Bagian 1

Sedari tadi Raca hanya terfokus dengan handphonenya. Kebiasaan Raca jika ada jam kosong adalah bermain game. Karena kebiasaan Raca itu, gadis disampingnya merasa bosan. Cara hanya bisa diam sambil menopang dagunya. Suara bisik teman-teman sekelasnya ia anggap sebagai nyanyian untuknya. Inilah hal yang sangat dibenci oleh Cara. Hal dimana dia hanya diam.

"Ka, Raca!"

"Apaan sih, Ra?" tanya Raca tanpa mengalihkan pandangan dari handphonenya.

"Jangan main game melulu, gue bosen, dari tadi cuma diem aja."

"Yaudah, lo cerita apaan kek, gue dengerin kok."

Karena geram, Cara merebut handphone dari tangan Raca. Hal itu membuat emosi Raca muncul. "Cara, balikin gak?"

"Gak! Gue bosen didiemin gini."

"Gue juga bosen kalau denger lo cerita. Gak ada titik komanya. Sampai-sampai gue gak bisa balas pertanyaan yang lo lontarkan. Karena lo sendiri yang jawab."

"Jadi, selama ini lo..."

Cara bangkit dari tempat duduknya. Sebelum berjalan pergi, ia melempar handphone Raca. Untung saja sang pemilik dapat menangkapnya. "Buset, kalau hp gue sampai jatuh lo harus tanggung jawab."

"Bodoh," kata Cara lalu berjalan pergi meninggalkan Raca. Hatinya begitu sedih mendengar perkataan Raca barusan. Meskipun mereka baru 6 bulan berteman. Cara sudah menganggap Raca sebagai teman yang baik, selalu ada untuknya. Tapi ternyata, Raca bukan pendengar yang baik.

 

~•~

 

"Udah jangan ngambek, Ra," kata Raca tiba-tiba yang langsung merangkul leher Cara.

"Siapa yang ngambek?"

"Gue tahu lo marah sama gue, gue tuh tahu semua ekspresi lo kalau lagi ngambek, sedih, senang, betek," kata Raca lalu menyodorkan segelas jeruk hangat kepada Cara.

"Gak mau."

"Beneran?"

"Iya."

"Tapi ini kan minuman ke..."

Perkataan Raca terhenti saat Cara merebut segelas jeruk hangat itu dari tangannya. Raca hanya bisa tertawa dalam hati melihat tingkah Cara yang aneh.

Cara memang sedang marah dengan Raca. Tapi karena jeruk hangat itu, marahnya sedikit hilang. Seandainya Raca tidak tahu jika jeruk hangat adalah minuman kesukaannya, maka ia tidak akan kena malu seperti ini. Dari ujung matanya, Cara bisa melihat ekspresi Raca yang seperti sedang menertawainya.

"Gak usah pakai ketawa. Gue gak minum jeruk hangat lo ya," kata Cara sambil mengembalikan gelas plastik itu kepada Raca.

"Gak minum, tapi kok habis?"

"Bocor kali gelasnya."

Raca tertawa lalu mengacak-ngacak rambut Cara. "Maafin gue, besok-besok lagi gak bakal deh ngediemin lo dan gue bakal jadi pendengar setia lo. Dua puluh empat jam lo cerita tanpa titik sama koma pun gue bakal ngedengerin."

"Ya kali, Ka," kata Cara, "maafin gue yang sering ngambek."

 

~·~

 

Bibir itu sudah maju 3 cm. Sesekali ia menghentakkan kakinya ke tanah begitu kesal dan sedih. Kesal karena Raca yang tidak bisa menemaninya pulang dan sedih karena sinar matahati tertutupi oleh awan. Cara begitu menyukai sinar matahari. Menurutnya, itu begitu indah dan jika dia ber-selfie, maka hasilnya akan cantik. Sementara hujan, dia tidak suka dengan keadaan gelap dan bunyi petir.

Tetesan air mulai terus menyusuri hidung minimalnya, lalu turun ke bibir dan jatuh ke tanah. Cara kembali menghentak kakinya, hujan akan turun. Sementara dirinya masih berada di Sekolah. Apa mungkin Cara harus pergi ke lapangan futsal dan menyuruh Raca untuk menemaninya sampai hujan reda. Ia yakin jika Raca akan menolaknya, secara cowok akan tetap main bola walaupun hujan mengguyur tubuh mereka.

Kini Cara berlari ke arah pos satpam sebelum banyak siswa-siswi yang berteduh di sana. Hujan turun begitu derasnya, membuat beberapa siswa-siswi memilih berteduh. Kini pos satpam sudah penuh, Cara hanya bisa diam bersandar di dinding. Dipejamkan matanya, sambil terus beristighfar. Dia begitu takut jika ada petir yang begitu kencang.

"Makasih ya Mas, uang buat beli makan sore jadi bisa buat uang sekolah anak Bapak."

"Iya, Pak sama-sama."

"Emangnya siapa yang ngasih, Mas? Pacar Mas ya? Kok gak dimakan?"

"Bukan pacar, Pak. Yah, Bapak tahulah, kan banyak siswi sini yang sering ngasih saya surat, coklat, minuman, sama makanan."

"Oh, penggemar Mas. Kenapa kok gak dimakan, mubazir lo Mas."

"Kan udah dimakan Pak Dono, jadi gak mubazir."

Cara merasa perbincangan itu berasal dari dalam pos satpam. Karena ia memiliki rasa penasaran yang besar, diintipnya dari jendela. Terlihat ada Pak Dono dan di depannya ada seorang cowok. Wajahnya tampan dengan alis tebal yang sepertinya pernah Cara lihat.

"Ra, ayo pulang!"

Suara itu membuat Cara terkejut. Saat tahu jika yang mengajaknya pulang adalah Raca, wajah ceria Cara kembali muncul. Diambilnya helm dari tangan Raca. "Lihat apaan sih?"

"Gak lihat apa-apa," jawab Cara sambil menunjuk tali pengikat pada helm. Tahu maksud tunjukan Cara, Raca pun memasang tali pengikat itu.

"Gue kira lo udah pulang,"

"Gimana mau pulang, Ka. Gue kan takut kalau ada petir."

"Kenapa tadi gak nyusul ke lapangan?"

"Hujannya udah keburu turun," jawab Cara kemudian menepuk punggung Raca yang menandakan agar menjalankan motor.

Cara menggigit bibir bawahnya. Hujan kembali deras dan keadaan terlihat gelap. Ingin menyuruh Raca untuk mempercepat laju motornya, tapi dia masih sayang dengan nyawanya. "Gue gak bisa ngebut, jalannya licin, Ra!"

"Gapapa, yang penting selamat!"

Tidak lama, mereka telah sampai di depan rumah Cara. "Makasih ya, Ka. Kalau gak ada lo, gue pasti masih di pos satpam," kata Cara sambil memberikan helm kepada Raca. Cowok itu hanya tersenyum dan mengarahkan dagunya yang mengartikan agar Cara cepat masuk ke dalam rumah.

"Gue masuk, ati-ati," kata Cara kemudian berlari menuju teras rumahnya. Bukannya masuk, Cara malah duduk di teras sambil melihati sebuah rumah yang berada di depan rumahnya.

6 tahun sudah ia tidak bertemu lagi dengan anak pemilik rumah itu. Entah kenapa melihat rumah itu, mengingatkan Cara akan kenangannya dulu.

"*Jangan nangis, aku gak bakal pergi lama-lama. Nanti aku balik lagi, buat jagain kamu," kata bocah laki-laki berumur 11 tahun.

Bukannya berhenti menangis, bocah perempuan berumur 9 tahun itu malah menangis dengan kencangnya. "Amel gak boleh nangis. Nanti Kak Ijul bakal dimarahi sama Papa."

"Kak Ijul jahat. Nanti kalau Amel diganggu sama teman Kakak gimana?" tanya bocah perempuan berumur 9 tahun itu sambil terus menangis. Melihat teman kecilnya menangis, bocah laki-laki berumur 11 tahun itu menghapus air mata yang terus turun dari mata kecil itu.

"Kan ada Kak Randy yang bakal jagain Amel. Kak Ijul janji bakal kembali lagi buat jagain Amel."

"Janji?" tanya bocah perempuan berumur 9 tahun itu sambil mengangkat jari kelingking kecilnya. Dengan segera, bocah laki-laki berumur 11 tahun itu melingkarkan jari kelingkingnya di jari kecil itu. Kedua jari itu telah bersatu yang menandakan perjanjian itu harus ditepati*.

Mengingatnya membuat Cara menangis. Dia begitu merindukan teman kecilnya. Ingin sekali Cara melihat wajah teman kecilnya itu seperti apa. Tapi yang membuat Cara takut yaitu, takut jika teman kecilnya itu telah melupakannya. "Cara, kamu ngapain duduk di situ? Seragam kamu basah. Cepet mandi sana!"

Cara menoleh dan mendapati Bapaknya diambang pintu. "Bapak gak ke warung? Ibu sendirian dong."

"Ini mau nyusul," kata Heri sambil berjalan membawa payung, "kamu mandi ya, terus ajak Hafidz makan. Bapak berangkat dulu."

"Iya, Pak," kata Cara sementara Heri telah membawa payung berjalan melawan arah hujan.

Mana janjimu untuk menjagaku kembali?, batin Cara.

 

~·~

 

Terpopuler

Comments

Rikasari sarii Sarii

Rikasari sarii Sarii

sekelas nih jadinya

2021-02-07

1

Ira Rusfiandri

Ira Rusfiandri

kayak gak ada nama lain saja...
Rasanya aneh dengan nama Cara n Raca
alhasil jadi males bacanya

2020-09-29

1

R.E

R.E

suka bgt sama ceritanya seru dan bikin penasaran. btw aku juga baru menulis novel judulnya "I love you but I hate you" mampir ya gaes. terima kasih🙏

2020-09-29

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!