Bagian 7

Sabtu siang ini, Cara telah selesai mencuci. Kini gadis itu tengah menjemur bajunya di samping rumah. Lalu, tak sengaja matanya menangkap seorang laki-laki dengan masker hitam dan jaket biru tua, keluar dari rumah kosong. Cara sedikit menunduk agar orang itu tak melihatnya. Dilihat dari wajahnya, Cara hanya bisa melihat mata dan alis tebal sama seperti milik Kak Zul.

Astaga, apa itu Kak Zul?, batin Cara.

"Kak Cara," panggil Hafidz membuat Cara menoleh. "Dipanggil sama Kak Randy."

"Iya, nanti Kakak ke sana," ucap Cara. Hafidz pun langsung berlari ke teras melanjutkan main mobil-mobilan miliknya.

"Loh, cowok itu mana?" gumam Cara saat tak melihat cowok bermasker dan berjaket. Daripada memikirkan cowok yang tak ia kenal, Cara pun masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang. Ditaruhnya ember di kamar mandi, lalu berjalan ke kamar Kakaknya.

"Ada apa, Kak?" tanya Cara setelah duduk dikasur sang Kakak.

"Masuk gak bilang-bilang," kata Randy lalu mendudukkan tubuhnya yang awalnya tengkurap. "Kamu ngasih nomer Kakak ke temen kamu itu."

"Ha? Gak kok Kak," jawab Cara dengan jujur. Memang dia tidak pernah memberikan nomer Kakaknya ke siapa pun termasuk sahabatnya, Gia.

"Lah, dia kok bisa telpon Kakak. Dapat dari mana?" Cara mengangkat kedua pundaknya tanda tidak tahu.

Randy menggerutu. Malas melihat Gia, temen adiknya itu yang kini mengirim lebih dari 15 pesan. Bukan karena tidak suka, hanya saja, dia merasa risih. "Udahlah Kak, biarin Gia deket sama Kakak. Dia suka sama Kakak sejak aku kenalin ke Kakak dulu."

"Bukannya gitu dik, risih aja," kata Randy sambil melihati layar handphonenya yang kini tengah muncul sambungan telpon dari Gia.

"Kak. Kakak masih hubungan gak sama temen SD Kakak?" Randy menoleh lalu mengangguk. Kemudian kembali menatap layar handphonenya.

"Temen SD Kakak sekalian temen aku juga. Inget gak?" Kali ini Randy tidak menoleh sebentar. Tetapi memberikan tatapan tajam kepada adiknya yang kini malah menunduk.

Cara merasa tatapan Kakaknya itu seperti menginginkan penjelasan darinya. Tidak tahu harus menjawab apa jika Kakaknya itu bertanya tanpa berhenti. "Maksud kamu, si Ijul itu?"

"Ha?"

"Kalau Ijul Kakak gak punya kontaknya."

"Oh, gitu ya?"

"Emangnya kenapa?"

"Anu...Kakak gak kangen gitu?"

"Ya kangenlah. Dulu Ijul kan temen dari kecil. Kakak temenan sama dia 11 tahun."

Cara menunduk. Raut wajahnya begitu sedih. "Aku juga kangen," ucap Cara pelan.

~·~

Gia menggigit bibir bawahnya, sambil terus membuntuti Cara. Sahabatnya itu terus saja membahas tentang dia yang mendapatkan nomer Kak Randy. "Ra, kalau jalan jangan cepet-cepet," ucap Gia. Tapi sahabatnya itu terus saja berjalan mendahuluinya. Hingga kini, ia tidak tahu Cara berjalan ke arah mana. Daripada bingung kayak orang hilang, Gia pun memilih masuk ke arena Timezone.

Sementara Cara. Gadis itu terus berjalan dan mengomeli Gia, sahabatnya yang sekarang tengah asyik bermain di Timezone. Omelan dari mulut Cara itu sepertinya tidak ada gunanya. Gia pun tidak mungkin menyimak jika mendengar pun tidak mungkin. "Lo tuh Gi, seharusnya jangan deketin Kakak gue dengan cara nelpon berkali-kali," omel Cara sambil terus berjalan, tapi tatapannya mengarah ke smartphone yang ia pegang.

"Aduh."

Panik, Cara langsung mengambil smartphonenya yang terjatuh di lantai. Lalu dielus dadanya saat kondisi smartphonenya itu masih dalam keadaan baik-baik saja. Cara membalik badannya untuk mengetahui siapa orang yang menabraknya. Awalnya ia ingin memarahi orang-orang itu. Tapi, amarahnya itu seketika hilang saat melihat wajah dengan alis tebal.

"Hp lo gapapa kan? Gue gak sengaja," kata Zul. Terlihat rasa bersalah di wajah cowok dengan alis tebal itu.

Cara menggeleng, "gapapa kok Kak."

"Bagus kalau gitu. Lo sendiri di sini?"

"Gak, aku sama Gi.." ucapan Cara terputus saat tak menemukan Gia di sekitarnya. Panik? Tidak. Untuk apa Cara panik hanya karena Gia yang hilang. Bukannya durhaka kepada sahabat, tapi, Cara bersyukur. Atas kehilangan Gia, dia bisa mengajak Kakak kelasnya itu mengelilingi mall berdua.

"Mau ikut gue gak?"

"Ke mana?"

"Kebun binatang."

"Tapi, ini udah jam 2 siang, Kak. Nanti kesorean kalau ke sana."

"Udah ikut aja, lo bakal seneng nanti."

~·~

Kening Cara berkerut saat sampai di tempat yang Zul maksud. Kakak kelasnya itu menggandengnya masuk ke dalam Kebun Bibit. "Katanya ke Kebun binatang, kok jadi ke sini?"

"Jauh kalau ke sana. Di sini juga banyak binatangnya, lo juga bisa main ayunan. Kan lo suka ayunan." Cara menghentikan langkahnya membuat Zul ikut berhenti. Ditatapnya Zul dengan tatapan tanda tanya.

"Kakak kok tahu kalau aku suka main ayunan?" tanya Cara. Padahal cuma keluarga dan Raca yang mengetahui jika ia sangat suka bermain ayunan.

"Gue asal nebak aja," jawab Zul. Kemudian menarik Cara untuk mencari ayunan. Cara pun hanya diam mengikuti Zul. Lalu saat ia melihat sebuah ayunan berwarna merah dan tidak berpenghuni. Dilepaskan tangannya dari Zul, lalu berlari sebelum ada orang yang memakai ayunan tersebut.

Zul tersenyum, mendekati Cara yang kini tengah asyik bermain ayunan. "Gue seneng."

"Kak Zul seneng kenapa? Eh, Kak, main sini Kak," kata Cara menunjuk ayunan berwarna kuning di sebelahnya yang telah kosong. Zul menggeleng dan mendorong ayunan merah yang ditempati Cara dengan pelan.

"Seneng aja lihat lo. Gue jadi inget sama seseorang."

"Seseorang? Siapa Kak?"

"Kepo."

"Yeh, Kakak sih bilang gitu. Kalau Kakak gak bilang aku juga gak bakal tanya," kata Cara ketus tapi tidak seberapa ketus. Zul tersenyum tipis. Tangannya mulai membenarkan kepangan Cara yang sedikit mulai longgar.

"Kak, karena Kakak ngepang rambut aku waktu itu. Sampai sekarang aku selalu kepang rambut aku. Btw, alasan Kakak ngepang rambut aku waktu itu, apa?"

Cara melihati Zul yang diam menatapnya. Kakak kelasnya itu belum juga mengeluarkan suara. Zul berdehem, "waktu itu kan lo masih masa orientasi siswa. Kalau rambut lo diurai, Jeki si ketua osis bakal marahin lo semarah-marahnya."

"Kak Jeki gal..."

"Gue belum selesai ngomong. Alasan kedua, waktu itu kan lo sendiri yang bilang gerah. Mumpung gue bawa gelang karet ya sekalian aja gue kepang. Gue suka lihat cewek yang rambutnya dikepang."

Cara manggut-manggut. Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Zul, membuatnya ingat seseorang di masa lalu. "Kakak sama kayak Kakak Ijul," ucap Cara pelan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

~·~

Cara menguap dengan lebar. Ditendangnya selimut polos berwarna putih yang sudah menutupi tubuhnya dari dinginnya malam. Direnggangkannya otot-otot tubuhnya sambil kembali menguap. Tangannya mulai merogoh ke bawah bantal untuk mencari handphone kesayangannya.

Dikucek matanya. Penglihatannya belum jelas karena efek baru bangun tidur. Jam dihandphonenya menunjukkan pukul 07.30. Ingin sekali Cara kembali tidur, tapi suara ketukan dipintunya membuatnya mendudukkan dirinya. "Masuk aja Bu, Pak, Kak, Dik," ucap Cara. Semua anggota keluarga ia sebut, karena mungkin orang yang mengetuk pintu kamarnya salah satu diantara mereka.

Mata Cara sedikit melotot saat melihat seorang laki-laki sepantaran dengannya masuk ke dalam kamarnya. Laki-laki dengan kaos putih polos, celana jeans hitam, dan rambut hitam yang mulai agak panjang. Juga senyum khas yang sangat Cara hapal. "Lo, masuk ke kamar gadis itu gak boleh."

"Lah, tadi siapa yang bilang 'masuk aja'?" tanya Raca sambil duduk di pinggir kasur.

"Kan gue bilang gini, 'masuk aja Bu, Pak, Kak, Dik', gue gak sebut nama lo."

"Masalahnya gue cuma denger lo bilang masuk aja."

Cara berdecik lalu kembali menguap. Raca yang melihat langsung menutup hidungnya. Pukulan dilengannya pun Raca dapatkan. "Harum tahu, gue ke kamar mandi dulu."

Setelah kepergian Cara ke kamar mandi. Raca mulai menjalajahi kamar Cara. Membaca puisi yang tertempel di dinding. Lalu melihati foto-foto Cara yang terpajang di dinding lainnya. Penglihatan Raca tertuju kepada lemari yang sedikit terbuka. Secara tidak sadar, ia mendekat, mengecek apa benar ia tidak salah lihat. Tangannya sudah memegang pintu lemari, tapi teriakan Cara membuatnya langsung menutup lemari.

"Lo mau ngapain? Gak baik, Ca, lihat baju gadis. Gak sopan."

"Ge-er lo. Gue cuma mau nutup lemari lo. Tadi kebuka soalnya."

Cara duduk di depan cermin. Lalu tangannya mulai memberikan bedak bayi diwajahnya. Raca mendekat, mengambil sisir lalu menyisir rambut Cara yang panjang dengan pelan. "Lo cuma pake bedak bayi? Setahu gue, cewek seumuran lo itu biasanya udah mulai dandan. Pake pelembab dan semacamnya."

"Buang-buang uang. Nanti kalau gue udah kaya aja, kalau gak nunggu pabrik bedak bayi tutup. Ntar gue bakal beralih ke pelembab."

"Lo gak usah nunggu kaya, gak usah nunggu pabrik bedak bayi tutup. Gini aja lo udah keliatan cantik," kata Raca masih fokus menyisir rambut Cara.

"Lo beneran muji gue kan?" tanya Cara dan Raca mengangguk, "makasih, ganteng."

"Ck, baru tahu. Ra, sekali-sekali lo coba ganti model rambut. Potong pendek trus pakai poni."

"Gak mau, gue suka dikepang."

"Gak sekarang juga, kalau lo mau aja. Gue tunggu, di depan."

~·~

"Nih, gue tahu lo haus." Raca menoleh, lalu mengambil segelas es teh pemberian Cara. Diteguknya es teh tersebut sedikit demi sedikit.

"Kemarin lo pergi ke mana?"

"Pergi sama Gia ke mall." Cara mengangkat alisnya saat melihat ekspresi Raca yang seperti tidak percaya. "Emangnya kenapa?"

"Gak, tapi lo tahu kan kalau gue gak suka sama orang yang bohong?" Cara mengangguk pelan. Dia sangat tahu sekali tentang Raca. Satu hal yang sangat tidak disukai teman sebangkunya itu adalah orang yang berbohong.

Mata Raca menyipit saat melihat seorang lelaki berada di lantai atas rumah kosong di depan rumah Cara. Sayangnya, lelaki misterius itu cepat sekali hilangnya.

"Ca, kemarin jum'at setelah lo nganter gue pulang, lo ke mana?"

"Kemarin jum'at?"

"Iya, waktu lo nge-chat gue."

"Oh, nongkrong," jawab Raca lalu meneguk kembali es teh yang tinggal sedikit.

Cara berdiri, kedua tangannya berkacak pinggang. Raut wajahnya ia buat layaknya ibu-ibu memarahi anaknya karena nakal. Raca yang melihat hanya bersikap santai. Cowok itu masih setia meminum es teh untung mendinginkan tenggorokannya. "Lo pasti nge..."

"Kalau iya, kenapa?" Cara melepas kedua tangannya dari pinggang. Berhadapan dengan Raca membuatnya naik darah. Sikap Raca yang selalu santai adalah alasannya. Saat dia serius, cowok itu bercanda. Saat dia bercanda, cowok itu juga ikut bercanda. Jadi tidak ada kata serius dikamus hidup Raca.

"Susah ya bilangin lo. Kalau sakit, gue gak mau tanggung jawab."

Raca berdiri menatap Cara dengan tajam, membuat gadis itu melangkah mundur. Panik! Cara kembali panik saat Raca mendekat. "Palingan kalau gue sakit, lo yang cemas."

"Kalau lo mau gue berhenti ngerokok, kasih gue saran, cara agar gue gak ngerokok lagi."

~·~

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!