Luna mengerutkan keningnya saat mengerjakan laporan keuangan di komputer. Ia harus fokus saat kedua matanya lelah. Karena pandangan matanya seringkali kabur saat itu. Dia punya mata minus tapi enggan memakai kacamata.
Telepon wireless di ruangannya berdering. Ia mencondongkan tubuh ke depan, lalu meraih gagang wireless tanpa melihat siapa yang menelepon.
"Halo. Kantor keuangan,” sapa Luna sedikit santai.
"Datang ke ruanganku, Luna." Sebuah suara bariton yang mengejutkan. Apalagi saat ia mencoba melihat nomor kontak yang tertera di layar. Itu nomor ruangan Pak Ian
"Baik, Pak,” sahut Luna segera.
Perempuan ini segera mengeluarkan menu laporan keuangan di layar dan bergegas menuju pintu keluar. Ia tidak ingin berlama-lama. Namun ia teringat lagi bahwa ia perlu membawa ponsel. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu.
“Oh, tidak,” keluhnya. Lalu Luna membalikkan tubuh untuk kembali ke meja mengambil gawai pipih itu.
"Hei, mau kemana Lun?!" tanya Karin yang muncul di lorong.
"Ke ruangan Pak Ian." Luna menjawab seraya terus berjalan. Hingga suaranya terdengar jauh di akhir kalimat.
Dadanya sedikit berdegup kencang karena takut ada apa-apa lagi. Meskipun soal dirinya yang membuat kening Pak Ian merah sudah lenyap karena kasus putranya itu, Luna tetap saja merasa was-was sekarang.
Tok! Tok!
Setelah yakin bahwa Pak Ian sudah menyuruhnya masuk, Luna membuka pintu.
"Saya datang, Pak." Kepala Luna menunduk.
"Ya. Kamu sendirian?" tanya Ian seraya melihat ke arah pintu yang di tutup Luna.
Perempuan ini mengerjapkan mata. "Iya. Apa saya harus memanggil seseorang?" Langkah Luna terhenti karena pertanyaan itu.
"Tidak. Duduklah dulu. Sebentar lagi kita bicara." Pak Ian mendongak sebentar, lalu menunduk lagi. Melihat ke arah komputernya. Setelah menunggu beberapa detik, Pak Ian beranjak dari kursi kerjanya dan menghampiri Luna yang duduk di sofa.
Melihat proposal acara ulang tahun perusahaan di tangan Pak Ian, Luna lega akhirnya tahu bahwa beliau akan membahas itu. Bukan membahas yang lain.
"Aku sudah membaca beberapa poin yang kamu tandai soal proposal itu. Juga sudah memberi keterangan untuk itu. Jadi biar bagian panitia acara menyesuaikan," kata Ian seraya menyerahkan proposal itu pada Luna.
"Jadi mereka buat proposal yang baru lagi ya, Pak?"
"Ya. Dengan acuan keterangan yang sudah aku tulis."
"Baik Pak. Akan saya sampaikan." Luna pikir pembicaraan akan selesai begitu saja, tapi ternyata Pak Ian masih akan membicarakan sesuatu lagi.
"Lalu soal kasus putraku ..."
"Ya. Ada apa, Pak?" tanya Luna sambil mengerjapkan mata. Dadanya berdegup kencang lagi.
"Bagaimana keadaan kalian berdua dengan tetangga dan orang sekitar? Apakah mereka tetap berpikir kalian berdua adalah penculik?" tanya Pak Ian menunjukkan rasa khawatir.
"Oh, itu, Pak. Saya tidak tahu pasti, tapi mungkin saja tidak. Karena mereka bersikap biasa saja pada kita setelah Bapak mengadakan pertemuan mengklarifikasi kebenaran dari salah paham itu," jelas Luna.
"Syukurlah. Kesalahpahaman itu tidak berlanjut lama. Aku akan merasa sangat bersalah jika itu terjadi.”
Kepala Luna mengangguk-angguk mendengar Pak Ian bicara.
"Kabar Elio bagaimana, Pak?" tanya Luna jadi ingat sama bocah itu lagi.
"Baik," sahut Ian datar. Luna manggut-manggut lagi. "Apakah kamu tahu, sebenarnya apa alasan Elio kabur dari rumah?" tanya Ian dengan mata teduh tapi serius. Ini mengejutkan.
"Alasan? Apa Elio tidak mengatakan apa-apa pada Anda, Pak?" tanya Luna bertanya balik. Dia yakin bocah itu mengatakan dengan jelas alasan dia kabur padanya, tapi mengapa orangtuanya masih tidak mengerti?
"Tidak."
Lalu bagaimana dia mau di ajak pulang kalau memang tidak mengatakan apa-apa pada Pak Ian? batin Luna heran.
Melihat gelagat Luna, ian merasa perempuan ini tahu sesuatu. Melihat Elio yang jarang dekat dengan banyak orang, pasti ada sesuatu yang membuat bocah itu dekat.
"Katakan apa yang kamu ketahui," kata Pak Ian. Kini beliau menunggu Luna bicara dengan melipat tangan. Melihat itu Luna jadi tidak tenang. Itu bagai perintah.
"Emm ... itu. Saya kurang nyaman untuk mengatakannya." Luna yakin apa yang di katakan Elio adalah hal sensitif bagi atasannya ini.
"Kurang nyaman? Apa itu sesuatu yang tidak pantas di bicarakan?" tanya Ian ingin tahu.
"Emm ... kenapa Bapak tidak menanyakan sendiri pada Elio, alasan dia kabur? Saya rasa itu lebih baik. Jadi tidak ada hal yang sensitif lagi karena itu antara ayah dan anaknya." Luna merasa tidak punya hak untuk membahas tentang bocah itu dan alasan kaburnya. Meskipun dia tahu.
Lagipula, lebih baik kan Elio dan Pak Ian bicara berdua saja daripada memilih memakai pihak ketiga untuk menanyakan alasan bocah gondrong itu kabur.
Aku heran, kenapa Elio mau pulang kalau dia tidak membuat kesepakatan yang membuatnya ketakutan seperti itu?
"Kamu memberiku perintah, padahal aku sedang bertanya padamu?"
Luna terkejut mendengar pertanyaan tajam itu. Namun melihat raut wajah Pak Ian, Luna tahu pria ini tidak sedang menekannya.
"Maafkan Saya, Pak. Namun kan itu urusan keluarga. Sementara saya orang luar yang baru saja tahu soal Elio itu anak Bapak."
"Oh, kamu belum tahu saya punya anak?" tanya Ian. Luna mengangguk.
"Iya. Bahkan saya pikir Anda ini masih lajang." Luna seperti mendapat angin untuk mengatakan apa yang memang ada di otaknya selama ini. Namun kemudian Luna terkejut sendiri dengan mulutnya yang membicarakan semua itu dengan lancar. "Maaf, Pak."
Pria ini tersenyum tipis.
"Tidak apa-apa. Saya heran kamu mengira saya ini masih bujang." Ian mulai bersikap sedikit terbuka dari biasanya. Mengenal dan menolong Elio membawa dampak sangat hebat antara hubungan dia dan atasannya ini.
Padahal masih ingat saat pria ini bersikap dingin padanya.
"Apa bisa kamu katakan pada Elio untuk membicarakan padaku soal kaburnya itu?" pinta Ian. Luna mengerjapkan mata. Itu permintaan aneh.
"Oh, maaf Pak. Itu akan semakin aneh saya rasa. Karena Elio pasti ingin Bapak sendiri yang menanyakannya. Saya hanya sebagai penolong sekilas saja, bukan perantara Bapak dan putra Bapak," tolak Luna masuk akal.
"Kamu menolak?"
"Jika itu urusan pekerjaan, pasti akan saya laksanakan. Namun ini masalah keluarga. Saya tidak berani," kata Luna jujur.
...***...
Luna kembali ke ruangannya. Setelah itu Karin ikut masuk.
“Kamu sudah membahas soal proposal ku bukan?” tanya Karin senang. Melihat apa yang di bawa Luna, Karin tahu bahwa itu proposal miliknya.
“Ya. Buat lagi proposal itu dengan menghapus dan menambahi sesuai dengan catatan yang sudah di buat oleh Pak Ian,” kata Luna yang belum duduk di kursinya.
“Oh, aku harus revisi?” Karin kecewa.
“Kalau mau lolos ya begitu, tapi setelah pengajuan proposal kedua, aku yakin itu akan di ACC,” kata Luna akhirnya duduk juga. “Menurutmu apa enggak aneh jika aku harus mengatakan pada Pak Ian kalau anaknya kabur karena dia tertekan tinggal di rumahnya sendiri?”
Karin mengerutkan kening mendengar pertanyaan Luna.
“Kalian sedang berdiskusi soal anaknya?” tanya Karin heran. Kepala Luna mengangguk. “Aneh.”
“Benar. Aneh bukan, kalau aku harus membicarakan itu dengan Pak Ian.” Luna senang Karin setuju dengannya.
“Bukan kamu yang aneh, tapi Pak Ian.”
“Eh, kenapa Pak Ian?” Luna ternyata salah. Karin bukan setuju dengannya.
“Itu kan anaknya, kenapa harus berdiskusi dengan kamu?” kata Karin masuk akal. “Kamu bukan pengasuhnya, tapi orang yang tidak sengaja jadi tempat pelarian bocah itu.”
“Benar juga, tapi mungkin karena bocah itu pernah tinggal di rumahku.”
“Atau karena kamu memang tahu sesuatu yang membuat bocah itu ingin kabur," sambung Karin.
"Emmm ... Elio memang memberitahu ku kenapa dia kabur," ungkap Luna.
...________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
murniati cls
Napa dia tak jawab aja apa apa gtu,biar tau papanya,ato kasih tau gtu,ato kabur aja lg
2023-11-20
0
Qiyam Maryam
memang betul seorang anak akan lebih nyaman tinggal diluar klau ia merasa tertekan
2023-11-04
0
Praised94
terima kasih 👍
2023-11-02
0