"Ini perlu persetujuan Pak Ian. Harus minta tanda tangan dulu," kata Luna.
"Aku tahu. Kamu cepat ke HRD gih. Pak Ian kan, ada di sana sekarang. Mumpung lagi ke sini." Karin bersemangat mendorong Luna untuk maju. Luna langsung malas saat Karin menyebut HrD. Karena baru saja ia dari ruangan itu dan kena omel.
"Kamu sendiri kenapa sih?" Luna enggan.
"Biasanya juga kan ACC Pak Ian lewat kamu atau Mbak Mera. Bukan langsung ke sana," kilah Karin yang sebenarnya malas kesana.
"Kita kesana bareng," tegas Luna sambil melebarkan bola matanya. Karin mengiyakan. Karena kadang susah sekali Pak Ian muncul. Kita harus datang khusus ke ruangannya di lantai atas. Itu agak horor karena orangnya dingin.
Mereka berdua berjalan menuju ruangan HRD. Menurut Rafa, Pak Ian dan Danar masih di dalam.
Tok! Tok!
Setelah ketukan kedua, pintu ruangan HRD terbuka. Danar ternyata di balik pintu.
"Pak Ian ada?" tanya Luna.
"Ya. Ada apa?" tanya Danar.
"Mau minta acc, Pak." Luna menunjukkan berkas di tangannya. Danar melihat berkas di tangan Luna. Kemudian melirik Karin yang berdiri di belakang Luna.
“Dia ikut?” tanya Danar menunjuk Karin dengan matanya.
“Ya. Ini ada hubungannya dengan pekerjaannya,” kata Luna memberi penjelasan.
"Masuklah."
Setelah di ijinkan, Luna dan Karin masuk ke dalam. Ia melihat pria itu menoleh ke arahnya. Mungkin mendengar suara di pintu, dia menunggu siapa yang datang mencarinya. Kepala Luna mengangguk memberi hormat.
Sepertinya pembicaraan dengan HRD jadi terhenti karena dia.
"Ada apa?" tanya Pak Ian dengan sorot mata tajam.
"Minta acc proposal untuk acara yang di adakan saat ulang tahun perusahaan," jawab Luna. Ia bergerak maju, lalu menyerahkan berkas kepada Ian.
Pria itu membaca berkas. Ada kebiasaan tertentu saat Ian membaca berkas. Ia menghela napas dulu, lalu membaca berkas seraya mengerutkan keningnya. Kadang salah satu jarinya menyentuh keningnya sendiri. Seperti menyamarkan kerutan di keningnya.
Semua diam tidak mengeluarkan suara.
Beberapa menit berkas itu di baca, Ian mendongak. Luna dan Karin sudah siap untuk di tanyai.
"Aku tanda tangani dulu. Sudah aku baca sebagian. Luna bisa baca lagi nanti. Jika ada yang tidak tepat, beritahu saya," kata Ian melihat ke arah Karin dan Luna bergantian.
"Baik Pak." Karin dan Luna menjawab hampir bersamaan.
"Kami akan kembali ke ruangan. Terima kasih," pamit Luna. Ian mengangguk.
Saat itu, Danar melihat sosok Luna dari belakang. Sesaat ia sadar bahwa sosok itu mirip dengan perempuan yang tadi ada di area parkir, Danar memanggil.
"Kamu yang ada di area parkir tadi, Luna?" tanya Danar. Mungkin karena tadi Luna memakai jaket di luar pakaiannya sekarang, jadi Danar masih butuh waktu untuk langsung mengenalinya.
Luna yang hampir sampai di dekat pintu berhenti melangkah. Walaupun Karin tidak di panggil, tapi karena dia datang bersama Luna dia pun ikut berhenti.
Mendengar Danar membahas soal orang yang telah membuat mobil mengerem dengan dahsyat tadi, Ian menoleh ke arah Luna.
"Parkir? Ya. Saya hari ini memang membawa motor." Luna mengangguk. Wajah perempuan ini tampak bingung. "Ada apa, Pak?" tanya Luna tidak sanggup menahan ras ingin tahunya. Danar menatap Luna beberapa detik. Ini membuat Luna berdebar. Dia was-was.
"Motor kamu matic warna putih, itu?" selidik Danar. Karin melirik ke kawan di sampingnya.
"I-iya." Luna makin tidak tenang.
"Saya rasa, Luna orangnya Pak," kata Danar mengadukan pada Ian. Semua mata memandang ke arahnya. Luna melebarkan mata dan mengedipkan mata berulang kali. Masih belum paham, apa yang di maksud Danar, orang kepercayaan Ian.
Mendengar pengaduan Danar, Ian melirik ke samping.
Ada apa ini? batin Luna di dalam hati.
...***...
Luna menundukkan kepalanya saat Danar menceritakan kejadian tadi pagi padanya. Ia sangat malu. Kening Pak Ian memang agak memar sedikit. Namun ia tidak menduga itu karena dirinya.
"Luna mungkin terburu-buru karena hari ini dia datang lebih siang daripada biasanya," ujar Kak Mona memberi tahu. Bermaksud memberi bantuan pada Luna. Namun sayangnya, Ian justru melemparkan pertanyaan pada Luna. Dimana itu adalah marah.
"Kamu terlambat?" tanya Ian seraya menyipitkan matanya. Luna diam. Dia tidak berani mengatakan apa-apa. "Lain kali datanglah lebih siang kalau kamu tidak sayang nyawa orang lain atau kamu sendiri seperti tadi," kata Ian membuat Luna makin meremas jari-jarinya yang bertaut. Danar dan Mona menunduk mendengar itu.
Pak Ian sangat marah. Beliau pasti lagi badmood sampai menunjukkan aura hitamnya sekarang.
"Maafkan saya, Pak. Lain kali tidak akan saya ulangi lagi," kata Luna membungkukkan tubuhnya. Sebuah dering ponsel berdering. Itu milik Ian.
"Kita pergi sekarang, Danar," ajak Ian yang beranjak dari kursi. Bicara sebentar dengan kak Mona, lalu berjalan keluar melewati Luna dan Karin tanpa menoleh lagi. Luna meringis setelah kepergian Ian. Mereka berpamitan kembali ke ruangan pada Kak Mona.
"Eh, Pak Ian kok jadi menakutkan begitu sih?" tanya Karin yang bergidik. "Baru kali ini aku melihat beliau begitu. Apakah beliau lagi punya masalah, jadinya marah ke kita?" tanya Karin.
"Entah. Aku tidak tahu. Yang pasti, Pak Ian akan menandaiku sebagai karyawan bermasalah. Selain terlambat, aku juga sudah membuat dahinya merah karena terantuk. Pasti sangat keras karena masih membekas," keluh Luna.
"Terima saja nasibmu kawan," kata Karin seraya menepuk pundak Luna. Bibir Luna menipis kesal. "Memangnya, kamu enggak tahu apa ada mobil Pak Ian tadi pagi?"
"Aku terburu-buru lihat jam. Itu sudah mepet. Jadi mana sempat lihat kemana-mana," geram Luna.
"Ngerti sih. Ternyata kamu memilih lawan yang salah, sobat." Lagi-lagi Karin menepuk punggung Luna.
"Payah. Bisa canggung nih kalau Pak Ian ingat terus cerita ini," keluh Luna. Karin terkekeh. "Jangan ketawa. Ini juga gara-gara kamu. Jika kamu enggak minta tanda tangan dan maksa ke Pak Ian sekarang, mungkin aku enggak bakal kena damprat sama Pak Ian."
"Ye ... Aku yang di salahin. Yang ngebut pakai hampir nabrak mobil Pak Ian siapa ...," cibir Karin.
...***...
Kantor polisi.
"Melihat cctv yang di serahkan orang-orang Anda, sepertinya putra Anda hilang di area perusahaan. Masuk ke dalam mobil dengan seorang perempuan.”
"Perempuan?" Ian mengerutkan kening.
“Benar. Sayangnya kepala pelaku menunduk dan wajah perempuan itu tertutupi oleh rambutnya. Namun kita bisa melacak nopol mobil itu." Polisi menjelaskan.
"Langsung cari dan temukan." Nada bicara Ian sangat dingin. Hingga polisi tadi sempat tertekan.
"Kita akan melakukan yang terbaik Pak Ian." Kabid Humas kepolisian Ginanjar muncul. Dia sudah mengenal keluarga Ian.
"Aku harap itu benar," timpal Ian tidak sabar. Ian memang baru memberi laporan orang hilang saat malam sekitar jam 6 kemarin. Tepat sepulang kerjanya.
Ketika itu dia yang mengira Elion sedang tidur, datang ke kamar bocah itu. Namun saat bertemu bibi pengasuh, beliau justru bertanya tentang bocah itu. Karena Elion bilang akan ikut papa-nya ke kantor.
Ian terkejut. Saat itulah dia langsung melaporkan ke pihak kepolisian sambil tetap mencari kemungkinan dimana bocah itu berada.
...______...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Zarin Mayresa
kena pasal berlapis nih luna
2023-12-04
0
Indung R
duh
parah parah Luna Luna
2023-12-03
1
Lusi Jax Lh
tolong thor tanda titik sm koma y jgn asal ksh aja.
2023-11-13
0