Bagian 19

Motor itu memasuki pekarangan rumah. Dibuka heml full face dan melihat sebuah rumah yang tepat berada di depan rumahnya. Rumah yang dulu sering ia kunjungi saat bosan di rumah karena sang Papa tidak mau mengajaknya main, sementara sang Mama yang terlalu asyik menggosip dengan teman arisan. Di rumah yang sederhana dari rumahnya itu, Zul bisa merasakan kehangatan. Ia bisa makan bersama dengan keluarga yang begitu hangat, bermain kuda-kudaan bersama seorang Bapak yang jauh 180° dari Papanya, diceritakan sebelum tidur oleh seorang Ibu dengan suara lembut yang beda dengan Mamanya, juga seorang teman sepantara yang selalu mengajaknya bermain kelereng ketimbang gadget, dan seorang adik perempuan yang sejak dulu ia tunggu kehadirannya. Zul masih ingat bagaimana dia dan Randy yang selalu berbicara pada seorang janin di dalam perut Nani. Seorang adik yang sangat ditunggu oleh kedua cowok berumur kurang dari 2 tahun. Meskipun Zul tahu itu bukan adik kandungnya, tapi ia merasa jika dia satu diantara keluarga kecil nan sederhana itu.

Sekitar 2 bulan lalu, dia kembali di rumah yang sudah lama ia tinggalkan. Datang diam-diam saat malam hari agar tidak ada yang tahu. Namun, sebuah hal yang malah membuatnya merasa sedih. Setelah 1 minggu kembali di rumah lamanya, Zul merasa bahwa keluarga yang dulu ia anggap keluarganya berubah. Melihat keluarga itu membuat Zul merasa bersalah. Andai 6 tahun lalu ia berani membuka mulut, mungkin dia akan melihat keluarga itu seperti yang ia lihat dulu.

"Kamu udah pulang?"

Pertanyaan dari Papanya yang baru saja keluar dari mobil membuyarkan lamunannya. Ia hanya menggumam lalu berjalan masuk ke rumah. "Papa udah nurutin kamu buat balik ke sini. Tapi kalau sampai kamu bilang ke Amel tentang itu. Papa bakal bawa kamu ke luar negeri," kata Budi membuntuti putra satu-satunya dari belakang.

"Zul nggak akan mau ke luar negeri, Pa. Lagian, tanpa Zul bilang, kebenaran juga akan terungkap sebentar lagi," kata Zul cepat menaiki tangga menuju kamarnya.

"Kamu bilang apa tadi?"

Teriakan Papanya ia hiraukan. Sejak dulu, Zul selalu takut jika harus bertemu sang Papa yang tidak pernah menunjukkan aura penyayang. Hidup sang Papa tidak bisa keluar dari yang namanya bisnis, bisnis, dan bisnis. Sampai-sampai, Zul bosan jika terus-terusan di rumah. Apalagi saat Papa dan Mamanya bertengkar karena masalah uang. Mangkannya sejak dulu, ia tidak betah jika berada di rumah.

Saat ia hendak menutup tirai rumahnya, matanya melihat seorang gadis yang dari kecil berada dihatinya sedang turun dari motor verza milik cowok yang sangat ia benci. Apalagi saat melihat keduanya tertawa dan terlihat sangat dekat. Kesal, Zul menutup tirai itu dengan keras.

"Amel cuma punya gue!"

 

~•~

 

"Gue tuh yakin, Ka, kalau tuh cewek pasti tahu," ucap Cara yang baru saja turun dari motor Raca.

"Udah, Ra. Masih ada banyak waktu dan ingat gue bakal bantuin lo."

Cara tersenyum. Maklum ia bersikap seperti itu, karena ia hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan masalah yang menyebabkan Ibunya berubah. Tapi, ucapan Raca ada benarnya juga. Tidak baik jika terlalu buru-buru. Malah takutnya, hasil akan mengecewakan. Diacaknya rambut Raca membuat cowok itu beku sekejap. "Seneng deh punya chairmate kayak lo. Selalu ada disaat gue butuh."

"Raca akan selalu ada untuk Cara. Nggak tahu kalau sebaliknya," sindir Raca sambil mengangkat kedua alisnya dengan tatapan menggoda. Cara tertawa dan menutupi wajah Raca dengan telapak tangannya, setelah itu melipat tangannya di depan dada. "Cara juga akan selalu ada untuk Raca."

3 detik selanjutnya, keduanya bergidik geli dan tertawa. Sampai-sampai Raca memukul pahanya sangking gelinya. "Geli gue. Nggak bayangin kalau orang pacaran tuh gimana?"

"Jangan dibayangin. Ntar lo bisa nangis dipojokan kamar karena nggak bisa ngerasain kegelian itu sama pacar." Raca manggut-manggut. Belum Cara bilang begitu saja ia sudah berpikir yang tidak-tidak. "Gue masuk, yah, Ka. Lo pulang, udah malam."

Cowok itu menyalakan motornya. Tersenyum pada Cara dan mencubit pipi gadis itu sebelum akhirnya melesat jauh untuk menghindari serangan balik. "Dasar! Si Acar busuk emang ngeselin."

 

~•~

 

Memasuki rumah, Cara terkejut melihat adiknya yang menangis di sofa depan televisi. Segera ia berlari dan memeluk adiknya itu. Di dalam pelukannya, Hafidz masih menangis hingga sesenggukan. "Dek, kenapa?" tanya Cara mengangkat wajah sang adik dan menghapus air mata yang turun.

Belum adiknya menjawab, suara bentakan Ibu dari kamar mengagetkan Cara. Jadi ini alasan adiknya menangis. Entah ini yang sudah keberapa kali kedua orangtuanya bertengkar. Bisa dipastikan masalahnya masih tidak jauh-jauh dari kesalahan Bapak.

Digendong adiknya untuk masuk ke kamar. Memeluk sang adik dengan eratnya. "Ibu sama Bapak kenapa, Kak?" tanya bocah 5 tahun itu di dalam pelukan Cara.

"Bapak sama Ibu lagi coba akting. Jadi Hafidz nggak perlu nangis," jawab Cara yang selalu saja membohongi adiknya. Ini juga cara Ibunya dulu untuk membuatnya dan Kak Randy percaya.

"Tapi Hafidz nggak mau dengar Ibu marah-marah ke Bapak."

"Kalau gitu, Hafidz tutup telinga pake tangan, biar nggak dengar." Adiknya itu selalu penurut dan melakukan apa yang baru saja ia ucapkan.

"Masih dengar, Kak."

"Yang rapat."

Mungkin cara itu cukup ampuh karena akhirnya Hafidz mulai berhenti menangis. Kini giliran Cara yang menetaskan air mata. Ia tidak mau keluarganya pecah. Yang Cara ingin keluarganya kembali seperti dulu. Selalu ada hal yang dilakukan bapaknya untuk mengubah suasana rumah dan juga Ibunya yang selalu membuatkan jajanan untuk disantap bersama saat menonton televisi.

Dulu, saat bapaknya ditangkap. Cara selalu berdoa agar keluarganya kembali seperti dulu. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Kedatangan sang Bapak malah membuat Ibunya berubah.

Pintu kamar Cara dibuka, sang Kakak langsung memeluk kedua adiknya. Menenangkan sang adik dan berkata jika tidak ada apa-apa. Mungkin Hafidz bisa percaya, tapi tidak dengan Cara. "Hafidz udah tidur, biar Kakak bawa ke kamar," ucap Randy mencium kening Cara lalu membopong sang adik ke kamarnya.

Kini Cara memojok pada ranjangnya. Memeluk guling dan memejamkan mata. Teriakan sebagai ungkapan protes sang Ibu terdengar hingga ke kamar.

"Aku kecewa sama kamu, Mas. Selama 6 tahun aku berdoa supaya tuduhan itu salah. Tapi nyatanya, tidak ada pun kebenaran yang muncul."

"Aku capek mas. Tiap kali pulang dari warung dan ketemu Ibu-Ibu kompleks. Mereka selalu bilang kalau suamiku adalah narapidana. Telingaku panas. Tapi aku nggak bisa ngelak karena itu emang fakta."

"Aku hidup 6 tahun tanpa suami. Untuk hidupin 2 anak aja susah, apalagi ditambah Hafidz. Kamu tahu, mas. Karena kamu, Ibu-Ibu kompleks selalu bilang kalau Hafidz anak haram."

 

~•~

 

Hari ini, Nani mengajak kedua anaknya untuk menemui sang Bapak yang sudah 3 bulan pergi meninggalkan mereka. Sejak kepergian Heri, keluarga itu berubah. Tidak pakai taxi hanya angkutan umum yang penuh sesak. "Amel seneng mau ketemu sama bapak. Nanti fotoin Amel yah, Bu. Biar Amel bisa pamer ke temen-temen Amel kalau sekarang bapak jadi polisi," kata bocah 9 tahun yang duduk dipangkuan sang Ibu. Nani hanya diam mendengar ucapan putrinya. Putrinya terlalu percaya dengan ucapan bohongnya. Entah nanti ia akan bicara apa saat putrinya itu melihat sang Bapak tidak memakai baju polisi.

Sementara anak laki-laki berumur 11 tahun yang terus menggenggam tangan Ibunya hanya diam. Diumur segitu, ia mengerti apa yang diucapkan sang Ibu 3 bulan lalu hanyalah tipuan. Namun ia tidak mau jika adiknya tahu kebenaran.

Sesampainya di penjara, anak laki-laki dan perempuan itu memeluk sang Bapak yang memakai baju bertuliskan tahanan. Nani hanya duduk dan menaruh rantang berisi makanan yang ia bawa. Heri duduk dengan memangku sang putri. Sementara anak laki-lakinya duduk di sebelah sang bapak.

"Bu, fotoin Amel sama Bapak," ucap bocah 9 tahun itu.

"Randy juga ikut, bu."

Dengan kamera hpnya, ia mengabadikan momen itu. Setelah itu menyuruh kedua anaknya untuk duduk di bangku sebelah sana. Randy sang Kakak yang paham pun mengajak adiknya menjauh.

"Aku bawain makanan buat, mas," ucap Nani mendorong rantang ke hadapan sang suami. Wajah Heri terlihat senang melihat nasi campur di depan mata. Sudah lama ia tidak memakan masakan sang istri.

"Mas, aku cuma mau bilang kalau Randy sama Amel bakalan punya adik." Ucapan Nani berhasil membuat Heri menghentikan aktivitasnya.

"Kamu hamil?"

"Iya. Satu minggu setelah kejadian itu, aku hamil."

Heri tersenyum dan mendekat pada sang Istri, memeluk, dan mencium. Dielusnya perut sang istri. "Nggak sabar lihat anak Bapak."

"Mas. Setiap malam aku selalu doa pada Tuhan biar kebenaran terungkap. Aku yakin mas nggak salah," ucap Nani yang akhirnya tak kuat menahan kesedihan.

"Kebenaran akan terungkap secepatnya. Kamu bersabar dan jaga anak-anak. Terutama anak ini," ucap Heri mengelus perut sang istri, "jadilah Ibu yang menyangi mereka. Jadilah Ibu yang selalu mereka kenal."

Heri menyuruh kedua anaknya mendekat. Dielusnya kepala sang putra, "Randy, kamu harus jadi pengganti bapak saat bapak nggak ada di rumah. Kamu nggak boleh cengeng, kamu harus jadi yang paling kuat."

"Siap, Pak," ucap Randy sambil hormat.

"Kalau Amel?"

"Jadi penjaga calon adik kamu ini," jawab Heri sambil menunjuk pada perut sang Istri.

"Siap, Pak," ucap Amel sambil hormat.

Setelah 30 menit untuk membalas rindu. Nani pun mengajak anaknya pulang. Walau sang putri terus saja memeluk bapaknya dan berkata jika bapaknya harus ikut pulang. "Amel mau bapak pulang. Nanti Amel main kuda-kudaan sama siapa?"

"Kan ada Kak Randy. Lagian Amel udah besar."

"Tapi bapak janji akan pulang, kan?" tanya Amel mengulurkan jari kelingking. Heri mengaitkan janji kelingkingnya pada jari sang putri. "Janji. Tapi bapak mau nama Amel diubah. Jadi Cara."

 

~•~

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!