Bagian 13

"Hai."

"Hai," ucap Cara untuk kedua kalinya. Tapi yang dipanggil masih saja fokus berbincang dengan Gia. Terpaksa Cara pun memukul pundak cowok itu.

"Raca gak masuk, dia lagi sakit," ucap Haidan sebelum Cara bertanya. Setelah mengucapkan itu, Haidan kembali berbincang dengan Gia.

Cara membuang nafas. Sebenarnya Cara sedikit terkejut mendengar jika Raca sedang sakit. Tiga hari lalu setelah Raca yang datang malam-malam ke rumahnya. Raca bersikap dingin, saat Cara mengajaknya bercanda, cowok itu tidak menanggapinya. Satu kata pun tidak keluar dari mulut Raca untuk menjawab pertanyaannya yang banyak kala itu.

Lalu saat weekend pun Raca juga sama sekali tidak mengabarinya. Padahal Raca pasti menelponnya, entah itu hari Sabtu atau Minggu. Entah pagi, siang, sore, maupun malam. Pernah sekali, Cara terbangun dari tidurnya karena telpon dari Raca dan saat itu sudah jam 1 pagi. Tidak ada yang spesial dari telpon Raca. Hanya menanyakan kabar dan bercanda yang sebenarnya bisa dibilang garing.

Jujur, Cara rindu akan Raca yang seperti itu. Rindu akan Raca yang memarahinya karena tidak memberi kabar saat Raca sendiri tidak bisa menghubunginya karena suatu alasan.

"Ngelamun apaan?"

Sontak, Cara mengangkat kepalanya. Sosok bertubuh tinggi dan berbadan layaknya seorang atletit berdiri di dekatnya. "Ngapain Kakak ke sini?"

Bukannya menjawab, Zul malah berjalan pergi. Cara lega melihatnya. Tapi rasa leganya itu sirna saat ternyata, Zul hanya mencari jalan untuk bisa duduk di sebelahnya. "Pagi."

"Kenapa sekarang lo jadi gak semangat. Padahal dulu lo yang selalu nyemangatin gue," kata Zul saat tak kunjung mendapat jawaban dari Cara.

"Gue juga butuh penyemangat," ucap Cara dengan wajah juteknya. Gadis itu juga tidak tahu, kenapa dia tidak suka akan keberadaan Zul.

"Yaudah, gue ke kelas dulu. Semangat belajarnya," ucap Zul seraya berdiri dari duduknya. Diusapnya pelan puncak kepala Cara. Lalu cowok itu berjalan pergi. Dia tahu jika Cara tidak suka akan kehadirannya. Walaupun dia tidak tahu apa alasan Cara tidak suka akan kehadirannya.

~.~

Sudah puluhan kali Cara menelpon Raca. Tapi, tak kunjung diangkat. Jika seperti ini, Cara jadi merasa bersalah. Walau dia tidak tahu apa kesalahannya.

Keadaan angkot begitu sesak, membuat kepala Cara sedikit pusing. Sudah lama dia tidak naik angkot. Terakhir kali mungkin saat kelas 3 Sekolah Dasar.

Waktu itu Nani mengajaknya ke pasar. Membeli bahan untuk memasak nasi kuning. Cara masih ingat, waktu itu Nani terus menggandeng tangannya. Cara juga masih ingat saat dirinya bertanya, "ibu, kenapa genggam tangan Amel erat sekali?"

Dengan senyum manisnya dan usapan lembut di kepala Cara, Nani menjawab, "soalnya, ibu gak mau Amel hilang. Nanti gak ada yang nemenin Ibu kalau Bapak kamu keluar kota."

Mendengar jawaban itu, Cara berumur 9 tahun tersenyum, "Amel gak akan ninggalin Ibu. Amel kan sayang Ibu."

"Ibu juga sayang Amel," kata Nani dengan mencubit pelan hidung Cara.

Mengingat itu membuatnya semakin rindu akan kasih sayang Ibu. "Pak, kiri pak," ucap Cara. Angkor menepi, Cara pun turun dan memberikan selembar uang lima ribu. Setelah itu pergi, menghiraukan teriakan Pak Supir Angkot yang ingin mengasih uang kembalian.

"Ca."

Raca mendongakkan kepalanya. Setelah melihat gadis itu tersenyum manis kepadanya, ia menunduk lagi. Menatap layar handphone yang menampilkan game yang banyak digemari oleh semua kalangan.

Cara duduk di sebelah Raca. "Katanya sakit, kok gak istirahat di rumah?"

Tidak ada jawaban. Raca memang malas menjawab pertanyaan itu. Kehadiran Cara pun membuatnya tak suka. Lalu sebuah telapak tangan menyentuh keningnya. "Suhu badan lo masih panas, Ca. Mending lo pulang, gue anterin sampai rumah."

Raca melepas tangan yang masih menempel di keningnya. "Dua hari di rumah malah buat gue sakit."

"Lo ke sini juga tambah sakit, Ca."

"Gak."

"Tapi buktinya suhu badan lo masih panas."

Tanpa Cara bilang pun, Raca tahu suhu badannya memang masih panas. Kepalanya pun masih pusing. Tapi dia merasa bosan jika di rumah saja.

"Kok ngerokok sih?" tanya Cara dengan nada keras saat Raca menghisap sebatang rokok yang tinggal setengah.

"Tujuan gue ke warkop emang buat ngerokok sekaligus ngopi," jawab Raca lalu menjatuhkan putung rokok dan menginjak dengan kakinya.

"Tapi, Ca. Gue udah bilang jangan ngerokok lagi."

"Lo siapa?"

"Temen lo."

"Lo gak ada hak buat ngatur hidup gue."

Ingin rasanya Cara menangis. Ucapan Raca dari tadi sudah menandakan jika cowok itu tidak suka akan kehadirannya. Cara berdiri, "iya, emang gue gak ada hak buat ngatur hidup lo. Maaf, kalau kehadiran gue buat lo gak suka. Awalnya, niat gue cuma mau lihat kondisi lo, sekalian minta maaf kalau udah buat lo marah karena kejadian malam itu, saat kita bahas jaket. Tapi, kalau emang lo gak suka dengan kehadiran gue, gue minta maaf karena udah ganggu masa muda lo dengan asap tak berguna itu. Selamat menikmati masa muda, jangan pernah ada orang yang ngatur hidup lo. Cukup gue yang terakhir."

~.~

Menangis hanya karena masalahnya dengan Raca, membuang air matanya dengan sia-sia. Lebih baik Cara melupakannya.

"Amel." Mendengar namanya disebut, Cara mencari siapa gerangan yang memanggilnya. Cara tersenyum saat tahu jika Om Budi yang memanggilnya. Dengan langkah pelan, Cara mendekat. Mencium tangan Budi.

"Jam segini kok baru pulang?" tanya Budi saat melihat tubuh Cara yang masih terbalut seragam putih abu-abu.

"Iya, Om, pulang sekolah ke rumah temen, ada kerja kelompok."

"Kok pulang sendiri?"

"Gak ada yang bisa jemput, Om. Kakak lagi sibuk kerja. Lagian rumah temenku deket kok dari sini."

Budi manggut-manggut, "gak mau mampir?"

"Kapan-kapan aja, Om. Badan Cara capek semua."

"Yaudah, kamu istirahat. Jangan sungkan-sungkan kalau mau main ke rumah. Om masuk dulu ya," kata Budi yang akan berjalan masuk ke dalam rumahnya.

"Eh, Om, tunggu," ucap Cara. Sontak Budi menghentikan langkahnya dan berbalik badan.

"Besok Om ada waktu gak? Cara mau ngomong sesuatu."

~.~

"Kemana aja kamu, kok baru pulang?" tanya Nani kepada Cara yang hendak memasuki kamar.

Cara pun mendekat untuk mencium tangan Ibunya, lalu menarik kursi untuk ia duduki. "Maaf, Bu. Tadi Cara pergi ke rumah temen."

"Kenapa gak pulang dulu. Trus ini pulang sampai jam segini, buat Ibu khawatir aja," kata Nani sambil memotong beberapa timun.

Seutas senyum terlihat di wajah Cara. Mengetahui jika Ibunya khawatir akan dirinya itu sungguh hal yang ia inginkan. Cara berdiri dan memeluk Nani dari belakang. "Makasih udah khawatir sama Cara. Dari dulu, Cara juga tahu kok, kalau Ibu masih sayang sama Cara seperti satu tahun yang lalu. Cara sayang Ibu," ucap Cara, lalu mencium pipi kanan Nani.

Jika boleh jujur, Cara telah berhasil membuat Nani diam. Aktifitas memotong timun pun terhenti karena ciuman Nani.

"Cara ke kamar dulu. Ibu lanjutin motong timunnya," kata Cara, lalu berjalan pergi ke kamarnya.

Setelah menutup pintu kamar, Cara segera membuka lemari. Mengambil jaket yang selalu tergantung di sana. Dipandanginya jaket tersebut. Sesekali menghirup aroma khas yang tidak pernah hilang hingga detik ini. Cara tidak pernah mencuci atau memakai jaket itu. Tapi, aroma harum itu masih saja ada.

"Akan ku kembalikan jaket ini kepada pemiliknya, besok," ucap Cara pelan.

~.~

Tidak masuk 1 hari, terasa tidak masuk selama 1 minggu. Bukan kangen akan sekolah. Cuma lupa bagaimana rasanya bersekolah.

Beberapa siswa yang sedanh duduk di koridor menyapanya. Menanyakan kenapa kemarin dia tidak masuk sekolah, sehingga tidak ada saat ekskul futsal. "Gak enak badan gue, Ak."

"Orang kayak lo, ternyata bisa sakit juga ya, Rak?"

"Gini-gini gue juga manusia normal."

Akmal, teman se-ekskul Raca, tertawa pelan. "Jangan lupa, minggu besok kita udah tanding. Jadi lo harus ikut latihan tiap hari. Sudah 4 hari lo gak ikut latihan, Rak. Ya, walau gue tahu lo termasuk paling jago. Tapi, tetep aja lo juga harus latihan."

"Siap, ketua ekskul. Gue ke kelas dulu," kata Raca lalu berjalan menuju kelasnya.

Memasuki kelas, Raca langsunh diserbu pertanyaan oleh teman-temannya. Tidak banyak bicara, Raca hanya menjawab, "gue sakit." Setelah itu, cowok itu duduk di bangkunya. Sebuah jaket jeans yang sudah lama tak ia lihat kini berada di atas bangkunya.

Raca mengambil jaket itu, semerbak wangi parfum tercium di indra penciumannya. Sudah jelas itu aroma wangi khas milik Cara. Tapi, jika jaket jeans sudah ada di bangkunya, kenapa Cara tidak terlihat di kelas. Tasnya pun tidak ada.

Bel masuk berbunyi, semua temannya duduk di bangku masing-masing. Setelah berdoa dan menyanyikan lagu Indonesia Raya 3 stanza, belum terlihat juga batang hidung Cara.

"Gi, Cara mana?" Gia yang merasa namanya dipanggil menoleh. Menunjuk ke sudut belakang kelas. Raca pun mengikuti arah jari telunjuk Gia. "Itu, Cara, Rak."

Terlihat di sana, Cara yang sedang memakai sebuah hoodie  berwarna coklat muda. Gadis itu menaruh wajahnya di atas meja sambil menutup mata. Pantas saja Raca tidak melihatnya dari tadi. Tapi, ada yang aneh, kenapa Cara duduk di belakang seorang diri.

~.~

"Lo kenapa?" tanya Raca yang telah berhasil menyamai langkahnya dengan Cara. Kini Raca berdiri di depan Cara untuk menghadang jalan gadis itu.

"Marah sama gue?" Cara menggeleng, "gue mau pulang, Ca."

"Marah karena kemarin?" Untuk kedua kalinya Cara menggeleng. "Trus marah kenapa?"

"Gak marah."

"Tapi, lo ngehindar dari gue."

"Itu yang lo mau kan?"

"Gak!"

Raca memegang kedua pundak Cara, "gue gak mau pertemanan kita cuma segini aja."

"Tapi, kayaknya udah gak bisa lagi. Baca surat di dalam sini ya," kata Cara menyentuh saku di jaket jeans yang dipakai oleh Raca. Lalu, gadis itu melepas kedua tangan Raca. "Permisi, gue mau pulang."

Dengan terpaksa Raca memberi jalan, membiarkan Cara pergi. Dengan segera Raca mengambil sesuatu di saku jaketnya.

Sebuah kertas yang dilipat menjadi kecil. Penasaran, Raca pun membukanya.

 

~•~

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!