Tok! Tok!
Sebuah ketukan terdengar di depan pintu tempat tinggal Luna. Namun itu tidak membuat perempuan ini bangun dari tidurnya. Luna hanya menggerakkan tubuhnya untuk memeluk guling.
“Luna! Luna! Ayo buka pintu!” Baru setelah suara Bi Muti terdengar, Luna mulai bergerak.
“Kenapa Bi Muti teriak-teriak ...,” gumam Luna seraya bangkit dari tidurnya. Jam dinding menunjukkan pukul 7 malam. Setelah pulang kerja tadi, Luna langsung masuk ke kamar dan tidur tanpa mengganti pakaian kerjanya.
“Luna! Cepat buka pintu! Bi Muti bersama Elio sekarang!” teriak perempuan itu membuat Luna berjingkat dan loncat dari tempat tidur. Nama Elio mampu membuat Luna langsung membuka matanya lebar.
Tangan Luna bergerak cepat memutar kunci rumahnya. Brak! Sampai-sampai dia membuka pintu dengan keras.
Di luar pintu, Bi Muti sedang menggandeng Elio.
“Elio?!” Luna terkejut jika bocah itu benar-benar ada di depannya. Tubuhnya langsung berlutut mensejajarkan dengan tinggi Elio. “Kenapa kamu muncul di sini? Kamu kabur lagi? Apa kata papamu kalau kamu menghilang lagi?” tanya Luna beruntun. Elio hanya diam.
“Bawa masuk dulu Luna,” pinta Bi Muti. Luna langsung menggendong tubuh masuk dan membawanya masuk.
...***...
Mereka duduk di sofa butut di depan tv. Luna melipat tangan sambil menatap lurus-lurus bocah itu. Elio diam sambil mengalihkan perhatian ke arah lain. Bocah itu menghindari tatapan Luna padanya.
“Katakan padaku. Kenapa kamu kabur lagi? Kenapa ke rumah ku lagi? Kenapa?” cecar Luna dengan bola mata melebar karena geram.
Elio masih diam. Dia tetap menoleh ke sana kemari dengan ekspresi tanpa bersalah. Bi Muti melirik ke arah Luna. Menowel lengan perempuan ini sekilas.
“Aku akan mengusir mu kalau kamu tidak melihat ke arahku dan bicara,” ancam Luna. Perlahan kepala bocah ini menoleh ke arah Luna. Sekarang sedikit menunjukkan rasa takut. “Kalau kamu bicara, aku tidak akan mengusir mu.”
“Benarkah?” tanya Elio masih takut-takut.
“Ya. Aku tidak bohong.”
“Aku tidak percaya,” tegas Elio membuat Luna meradang.
“Tidak percaya?” Bola mata Luna melebar lebih besar daripada tadi. “Apa kamu tidak berpikir bagaimana aku berkorban memberi mu tumpangan saat pertama muncul di dekat ku? Bahkan aku dan Bi Muti hampir saja menorehkan sejarah buruk dalam hidup sebagai mantan narapidana. Keluargamu menuduh kita penculik, tahu.”
“Itu bukan aku. Itu papa,” kilah Elio.
“Papa atau kamu ya sama saja. Kalian kan anak sama bapak,” tuding Luna.
“Aku tidak sama dengan papa. Aku ini sama dengan mama!” bantah bocah ini dengan suara bergetar.
“Hei, sudah,” bisik Bi Muti melerai. Luna tahu itu. Karena ia juga mendengar suara bergetar itu. Apalagi dia teringat ketika bocah ini mengigau mamanya yang meninggal waktu itu. Luna beranjak dari sofa. “Mau kemana?” cegah Bi Muti.
“Ambil minuman.”
“Biar Bibi saja. Kamu urus Elio,” ucap bibi pelan. Beliau berjalan ke belakang. Luna menghela napas. Membiarkan Elio tenang.
“Oke. Aku tidak ingin bertanya, lebih baik kamu saja yang bicara,” kata Luna menyerah. Bocah itu masih diam.
“Apa yang harus aku katakan? Bukannya sudah jelas semuanya?” kata bocah ini mulai bertingkah.
“Jelas bagaimana?” tanya Luna balik.
“Jika aku jam segini sampai di rumah ini, itu berarti aku kabur. Kenapa hal seperti itu harus di tanyakan sih? Bukannya sudah jelas?” ucap Elio kesal.
“Hei, bocah!”
“Luna! Tenangkan dirimu.” Bi Muti yang muncul membawa minuman langsung meletakkan gelas di atas meja dan menahan Luna marah. "Kenapa kamu jadi bocah juga?" Bi Muti melebarkan matanya. Luna menipiskan bibir.
“Bocah ini sialan banget, Bi!” umpat Luna tidak tertahan.
“Hei, tutup mulutmu. Ada bocah. Jangan mengumpat sembarangan ...,” ingat Bi Muti. Luna menggeram kesal.
“Pfft ... hahahaha.” Tiba-tiba bocah itu tertawa terbahak-bahak. Luna dan Bi Muti menoleh dengan heran.
“Kenapa tertawa?” tanya Luna.
“Aku suka dengan Tante Luna. Lucu.” Bocah ini masih tertawa.
“Aku bukan badut yang sedang membuatmu senang tahu,” bantah Luna mendelik.
“Tapi Tante sudah buat aku senang,” kata Elio menampakkan wajah bahagianya. Puk! Bi Muti menepuk pundak Luna.
“Bocah ini suka sama kamu. Biasanya bocah akan merasa aman kalau dekat sama orang yang baik. Karena naluri mereka murni. Jadi Bibi rasa dia benar. Karena bibi tahu kamu itu orang baik.” Bi Muti tersenyum.
“Bukan soal aku baik atau tidak, Bi. Apa yang harus aku katakan pada Pak Ian kalau anaknya muncul lagi di rumah ini?” jelas Luna sambil meringis.
“Papa tidak akan menghubungi polisi lagi karena sudah mengira aku kabur, bukan di culik,” kata Elio memberi informasi.
“Aku tidak butuh informasi dari mu, bocah,” tunjuk Luna kesal.
“Minum dulu kalian berdua. Bibi sudah buatkan sirup dingin. Supaya hawa kalian berdua tidak panas.” Bi Muti menyodorkan gelas pada Elio dan Luna.
“Ini sirup apa?” tanya Elio tidak langsung meminumnya.
“Itu sirupnya orang miskin. Aku saranin untuk enggak meminumnya. Karena apa, karena kamu akan ketularan miskin seperti aku,” sahut Luna asal. Dia sengaja mengerjai bocah ini.
Elio mengerjapkan mata. Dia ragu.
“Jangan di dengerin. Minum saja. Mana ada sirup miskin,” kata Bi Muti menenangkan Elio yang meragu. Kini giliran Luna yang tertawa. Elio cemberut. “Jadi kamu itu kabur lagi ya?” tanya Bi Muti lembut. Ia meminta gelas yang sudah kosong dari tangan Elio. Bocah ini mengangguk. “Kamu enggak kasihan sama keluarga kamu kalau kabur terus?”
“Enggak. Aku enggak di butuhkan sama papa, kok,” jawab Elio tegas.
“Jangan bicara sembarangan. Bocah kecil seperti kamu kan masih belum ngerti apa-apa,” kata Luna nyolot. “Buktinya Pak Ian sampai harus bikin aku dan Bi Muti tersangka penculikan gara-gara dia khawatir sama anaknya. Itu berarti dia sangat butuh kamu.”
“Aku memang belum mengerti, tapi aku tahu,” kata Elio membingungkan. Lalu dia melengos. Luna menipiskan bibir dan ingin menjitak bocah ini.
“Apa kamu enggak bilang alasan kamu kabur sama papa mu itu?” tanya Luna ingat. “Bukannya kamu enggak mau pulang kalau masih harus tinggal dengan orang yang kamu benci itu,” singgung Luna.
“Enggak.” Kepala Elio menggeleng. Sedikit menggemaskan karena rambut keriting dan gondrong itu bergerak lucu.
“Kenapa?” tanya Luna heran. Elio tidak menjawab. Dia hanya menunduk saja. “Oke terserah. Itu urusan kamu sama papamu. Sekarang aku akan telepon Pak Ian dan memberi tahu kalau kamu ada di sini biar enggak panik dan segera menjemputmu,” kata Luna bergerak mengambil ponselnya.
“Jangan!” teriak Elio. Luna berhenti. “Jangan telepon sekarang.” Bocah itu panik. Bi Muti melihat ke arah Luna.
“Kamu takut papa mu marah lagi seperti waktu itu?” tanya Luna.
“Bukan. Bukan itu. Papa mungkin tidak marah.”
“Terus kenapa? Kamu mau tetap tinggal di sini begitu?” tanya Luna. Bocah itu diam sambil menunduk. “Aku tidak mau ada apa-apa denganmu karena berada di sini, Elio. Itu sebuah tanggung jawab besar.”
“Lalu waktu itu kenapa mau menampungku?” tanya Elio balik.
“Itu lain, bocahhh ...." Luna menggeram. "Karena saat itu aku tidak tahu kamu anaknya Pak Ian, atasanku. Kalau sekarang sudah tahu bahwa kamu anak Pak Ian, aku harus hati-hati saat mengambil keputusan. Jadi lebih baik aku telepon Pak Ian agar dia menjemputmu.” Luna meraih ponselnya.
“Tolong jangan telepon sekarang, Tante Luna. Karena sekarang, papaku sedang makan malam dengan kekasihnya,” ungkap Elio akhirnya. Luna menoleh, begitu pun Bi Muti.
..._____...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Mrs.Riozelino Fernandez
👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
2024-09-04
0
Sintia Dewi
hahah bi muti melerai 2 bocah yg sedang debat/Facepalm/
2024-04-29
0
Niè
aku suka bahasanya...enak...
2024-01-10
0