Bagian 16

Setelah Randy menjemputnya, Cara segera membersihkan dirinya. Tak lupa, sebelum meninggalkan Hafidz ia menyuapi adik laki-lakinya itu. "Kakak ke warung, Hafidz di rumah aja. Nggak boleh keluar."

Adiknya itu selalu menurut. Cara pun segera menyusul Ibunya untuk membantu beres-beres warung. Namun, Cara terkejut saat melihat Raca sedang asyik makan sambil sesekali berbincang dengan Ibunya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab keduanya yang menoleh kepada Cara.

"Nah, ini anak gadisnya dateng," ucap Raca kepada Nani dan hanya dibalas dengan senyuman singkat. "Ibu mau beres-beres warung."

Cara menarik kursi di sebelah Raca. Lalu tanpa izin, cewek itu meminum es teh yang ada di meja. Pemiliknya tidak protes, karena itu juga gratis. Jika habis pun, Raca bisa menyuruh Cara untuk membikinkannya. "Lo kok nggak bilang kalau ke sini? Kan gue bisa nebeng."

"Lo nggak nanya sih."

"Ish."

"Sebenarnya, tiap kali nganter lo ke rumah, gue sering mampir ke sini. Nasi campur buatan Ibu lo emang top," kata cowok itu sambil mengacungkan jari jempolnya.

Benarkah? Bagaimana Cara bisa tidak tahu. Pantas saja jika Raca selalu bilang nasi campur buatan Ibunya enak. Cara pikir, karena sering diajak makan bersama jika cowok itu ke rumah. Nyatanya, Raca adalah pelanggan setia. Eh, cowok itu bayar atau minta gratisan dengan alasan temen Cara?

Nani berpamitan jika pulang duluan dan menitip untuk mencuci piring bekas Raca juga menutup warung. "Ke kafe, yuk!"

"Ngapain?" tanya Cara yang tengah sibuk menutup warung. Setelah menggemboknya, gadis itu mendekati Raca yang sudah menyalakan motor. Raca memakaikan helm pada Cara dan keduanya pun berangkat menuju kafe tempat mereka nongkrong.

Kafe Sejoli sore itu tidak seberapa ramai. Hanya ada beberapa tukang ojek online yang membelikan orderan pelanggan dan 3 pasang sejoli yang asyik berbincang dengan mesra. Cara menarik Raca untuk duduk di kursi yang mengarah ke jalan raya. Dibatasi kaca, namun masih bisa mendengar bisingnya dunia. Sebentar lagi senja akan tiba, namun sayangnya langit sedang tidak bersahabat. Seperti dirinya.

Karena kejadian di kantin tadi, mood Cara mulai berkurang. Di kelas pun dia tidak banyak bicara, hanya asyik bermain cacing dan akan berteriak jika kalah.

Pesanan mereka datang, 2 gelas espresso dan sepiring roti bakar. "Permisi, Kak. Saya hanya ingin menyampaikan promo kami. Yaitu gratis makan dan minum sepuasnya di sini jika datang antara jam 10 pagi hingga jam 1 siang dengan syarat membawa voucher ini," ucap pelayan itu sambil memberikan 1 voucher kepada Cara.

"Ini vouchernya cuma bisa buat 1 orang, mbak?"

"Maksimal 2 orang, Kak dan berlaku 1 minggu dari sekarang."

"Oh, baik. Terima kasih."

Pelayan itu tersenyum lalu pergi. Cara memberikan voucher itu kepada Raca. "Nih bawa. Lagian besok kita nggak bakal bisa ke sini jam segitu."

"Gue simpen aja buat koleksi," ucap Raca memasukkan voucher ke casing hpnya.

Keduanya diam, menikmati segelas espresso dan roti bakar yang masih hangat. Lagu Teman Bahagia milik Jazz terputar. Cara bisa dengar jika Raca menyanyikan lagu itu meskipun pelan. "Suka banget lagu itu."

Raca tertawa lalu merangkul leher Cara dari samping dan membisikkan, "lo lagi bete, yah?" tepat ditelinga gadis itu.

Segera Cara mendorong tubuh Raca agar cowok itu menjauh. Bukan karena tidak mau diperlakukan seperti itu, hanya saja bisikan Raca terdengar geli ditelinganya. "Gue nggak bete."

Cowok itu tertawa manis membuat Cara memalingkan wajah ke arah jalan. "Gue tahu banget ciri-ciri lo kalau lagi bete."

"Emang ciri-ciri gue apa?" tanya Cara lalu menyeruput espressonya.

Batuk yang dibuat-buat keluar dari mulut Raca, "ciri-cirinya yah lo bakal nggak banyak omong, muka lecek, bibir manyun, udahlah sebelas duabelas kayak kertas oret-oret."

"Kertas oret-oret?" tanya Cara yang bingung akan perumpamaan yang disebut cowok itu.

"Halah kertas oret-oret buat ulangan, kan habis dipake sama anak-anak diucel-ucel trus dibuang."

"Ucel-ucel? Haduh bahasa lo susah dimengerti, Ka."

"Yah pokoknya gitu lah."

Lalu keduanya diam. Cara hanya memandang ke arah jalan. Melihati betapa ramainya dunia akan bisingnya suara dari mana saja. Kendaraan, orang-orang yang berbincang saat bertemu di jalan, suara burung, juga suara ranting pohon yang terkena angin. Semuanya bersatu membuat gadis itu makin badmood. Di tempat yang rame seperti ini saja, Cara masih merasa sepi. Bahkan, gadis itu tidak tahu ada seseorang disebelahnya yang menatapnya penuh perhatian, yang ingin mengajaknya bercanda, juga bersedia menjadi tempat dimana air mata kemungkinan jatuh. "Kadang manusia memang gitu yah. Nggak nyadar kalau ada seseorang yang berharap dijadikan tempat untuk keluh kesah."

Gadis berambut panjang itu menolehkan kepalanya ke sumber suara, "maksud...lo?" tanyanya yang hanya dibalas dengan pundak yang terangkat. Walau Raca tidak menjelaskan, otak Cara mencerna kalimat itu dan tentu saja gadis itu tidak akan bisa paham.

"Lo berantem sama Zul?" tanya Raca setelah pasrah karena Cara kembali menatap ke arah jalan. Teman sebangkunya itu memang sulit untuk memahami sebuah kalimat. Sehingga Raca harus to the point.

Kepalanya menggeleng pelan dengan tatapan kosong. Membuat cowok yang sedari tadi melihatnya merasa ini sudah parah. Selama berteman lebih dari 6 bulan, gadis itu tidak pernah sebadmood ini. Lantas jika begini, apa yang bisa dilakukan olehnya?

"Jujur, gue nggak tahu cara biar lo nggak badmood level parah ini, Ra."

"Badmood level parah?" tanyanya yang kemudian tertawa dengan kerasnya. Bukannya senang karena Cara tertawa, Raca malah jadi bingung. "Gue nggak badmood kali," ucap gadis itu yang akhirnya sedikit mengarahkan tubuhnya ke kiri.

"Bohong banget," kata Raca sambil mencubit hidung Cara, membuat gadis itu protes dengan memukuli tangan Raca.

Hidung Cara jadi merah. Cubitan Raca benar-benar sakit. Tunggu saja pembalasannya, batin Cara. "Kelihatan banget kalau gue badmood?"

"Iyalah, bambank."

"Nama gue Cara, bukan bambank."

"Iya, iya. Ayo cerita, kenapa lo jadi gini?"

"Harus?"

Raca mengangguk. Walau sebenarnya dia tidak tahu harus memberi saran atau bereaksi seperti apa setelah mendengarkan cerita Cara. Sebab, Raca belum pernah dicurhati masalah hidup orang. Soalnya lagi sibuk bikin masalah hidup sendiri.

"Bingung mau cerita dari mana, tapi intinya ini ada hubungannya sama Kak Zul."

"Kan bener tebakan gue."

"Bisa nggak jangan nyelat kalau gue lagi ngomong?" tanya Cara sedikit meninggikan suaranya yang membuat Raca meringis. "Oke, silahkan dilanjut."

"Tadi waktu di kantin dia marah dan kelihatannya nggak suka kalau gue bahas bokap dia. Sebenarnya gue bahas bokap dia juga karena ada sesuatu yang ingin gue tahu. Gue ngerasa ada yang Kak Zul sembunyiin dari gue dan itu ada hubungannya sama bapak gue dan bokap dia. Jadi, kemarin setelah gue ngasih surat ke lo, gue udah janji sama bokapnya Kak Zul. Di sana gue tanya...."

Cara menceritakan semua yang ia curigai. Tentang bokapnya dan bokap Zul yang tidak saling sapa, Zul yang ditampar Om Budi, dan semua kecurigaan Cara akan baliknya keluarga Zul.

"Ceritain awal mula lo ketemu dia setelah 6 tahun berpisah."

 

~•~

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!