Saat membuka pintu rumah, Luna di kagetkan keadaan rumahnya yang berantakan. Barang-barangnya berserakan di lantai. Matanya membulat.
"Bi Muti! Bi Muti!" panggil Luna panik. Ia berpikir ada maling atau sebagainya. Kakinya cepat saat ia berjalan menuju ke kamar. Namun yang ia dapatkan adalah, Bi Muti tertidur di atas tempat tidurnya. Sementara bocah itu tengah menonton tv.
Saat menyadari kalau Luna pulang, dia menoleh.
"Tante Luna sudah pulang?" tanya Elio dengan wajah polos. Rupanya dia mengingat dengan benar pesan yang Luna sampaikan. Dia harus memanggil dengan sebutan Tante.
"Kenapa semuanya berantakan? Seingat ku aku sudah membersihkan rumah ini. Ya ... mungkin dapur tidak, karena aku harus menyiapkan sarapan untukmu dan Bi Muti. Karena lelah semalaman tidak bisa tidur dengan nyenyak karena kamu mengigau terus."
"Oh ya? Aku tidak pernah mengigau," bantah Elio. Dasar bocah.
"Ya. Kamu memanggil mamamu berulang kali," kata Luna mendesak. Tiba-tiba saja mata bocah yang berumur lima tahun ini bergetar. Lalu kembali melihat tv.
Namun ada yang aneh. Kepala Elio menunduk. Agak lama. Luna yang berada di belakang mencoba mendekat. Lalu memiringkan kepala melihat apa yang sedang di lakukan bocah ini.
Sungguh mengejutkan bahwa bocah ini sedang menangis.
"Elio?" panggil Luna pelan.
"Mama. Mama!" teriak Elio histeris. Bi Muti sampai terbangun karena kaget.
"L-luna? Kamu sudah pulang?" tanya beliau heran. Namun Luna tidak menjawab karena fokus pada bocah yang menangis itu.
"Elio." Luna langsung merunduk dan memeluk bocah ini. Bi Muti makin heran karena melihat anak itu menangis. "Lho, ada apa?" tanya Bi Muti bangkit dari tidurnya dengan bingung. Beliau turun dari tempat tidur dan mendekat pada Luna yang sedang memeluk Elio.
"Bisa minta tolong ambilkan minum, Bi?" pinta Luna. Bi Mutia mengangguk. Perempuan itu keluar dari kamar.
Bocah itu masih sesenggukan dalam pelukan Luna.
"Tenanglah Elio. Maaf kalau aku mengatakan hal yang salah," kata Luna jadi tidak tega. Apakah mamanya sudah meninggal? Kenapa saat aku menyebut mama dia seperti sedih? batin Luna.
Bi Muti datang membawa air putih. Luna memberi kode untuk meletakkan minuman itu dekat dengannya. Karena Elio masih menangis. Dia mencoba menenangkan dengan menggendong bocah itu dan menepuknya punggungnya pelan.
"Sudah tenang? Kamu minum dulu ya? Nanti tenggorokannya sakit kalau enggak minum." Luna mencoba berkomunikasi dengan Elio. Tangisnya lumayan mereda. Kepala Elio mengangguk pelan.
Bi Mutia menyodorkan minumannya.
Luna mencoba mendudukkan bocah itu di pinggiran tempat tidur. Lalu mengambil gelas di tangan Bu Muti lalu membantu bocah itu minum.
"Aku ingin susu," rengek Elio.
"Susu?" Luna kebingungan.
"Aku punya susu kental manis di rumah. Sebentar. Aku ambilkan," kata Bi Muti baik.
"Terima kasih, Bi!" teriak Luna saat Bi Muti sudah berjalan keluar. "Lihatlah, Bi Muti. Dia baik kan?" Luna mengusap kepala dan menyeka air mata.
"Lalu kamu?"
"Tante. Di bilangin panggil aku Tante, bukan kamu," tegur Luna sambil mengerutkan keningnya.
"Iya, Tante. Kalau Tante gimana?" Akhirnya bocah ini kembali ke mode semula. Suaranya masih agak serak karena menangis tadi.
"Aku juga baik kan? Kalau enggak baik kamu aku kirim ke kantor polisi. Terus disana, pasti aku tinggal," cerita Luna. Dia merapikan baju Elio yang ala kadarnya itu. Itu di dapat Bi Muti dari baju bekas di gudang. Mungkin pakaian anaknya dulu.
Elio diam.
Tak lama Bi Muti muncul dengan gelas berisi susu.
"Nah, Bi Muti sudah datang," kata Luna.
"Ini. Cepat minum selagi hangat." Bi Muti menyodorkan gelas. Luna mengambilnya. Lalu membantu Elio minum. Dengan cepat, bocah itu meneguknya. Wajar saja, dia masih bocah yang butuh minuman susu yang bergizi. Meskipun mungkin bukan susu kental manis semacam ini.
"Sudah. Habis." Elio menurunkan gelasnya.
"Wah cepat sekali." Luna menerima uluran gelas dari bocah ini.
"Aku kembali ke rumah dulu ya. Nanti ke sini lagi," kata Bi Muti.
"Ya, Bi. Terima kasih," kata Luna. Bi Muti bergegas kembali ke rumahnya.
"Nah. Setelah minum susu, berarti tenaga mu sudah banyak terisi. Jadi bantu aku membereskan semua hal yang kacau ini." Luna menunjukkan semua barang yang berantakan ini.
"Kenapa tidak Tante sendiri yang melakukannya? Di rumahku, ada bibi yang membersihkan mainan-mainan atau barang yang sudah aku pakai buat main," tolak Elio.
Bibi yang membersihkan mainan? Apa dia anak orang kaya? Luna mengerjap.
"Kamu anak orang kaya?" tanya Luna akhirnya bertanya langsung. Dia penasaran.
"Kenapa? Tante mau meminta uang untuk di tukar dengan aku?"
"Hei ... tahu dari mana kamu soal itu?" Luna mengibaskan tangannya.
"Ada. Di tv kan ada penculikan anak."
Apa yang di lihat bocah ini sebenarnya?
"Bukan. Kalau memang mau minta uang, sejak pertama saja aku minta uang. Kenapa baru sekarang?" sungut Luna.
"Karena Tante tidak tahu rumahku. Makanya enggak bisa minta uang sama papa," kata Elio. Luna menipiskan bibir. Pembahasan soal membersihkan mainan jadi melenceng ke arah lain.
"Jangan bahas itu lagi. Sekarang yang penting adalah, bantu aku merapikan rumah kecilku ini," pinta Luna mengembalikan topik pertama yang di bahas tadi.
Mata bocah itu melihat ke sekitar.
"Sangat berantakan. Di rumahku enggak pernah berantakan seperti ini," ejek bocah ini menyebalkan.
"Yang membuat rumahku berantakan itu kamu," tuding Luna kesal. "Sudah. Jangan banyak bicara. Cepat bantu aku membereskan semuanya."
"Aku tidak bisa," tolak bocah itu seenaknya.
"Tidak bisa?" tanya Luna membelalakkan mata karena bocah ini ingin menghindar dari tanggung jawab.
"Iya. Karena di rumahku sudah ada orang yang membereskan mainan dan semuanya, aku tidak pernah tahu cara membereskan mainan," kata Elio.
Luna menepuk jidatnya sendiri. Memang sudah di katakan tadi kalau bocah ini punya orang khusus untuk membereskan kekacauan yang ia buat di rumahnya.
"Ayo. Aku kasih tahu caranya. Kalau tidak bisa, berarti kamu harus belajar. Jangan langsung bilang tidak bisa kalau belum pernah mencoba." Luna tidak mau kalah dengan bocah ini.
"Aku lelah." Lagi-lagi bocah ini menolak.
"Aku ini lebih lelah," geram Luna. "Jika biasanya aku langsung mandi dan makan sepulang kerja, tapi kali ini aku harus kembali bekerja di rumah karena rumahku berantakan. Aku tidak bisa langsung bersantai setelah seharian bekerja," sungut Luna.
"Kan sama dengan orang-orang di rumahku. Mereka terus bekerja membersihkan rumah, tapi nanti di kasih uang oleh papa," cerita Elio.
"Itu mereka bekerja dan dapat uang dari keluargamu, tapi aku ... Aku membersihkan rumah ini tanpa ada yang memberi uang. Bahkan aku ini membayar setiap bulan untuk bisa tinggal di sini!" Luna justru curhat karena kesal dengan bocah ini.
"Tante harus bayar, untuk tinggal di rumah kecil ini?"
"Tentu saja! Ini bukan rumahku, tapi rumah Bi Mutia. Aku menyewanya."
Elio menatap dengan iba. Itu sungguh menyebalkan. Luna tidak habis pikir dengan bocah ini. Kadang bertindak layaknya orang dewasa. Kadang juga kembali pada kenyataan bahwa dia adalah bocah.
"Jangan menatapku seperti itu dan cepat bantu aku bereskan semuanya. Jangan membantah karena tidak pernah membereskan mainan di rumahmu. Ini rumahku. Kamu numpang dan itu artinya, kamu harus tahu diri untuk ikut membersihkannya," jelas Luna panjang.
Dia harus bisa mengajarkan bersih-bersih pada bocah, karena dia bisa pusing jika setiap hari seperti ini.
..._____
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
d.stywn
iy dong, kan lumayan/Casual/
2023-11-09
2
Praised94
terima kasih 👍
2023-11-02
1
fifid dwi ariani
trus bahagia
2023-05-06
0