryo terdengar agak terburu\-buru, mungkin dia sedang sibuk mengurus kantor. Pikir Sicka.

"Maaf pak saya ganggu, saya cuma mau tanya tentang dana pembangunan hotel di Subang sudah tersalurkan?"

"*Tentu saja sudah, kalau kamu tidak percaya tanya saja ke Tuanmu. Dan apa urusanmu hingga membuatmu bertanya*?"  Dari suaranya saja, Sicka bisa menyimpulkan bahwa Pak Suryo terganggu dengan pertanyaan Sicka.

"Oh itu ... Saya hanya bertanya dan memastikan karena saat saya membereskan meja kerja Tuan. Saya belum melihat dokumennya, biasanya Tuan selalu memastikan dokumen\-dokumen penting ke saya." Semoga saja Pak Suryo percaya, batin Sicka.

"*Oh begitu, yasudah saya tutup ya telfonnya saya masih banyak pekerjaan*."

"Baik pak, terimakasih."

Sedikit penjelasan mengapa Sicka memanggil ayahnya Tuan. Itu karena Sicka tidak ingin membuat ayahnya malu lantaran punya anak yang cacat seperti dia. Dan ayahnya pun nampak setuju-setuju saja bila Sicka menyebut 'Tuan' saat berhadapan dengan kolega bisnis ayahnya.

Sicka masih terus kepikiran dengan prasangka-prasangka di kepalanya. Apakah ini yang namanya penggelapan uang? Sejujurnya Sicka tidak ingin ikut campur dengan urusan ayahnya. Tapi disini dia merasa janggal dengan Pak Suryo, apalagi saat mendengar nada suaranya tadi.

"Mikir mulu dah, entar ubanan tau rasa lo." Suara Kimi membuat lamunannya buyar.

"Hih berisik deh lo. Gue lagi mikir berat ini, menduga\-duga sesuatu." sahut Sicka, kemudian berjalan mengikuti Kimi yang menuju sofa depan tv lalu duduk berdua.

"Nih jus lo, nggak pake es ini soalnya lo lagi sakit." ucap Kimi dengan memberikan jus tersebut kepada Sicka, lalu Kimi lanjut menyemil *snack* yang dia dapat di kulkas.

"Betewe lo mikir apaan tadi?"

tanya Kimi ingin tahu, Sicka yang sedang minum segera meletakkan gelasnya di bawah samping sofa. Kemudian dia menatap Kimi serius.

"Gue lagi mikir masalah pembangunan hotel yang dibuat ayah."

"Terus hubungannya apa?"

"Tadi ada telpon dari mandor hotel di Subang, nah dia bilang udah tiga hari dana yang masuk itu baru sepertiga aja. Padahal kan harusnya dana itu full kan nggak sepertiga aja." Sicka bercerita dengan serius.

"Terus terus?" Kimi mendengarkan sembari memakan *snack*.

"Terus tadi gue telpon Pak Suryo tangan kanan ayah gue, dia bilang udah, kalo semua dana udah tersalur semua." Raut wajah Kimi yang semula biasa kini sedikit terkejut.

"Wah masa iya sih? Jingan\-jingan ... " Kimi menduga\-duga.

"Jangan\-jangan \*\*\*\*\*\*! Gue sepak juga lo!" Sicka mendengus sedangkan Kimi cengir\-cengir dengan wajah tanpa dosanya.

"Nah lo sepemikiran sama gue kan? Tapi gue juga nggak bisa nyelidikinnya." Raut wajah Sicka berubah menjadi sedih.

"Apa gue minta bantuan temen ayah, ya? Tapi hari ini dia dirumah nggak ya?" Sicka mengingat bahwa teman ayahnya ada yang berprofesi sebagai detektif, dan hubungan keduanya juga sangat baik bahkan keduanya bersahabat.

Sicka menatap Kimi dengan senyuman penuh arti membuat Kimi mengernyit, "Kim anterin gue ke rumah sahabat ayah, gue yakin dia bisa dan mau bantu gue."

<•[💙]•>

Sicka menatap rumah yang begitu mewah dan besar di hadapannya. Dia kemudian melangkah masuk ke rumah. Dia datang kesini sendiri karena Kimi tidak bisa menemani Sicka bertemu sahabat ayahnya karena tadi di jalan Kimi ditelpon oleh ibunya untuk segera pulang.

Ting tong ting ting

Bel yang dipencet oleh Sicka terdengar berbunyi di dalam rumah. Semenit kemudian pintu dibuka oleh seorang wanita dengan pakaian yang fashionable. Wanita itu menyipitkan matanya lalu seketika tersenyum sumringah.

"Kamu Sickarina anaknya Afkar, kan?"

Sicka tersenyum kikuk, lalu mengangguk. Wanita yang diketahui oleh Sicka adalah seorang istri Herman mengajaknya masuk ke rumah dan mempersilahkan dia duduk di sofa yang sangat empuk.

*Duh enak banget sofanya, empuk banget*. Batin Sicka

"Ya ampun Sicka! Kamu udah gede aja sih tambah cantik lagi. Udah lama banget tante Helena nggak liat kamu." Wanita itu duduk disamping Sicka sembari memeluk Sicka erat.

Helena mengurai pelukannya, dia menatap Sicka intens, "Apa mereka baik ke kamu?" Seketika senyum Sicka hilang, dia bingung harus jawab apa.

"M\-mereka b\-baik kok Tan hehe ..." Entah kenapa tatapan intens dari Helena membuatnya gugup.

"Siapa, Ma, yang dateng?" Hingga suara Herman yang baru turun membuat Sicka menghela nafas lega karena terlepas dari tatapan intens Helena.

"Dia Sickarina, Pah, anaknya Afkar itu loh yang dulu pas kecil sempet jatoh dari tangga."

*Aku? Jatuh dari tangga? Tapi kapan*? Sicka bertanya\-tanya dalam hati, dia tidak tau kejadian itu yang katanya dia jatuh dari tangga.

Herman lalu duduk di seberang meja, dia menatap Sicka yang tampaknya gugup. Tapi segera Herman memberikan senyuman untuk anak sahabatnya ini.

"Bagaimana kabarmu, Nak? Udah lama nggak ketemu kamu setelah kejadian kamu jatuh dari tangga." Kini Sicka makin bertanya\-tanya, kapan sih dia jatuh dari tangga? Kenapa dia tidak ingat?

"Alhamdulillah, saya baik kok Om." jawab Sicka sopan.

"Oh iya ngomong\-ngomong ada apa kamu main ke rumah Om sama Tante?" tanya Helena dan membuat Sicka teringat akan tujuannya datang ke rumah ini. Segera Sicka pun menceritakan semuanya.

Herman mengangguk-angguk, "Om bisa nggak bantu Sicka? Dan jangan sampe Ayah tau kalo aku yang minta." pinta Sicka yang membuat Herman agak ragu. Bukan ragu untuk membantu Sicka, tapi karena Sicka memintanya tak memberitahu Afkar. Sepertinya dia juga harus menyelidiki apa yang terjadi dengan gadis di depannya ini.

"Loh kenapa ayah kamu nggak boleh tau? Biarin ayahmu tau dong, Kan kalo memang dugaan kamu benar ayah kamu pasti bangga sama kamu." Helena berucap heran sedangkan Sicka hanya tersenyum kecut. Dan senyuman itu bisa dilihat oleh Herman.

"I\-intinya jangan sampe ayah tau apalagi orang rumah. Biar ini jadi rahasia aku, Om sama Tante. Oke?" Sicka memandang keduanya dengan penuh harap.

"Baiklah, kami akan merahasiakannya." ucap Herman membuat Sicka bernafas lega.

"Tapi Om, saya nggak ada uang banyak untuk bayar jasa Om. Sicka boleh nyicil kan?" Pertanyaan Sicka membuat Helena dan Herman tergelak.

"Haha kamu lucu banget sih!" ucap Helena gemas sembari mencubit pipi tirus Sicka. "Om bakal bantuin kamu, Tante jamin itu. Dan kamu nggak usah bayar dia, oke? Dia udah punya banyak, jadi kamu nggak usah mikirin balas jasanya." ucap Helena.

"Tapi kan tan\-"

"Apa yang dikatakan tantemu itu benar, Om bakal bantuin kamu. Tapi kamu nggak usah mikirin kamu bayar om berapa. Kalo sampe kamu bersikeras untuk membayar jasa Om. Jangan harap Om mau bantu." ucap Herman tegas dengan sorot tajamnya.

"I\-iya Om, tapi Om bantu kan?" tanya Sicka memastikan.

Kedua pasutri itu tertawa lagi, "Apasih yang nggak buat kamu sayang?" Hati Sicka terasa hangat saat dia dipanggil dengan kata 'sayang'. Entah kenapa dia seperti mendapat cinta.

"Terima kasih ya Om dan Tante"

<•[💙]•>

Seharusnya dia tak menolak saat Om Herman ingin mengantarnya pulang tadi. Dan kini dia harus berjalan kaki sendirian, malam hari lagi.

Salahkan dia juga kenapa dia tidak pulang saat sore tadi saja, tapi satu sisi dia juga senang saat Om Herman dan Tante Helena menyuruhnya untuk pulang malam saja. Di keluarga itu dia mendapatkan apa yang selama ini tak dia dapatkan di keluarganya. Bahkan anak Om Herman, Kak Haidar yang seumuran dengan Satya dan Satria, abangnya, mengajaknya bermain PS yang membuat nya lupa waktu seperti ini.

Kembali lagi ke Sicka, dia dapat merasakan kalau tubuhnya kembali panas. Bahkan kepalanya sudah sangat pusing. Dan dia lupa saat akan ke rumah Om Herman tidak meminum obatnya.

Lalu dia merasakan ada cairan yang keluar dari hidungnya, saat dia mengusapnya dengan tisu karena dia kira itu ingus ternyata dia salah. Tisu itu menjadi merah. Dia terkejut, ternyata dia mimisan.

Kini pandangannya semakin memburam. Dan tubuhnya mulai ambruk menghantam kerasnya aspal.

Di jalanan yang sepi itu Sicka pingsan tanpa ada satu orang pun yang melihat. Hingga dua menit setelah Sicka pingsan, ada sebuah mobil yang melintas dan berhenti dimana Sicka pingsan.

Dengan tergopoh-gopoh lelaki muda itu keluar dari mobilnya menghampiri Sicka yang tak sadarkan diri.

Saat orang itu membalik tubuh Sicka, orang itu menegang.

"Gadis ini ... "

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!