"Ka, menurut lo wajah gue makin hari makin bersih gak?" tanya Cara yang sedang becermin di kaca spion motor Raca.
"Sama aja kayak pertama kali gue ketemu lo, kusam," jawab Raca dan langsung mendapat pukulan dilengannya. Cowok itu tertawa lalu berjalan sambil menarik Cara agar berhenti bercermin. Cara merasa risih dengan Raca yang kini merangkul lehernya. Kelakuan teman sebangkunya itu membuat beberapa orang yang sedang asyik duduk di Taman Bungkul memelihati mereka.
Memang, tadi selepas pulang sekolah. Cara mengajak Raca untuk ke Taman Bungkul. Raca telah menolak, tapi gadis berambut kepang itu tetap memaksa. Dengan hati yang mencoba untuk ikhlas, Raca menuruti keinginan teman sebangkunya.
"Kenapa? Biarin aja mereka lihat kita, lagian kita kan gak pacaran. Mana mau gue punya pacar wajahnya kusam kayak begini." Spontan, Cara menyikut tulang rusuk Raca membuat cowok itu mengeluh kesakitan.
"Gue cuci muka sehari dua puluh kali tahu."
"Tapi wajah lo tetep aja."
"Terserah," kata Cara sambil menyingkirkan tangan Raca dari pundaknya. Setelah lolos, gadis itu berlari ke tengah taman dan duduk di sana.
Raca membatin di dalam hatinya. Teman sebangkunya itu aneh, katanya mau putih tapi malah suka panas-panasan. "Gimana mau putih kalau lo aja suka panas-panasan."
Cara tidak merespon dan terus mengambil foto dirinya. Dia begitu senang melihat wajahnya yang makin hari makin terlihat cantik dan putih. Apalagi sinar matahari membuat efek bagus di hasil selfienya. Sementara Raca hanya berdiri menunggu temannya itu selesai berselfie. Namun, tak sengaja pandangan Raca melihat sebuah foto di belakang handphone Cara. "Itu foto siapa?"
Dibaliknya handphone itu dan menampilkan sebuah foto terdiri dari 3 anak kecil. "Ini gue, Kak Randy, sama tetangga gue dulu."
"Oh, kenapa tiba-tiba lo taruh di hp lo?"
Cara tersenyum menunjukkan giginya yang putih, "kangen aja."
"Udah lama gak ketemu?" Cara hanya mengangguk kemudian menarik paksa Raca untuk pulang. Cowok itu hanya bisa menuruti keinginan Cara walaupuh masih ada satu hal yang ingin ia tanyakan.
~·~
Gia hanya bisa membatin. Semua yang dilakukan sahabatnya begitu membuatnya sedikit kesal. Walaupun begitu, sahabatnya itu selalu bisa membuatnya tertawa hingga lupa akan masalah. "Gi, ngepangnya yang bener dong."
Ditariknya rambut itu dengan pelan membuat sang pemilik mengadu kesakitan. "Lagian, lo sih. Udah dikepangin masih protes aja. Gue kuncir kuda aja ya?"
"Jangan!" jawab Cara cepat dan keras.
"Kenapa sih, lo suka dikepang dan harus pakai gelang karet ini?" tanya Gia.
"Kepo, tugas lo tuh cuma ngepang rambut gue."
"Iya, iya. Gue tahu."
Keduanya kembali terdiam. Beberapa menit lagi bel masuk akan berbunyi. Cara melirik ke arah Raca yang sedang asyik bermain game. Diamatinya wajah Raca itu dan mengingat bagaimana kerennya cowok itu saat wajahnya dibanjiri keringat.
"Ayo semuanya keluar! Pak Wahyu udah nunggu di lapangan!" teriak Ilham. Karena teriakan ketua kelas itu, semua siswa-siswi kelas X IPA-1 keluar dari kelas.
Sesampainya di lapangan. Pak Wahyu menyuruh untuk pemanasan selama 15 menit. Semuanya mengikuti dengan lancar. Setelah pemanasan, kini waktunya untuk berolahraga bebas. Para kaum adam bermain bola dan para kaum hawa memilih bermain basket. "Gi, gue bolos olahraga ya, males gue."
"Tapi, ntar lo kena hukuman Pak Wahyu."
"Masalahnya, gue lagi ada tamu dan gak bisa main basket dengan nyaman."
"Izin sana," kata Gia. Tetapi sahabatnya itu malah memilih meninggalkan lapangan tanpa izin terlebih dahulu kepada Pak Wahyu.
"Cara! Kamu mau bolos pelajaran!" teriak Pak Wahyu saat melihat muridnya itu berjalan ke arah kantin. Mendengar Pak Wahyu meneriakinya, Cara menoleh. Tidak mungkin jika Cara langsung kabur, bisa-bisa guru olahraganya itu, mengadukannya ke Pak Lukman. Dengan langkah pelan dan malu karena dilihati teman-temannya, Cara mendekat ke lapangan. Dia tersenyum kepada Pak Wahyu dan menggeleng. Kemudian duduk di tepi lapangan, melihati temannya bermain.
"Kenapa gak main basket, lo kan jagonya." Cara menoleh dan mendapati Raca kini duduk di sebelahnya. Digelengkan kepalaya, "gue lagi anu, jadi gak enak buat main basket."
"Oh, sakit perut gak?"
"Ha?"
"Bukannya kalau perempuan lagi anu, perutnya pasti sakit."
"Sedikit, mangkannya tadi gue mau ke kantin."
"Emangnya di kantin ada obatnya?" Cara mengangkat pundaknya tanda tidak tahu. Raca mengusap sebentar puncak kepala Cara. Kemudian berjalan ke arah Pak Wahyu. Cara hanya bisa diam mengamati temannya itu yang sedang berbincang dengan Pak Wahyu.
~·~
Raca mengamati wajah Cara yang sedang asyik makan bakso. Kini, wajah Cara terlihat sedikit putih dari dulu. Tentang perkataannya kemarin saat di Taman Bungkul itu hanya untuk membuat Cara kesal saja. "Ngapain lo lihat-lihat gue? Ntar naksir gue yang rugi."
"Ihh kepedean. Kenapa lo yang rugi?"
"Rugilah, wajah gue yang cantik kayak gini ditaksir sama cowok pas-pasan kayak lo."
"Sok cantik."
"Lo sok ganteng."
Raca menyentil kening Cara membuat gadis itu mengadu kesakitan. "Apaan sih lo, sakit tahu." Bukannya menjawab, Raca malah menyingkirkan sambal saat Cara ingin menambah beberapa sendok lagi. Tapi, gadis itu tetap ingin merebutnya. Menurut Cara, makan tanpa sambal itu rasanya hambar.
"Lo itu lagi anu, gue izin ke Pak Wahyu biar lo bisa makan bakso dulu. Bukannya makan sambal," kata Raca.
Cara mencibir dalam hatinya. "Iya, makasih udah izinin gue ke Pak Wahyu. Tapi sambelnya kurang dua sendok, Ka."
Raca menggeleng. Karena tidak ingin cek-cok, Cara pun memakan bakso itu kembali. Tapi, jika difikir-fikir, Raca hanya ingin menasehatinya. Cowok itu juga ada benarnya, jika ia makan sambal banyak, maka perutnya akan sakit. "Makasih, Ka."
"Buat?"
"Lo yang selalu nasehatin gue."
~·~
Pulang sekolah kali ini, Cara dijemput oleh sang Kakak. Raca sudah pulang karena ada acara keluarga, cowok itu terlihat buru-buru tadi. Sementara Gia masih setia di samping Cara. Bukan karena ingin menemani sahabatnya, tapi ingin menemui Kakak sahabatnya. "Ra, Kak Randy mana? Lama banget."
"Lo pulang sana, rumah lo kan deket." Gia meringis sambil memukul lengan Cara. Melihat tingkah sahabatnya membuat Cara tahu tujuannya. "Kakak gue udah punya pacar."
"Bohong. Kak Randy mah setia sama gue."
Cara tertawa mendengar perkataan Gia, "emang lo pernah chat atau telpon sama Kakak gue?"
"Dik, ayo pulang!"
Mendengar suara Randy, Gia langsung menghampiri cowok dengan vespa biru laut itu. "Hai, Kak Randy."
Randy hanya tersenyum tanpa membalas. Lalu tangannya menyerahkan helm. "Loh, Kakak kan mau jemput Cara. Aku jalan kaki kok, Kak."
"Buat Cara maksudnya," kata Randy membuat Gia menoleh ke belakang. Mulutnya maju saat Cara menertawainya. "Kakak gue mana mau sama lo," bisik Cara dan mendapatkan injakan di kakinya yang sebenarnya tidak sakit.
Cara tertawa lalu naik ke motor Randy. Dipakainya helm yang diserahkan oleh Randy. Sebelum motor Kakaknya melaju, Cara melambaikan tangan kepada Gia sambil menjulurkan lidahnya. Gia yang melihat itu hanya bisa membatin.
Sebuah tepukan di pundak, membuat Gia menoleh. Gadis itu mengernyit kebingungan melihat seorang cowok dengan alis tebal dan wajah tampan dibawah ketampanan Kak Randy, menurut Gia. "Siapa ya?"
Gia menyambut uluran tangan cowok itu. "Zul."
"Gia."
Zul menarik kembali tangannya. "Maaf, gue mau tanya, tadi yang naik ke motor itu namanya siapa?"
Gia melihat Zul dengan tatapan curiga. Apa maksudnya dengan menanyakan nama Cara? Apa mungkin cowok itu menyukai Cara? Atau cowok itu ingin menculik Cara?
"Namanya Cara, emang kenapa?" tanya Gia dengan nada ketus. Zul hanya menggeleng lalu berkata terima kasih dan melenggang pergi. Gia yang melihat tingkah Zul merasa ada yang aneh.
Disaat aku yakin itu kamu, ternyata fakta menghancurkan keyakinanku, batin Zul.
~·~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Rikasari sarii Sarii
gemes bgt sih Raca sama Cara
2021-02-07
1
Nanik Muhan
lanjut
2020-12-19
3
★᭄ꦿ᭄ꦿ 🅰🅻🆅🅸🅽ᶠᶜ★᭄ꦿ᭄ꦿ
maaf y thor saya masih sedikit gak paham sama ceritanya
2020-09-29
7