"Kenapa rambutnya gak dikepang?"
Cara mendengar pertanyaan itu. Tapi ia biarkan dan tetap fokus untuk membaca novel yang ia pegang. Sebenarnya ia tahu siapa yang bertanya dan untuk siapa pertanyaan itu diajukan.
"Gue tanya, kenapa gak jawab?" tanya Zul sambil merebut novel ditangan Cara. Lalu cowok itu duduk di kursi yang berada di samping Cara.
"Kakak tanya ke aku?"
"Sok gak denger."
"Bukannya gak denger, tapi, Kakak gak sebut nama aku. Jadi..."
"Banyak omong," sela Zul, "kenapa rambut lo gak dikepang?"
"Gapapa," jawab Cara sambil merebut novelnya kembali, lalu pura-pura membaca.
"Gue gak suka rambut lo diurai kayak gini?"
Cara menoleh dan memberikan tatapan tajam kepada Zul. "Emangnya Kakak siapa?"
"Aturan di Sekolah ini, rambut gak boleh diurai."
"Aku gak bawa gelang karetnya." Zul pun melihati sekitar perpustakaan. Mungkin saja ada karet untuk mengepang rambut Cara.
"Diperpus gak ada karet, Kak."
"Kata siapa?" tanya Zul. Lalu cowok itu berjalan mendekati salah satu rak buku. Bukan untuk mengambil buku, tapi untuk mengambil karet yang tergeletak di lantai dekat rak buku.
"Ini apa kalau bukan karet?" tanya Zul sambil berjalan ke arah Cara dengan karet ditangannya. Cara hanya diam dan kembali menatap novel yang ia pegang.
Raca pun mulai mengepang rambut Cara dengan rapi. Setelah selesai, cowok itu kembali duduk di sebelah Cara. "Kata Mama, tadi pagi lo bareng temen lo?"
"Iya."
"Alasan rambut lo gak dikepang apa?"
"Males ngepang aja."
"Kenapa males?"
"Kak Zul kepo banget sih," gerutu Cara sambil memposisikan duduknya menghadap Zul.
"Lo marah sama gue?" tanya Zul lagi. Pasalanya, sikap Cara tiba-tiba jutek. Seperti tidak ingin diganggu olehnya.
Cara diam. Dia tidak tahu, benarkah dia sedang marah kepada Zul. Jika benar, ia marah kenapa?
"Maaf, kemarin gue gak bisa dateng ke kantin soalnya ada rapat," kata Zul dengan wajah bersalahnya, "padahal pingin banget makan nasi campur buatan Ibu lo."
"Rapat apa?"
"Jurnalistik."
"Bukannya kelas 12 udah gak boleh ikut eskul lagi ya?"
"Iya emang. Rapat kemarin itu penyerahan jabatan senior ke junior."
Cara tersenyum tipis. "Kapan-kapan kalau janji gak boleh diingkari."
"Emang kemarin gue bilang janji bakal dateng ke kantin?"
"Anggukan kepala Kakak sudah cukup menandakan kalau Kakak berjanji." Zul tersenyum dan mengusap pelan puncak kepala Cara.
"Kak, ada satu hal yang harus kita omongin," kata Cara. Zul mengangkat satu alis tebalnya itu, menandakan Cara untuk mengatakan apa yang harua mereka bicarakan.
"Kenapa Bapak sama Om Budi gak saling sapa?"
~·~
Sore ini, Cara sedang duduk-duduk di teras. Memikirkan alasan kenapa Zul tidak mau membahas tentang Bapaknya dengan Om Budi.
"Bahas apaan sih, gak jelas banget."
"Aku bahas Bapak sama Om Budi, Kak. Kakak kenapa kayak gak suka aku bahas itu?"
"Gue gak mau aja. Buat apa bahas itu."
"Ada yang Kakak sembunyiin dari aku, ya?"
"Gak. Asal lo tahu, Papa sama Om Heri itu gak ada masalah apapun. Waktu mereka gak saling sapa itu, karena mereka lagi capek."
"Tapi, Kak..."
"Gue cabut."
Mengingat kemarahan Zul di perpustakaan membuat Cara merasa ada yang ditutupi darinya. Kedatangan Zul juga masih menjadi misteri. "Kak Zul masih sama aja kayak dulu. Suka bohong," teriak Cara lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
Sementara, di sisi lain. Zul. Cowok itu sedari tadi mengintip Cara dari jendela kamarnya yang ada di lantai 2. Ia juga mendengar teriakan Cara barusan. "Kalau gue jujur, Papa bakal marah," ucap Zul pelan. Lalu, sebuah ingatan 6 tahun lalu, saat sebuah masalah menimpa keluarga Cara, kembali Zul ingat.
"Ibu, Bapak polisi itu mau bawa bapak ke mana?" tanya seorang anak perempuan berumur 9 tahun. Ibunya tidak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh putri kecilnya. Dirangkulnya sang putri dengan sangat erat. Dia juga tidak ingin menangis padahal air mata mencoba menerobos matanya.
Sementara seorang anak laki-laki berumur 11 tahun sedang menangis sambil memukuli Polisi yang menangkap Bapaknya. "Pak Polisi, lepaskan Bapak Randy." Tapi tetap saja usahanya itu sia-sia. Kini ia hanya bisa melihat Bapaknya di dalam mobil polisi. Anak laki-laki itu memukul-mukul kaca jendela itu sambil terus memanggil, "Bapak!"
Sang Ibu langsung memeluk anak laki-lakinya itu dan membiarkan mobil polisi itu melaju meninggalkan area rumah. Sementara sang Bapak yang sedang di dalam mobil polisi, hanya bisa menatap keluarganya dengan sedih sambil mengucapkan kata maaf yang pasti tidak dapat di dengar dari luar.
"Ibu, mobil polisi itu bawa Bapak ke mana?" tanya anak perempuan yang masih melihati mobil polisi yang telah melaju kencang.
"Mobil polisi itu mau bawa Bapak ke kantor polisi," jawab sang Ibu.
"Kenapa? Bapak mau dipenjara?"
"Enggak, Bapak sekarang kerja di sana. Bapak jadi Polisi," jawab sang Ibu berbohong. Dengan polosnya, kedua anak itu mempercayai perkataan sang Ibu.
Zul yang melihat kejadian itu dari jendela juga ikut menangis. Lalu seorang yang sangat Zul kagumi memegang kedua bahunya. "Cepat tidur! Besok kita harus pindah."
"Tapi, Pa. Kenapa harus pindah? Zul kan masih mau main bareng sama Cara sama Randy," ucap Zul sambil mendongakkan kepalanya.
"Papa gak mau kamu sampai keceplosan bicara tentang hal itu."
"Kenapa, Pa? "
"Kamu masih kecil. Tidur sana!" ucap Budi dengan keras sambil mendorong tubuh Zul agar bocah itu berjalan ke kamarnya.
Zul dengan isak tangisnya pun berjalan menuju kamarnya. Tapi saat di tangga ia menoleh kepada Papanya yang sedang tertawa menatap jendela. "Hahaha, aku berhasil menyingkirkanmu, Heri."
"Maaf, Amel. Kak Ijul gak bisa jujur. Kalau Kak Ijul jujur, Papa bakal jauhin Kakak dari kamu," ucap Zul parau sambil menutup tirai jendela.
~·~
"Ngapain lo ke sini?" tanya Cara setelah mendapati sosok Raca sedang duduk di teras rumahnya.
Raca mendongak dan mendapati sosok Cara yang sepertinya baru selesai mandi. "Duduk," ucap Raca sambil menepuk tempat di sebelahnya.
"Jangan sering mandi malem-malem, Ra. Ini udah jam 9 loh," kata Raca setelah Cara duduk di sebelahnya.
"Tadi sore gue ketiduran dan baru aja bangun. Kata Bapak, Hafidz, sama Kak Randy, badan gue bau. Yaudah gue mandi," kata Cara mengatakan yang sebenarnya.
"Jangan diulangi lagi. Gue gak mau lo sakit."
"Gue juga gak mau sakit, Ca. Pertanyaan gue belum lo jawab."
Raca tersenyum lalu memberikan kantong plastik kepada Cara. "Tadi, gue habis nongkrong terus gue lewat orang jualan terang bulan, gue beliin deh."
"Kayak biasanya kan?"
Raca mengangguk, "terang bulan rasa kacang kesukaan lo."
Cara mengambil kantong plastik itu sambil senyum-senyum. "Makasih. Lo baik deh."
"Sama-sama. Oh ya, Ra. Gue mau tanya."
"Apa?"
Mengingat kejadian beberapa hari lalu saat ia melihat sebuah benda miliknya di lemari Cara. "Jaket jeans punya gue masih belum ketemu?"
Cara begitu terkejut mendengar pertanyaan itu. Tidak. Raca tidak boleh tahu. "B-belum, Ca. Gue kan udah bilang kalau jaket jeans lo itu dipakai sama Kakak gue. Terus kata Kakak gue, ketinggalan di tempat kerja. Waktu di cek, jaketnya udah gak ada."
"Kenapa Kakak lo pakai jaket gue?"
"Gak tahu. Ntar gue tanyain lagi ke Kak Randy."
Raca tidak mungkin bodoh. Dari gerak-gerak Cara, gadis itu terlihat gugup. "Gue gak suka lo bohong."
"Gak bohong, sumpah," ucap Cara sambil menunjukkan 2 jarinya, "eh. Tadi lo bilang apa?"
"Jangan kabur dari pembicaraan."
"Gak, Ca. Tadi lo bilang kalau lo habis nongkrong. Lo ngerokok lagi?"
Bosan rasanya jika Cara selalu cari alasan saat Raca membahas soal hilangnya jaket jeans. Alasan yang katanya belum di cuci, belum kering, kotor karena Hafidz, di cuci lagi, belum kering lagi, lupa taruh di mana, sampai terakhir hilang karena dipakai Kak Randy. Rasanya Cara sedang membohonginya. "Gak. Kan lo udah ngasih permen buat gue."
"Syukur deh," ucap Cara. Dilihat dari mata Raca, cowok itu seperti tidak percaya dengannya. Tunggu. Cara ingat. Apa mungkin beberapa hari itu, waktu Cara memergoki Raca sedang di depan lemari, cowok itu melihatnya? Cara berharap jika tidak.
"Gue balik dulu. Udah malem," kata Raca sambil berdiri. Cowok itu melangkah menuju motor sport abu-abunya. Memakai helm lalu naik ke atas motor. "Ra, gue gak suka temen yang sukanya bohong," kata Raca lalu menyalankan mesin motornya.
"Gue gak pernah bohong." Raca tidak merespon ucapan Cara. Dijalankan motornya keluar dari pekarangan rumah Cara.
Sebelum Raca melesat jauh, Cara berlari, berdiri di depan pagar sambil menatap kepergian Raca. "Maaf, aku tidak bisa menjadi teman yang selalu jujur."
~·~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
hesa
pas bapaknya Cara dibawa polisi kn 6 th yg lalu..la usia hafidz 5 th..trus hafidz ank siapa donk..???
2020-09-29
1