Bagian 9

Setelah makan malam, Cara mengajak Randy untuk pergi ke Mall yang tidak jauh dari kompleksnya. Tujuannya sih hanya untuk membeli novel yang sudah ia incar selama 2 minggu lebih. Novel yang berkisah tentang sahahat menjadi cinta.

"Jangan lama-lama cari novelnya. Kakak mau ke tempat kerja dulu," kata Randy saat mereka telah sampai di depan toko buku ternama di Indonesia.

"Iya, Kak. Kalau boleh tahu, Kakak ngapain ke tempat kerja Kakak?" tanya Cara penasaran. Bukan Cara namanya jika tidak bertanya hal yang membuatnya penasaran.

"Mau ambil uang gajian, sekalian lihat jadwal Kakak kerja." Jawaban Randy itu sontak membuat Cara meloncat kegirangan. Randy hanya menggeleng-geleng kepala. Ia baru ingat jika ia punya janji kepada adik perempuannya ini.

"Hmm, tapi belinya gak sekarang, hari Minggu."

"Tapi uangnya jangan Kakak habisin dulu," kata Cara yang hanya dijawab dengan anggukan kepala. Setelah Randy pergi, Cara melangkah masuk ke dalam toko buku.

Dilewatinya lorong-lorong rak buku. Melihat-lihat beberapa novel yang mungkin bisa membuatnya tertarik hanya dengan melihat cover. Tapi, sejauh ini tidak ada 1 novel yang bisa membuat Cara tertarik. Gadis berkepang itu pun memutuskan untuk mencari novel yang ia incar.

Cara menuju tempat yang dimaksud oleh pegawai toko buku. Ternyata novel yang ia incar tengah dipajang di daerah depan toko. Dibacanya sinopsis cerita tersebut.

Sahabat jadi cinta?

Mungkin gak sih?

Hanya 2 kalimat, tapi Cara begitu tertarik. Sebenarnya dia sudah baca setengah bab dari novel tersebut di *******. Tapi, setengah bab dan endingnya hanya tersedia di versi cetak. Jadi, Cara pun memutuskan untuk menabung dan membeli novel yang sangat membuatnya penasaran.

"Apa sih yang kamu lihat di handphone?"

"Foto kamu."

Perbincangan yang Cara yakini antara laki-laki dan perempuan itu berhasil membuatnya penasaran. Ia pun mendongakkan kepala dan mencari dari mana asal perbincangan itu. Ternyata perbincangan itu berasal dari 2 orang berbeda jenis kelamin yang tengah berdiri di depan toko buku, tidak jauh dari Cara berada.

Dari belakang, Cara merasa ada yang janggal. Seperti ia mengenal salah satu dari mereka. Apalagi laki-laki dengan kaos putih, celana jeans hitam, dan rambut hitam yang mulai agak panjang. 3 ciri-ciri itu sama persis dengan Raca. Temannya itu sangat suka dengan kaos putih dan celana jeans hitam. Cara juga ingat akan rambut hitam Raca yang mulai agak panjang. Tapi, benarkah? Jika benar, siapa perempuan di samping Raca?

"Dik, lama banget beli novelnya." Suara Randy berhasil mengagetkan Cara dan mengurungkan niat gadis itu untuk mengecek siapa laki-laki dan perempuan itu. Cara menoleh dan mengangkat novelnya sambil menunjuk kasir. Randy yang paham pun hanya mengangguk.

~·~

"Enak aja, aku gak cengeng, Kak," ucap Cara sambil memukuli lengan kiri Zul. Cowok itu hanya tertawa lalu menyuruh Cara untuk berhenti memukulinya.

"Sebel, gak Kak Randy, Kak Ijul, pasti bilang aku cengeng," kata Cara dengan wajah kesalnya. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. Badannya agak ia miringkan ke kiri.

"Dulu, siapa yang selalu nangis kalau gak gue kepang?" tanya Zul berhasil membuat Cara membalikkan badan, menatap Zul.

"Lagian, Kakak gak nepatin janji sih. Dulu, siapa yang janji bakal ngepang rambut aku setiap hari?" tanya Cara balik. Zul mencubit hidung pas-pasan milik gadis berkepang itu. Hal yang selalu ia lakukan saat Cara ngambek dan merengek-rengek agar ia mengepang rambut hitam itu. Tapi, itu dulu.

"Masih mau balik ke masa kecil?" Cara mengangkat alisnya, tanda meminta penjelasan yang dimaksud dari pertanyaan Raca.

"Ya, kayak dulu. Setiap pagi, lo nunggu di depan pager rumah gue. Terus kalau gue udah keluar, gue kepang rambut lo. Habis itu kita berangkat Sekolah jalan kaki. Gimana?"

Perkataan Zul membuat Cara ingat masa kecilnya dulu. Sebelum jam 6 pagi, ia sudah berada di depan pagar rumah Zul sambil membawa gelang karet. Lalu menunggu Zul selesai sarapan. Setelah Zul keluar, cowok itu mengepang rambutnya dengan rapi. Kemudian, berjalan bergandengan tangan menuju Sekolah. Dan hal yang paling lucu, saat Kak Randy mengejarnya dan Zul. Lucunya itu, Kak Randy pasti belum pakai sepatu, cuma kaos kaki, sebelah lagi.

"Tapi, Kak Randy gak satu sekolah sama kita," ucap Cara pelan, lalu menundukkan kepalanya.

Zul tahu, Cara sangat merindukan kebersamaan mereka bertiga bersama Randy. Dimana Randy yang selalu menjadi pelawak. "Kan masa kecil gak selalu terulang lagi sampai sama 100%. Anggap aja kita buat masa besar kita yang hampir sama kayak masa kecil kita. Lo mau kan?"

Cara mengangguk. Setidaknya ia bisa mengulangi masa kecilnya di masa besar meskipun tidak ada kehadiran Kak Randy.

"Ra, ikut gue!!" kata Raca yang tiba-tiba datang dan menarik tangan Cara.

Cara terkejut dan berusaha untuk melepas tarikan ditangannya. Tapi tenaga Raca lebih kuat darinya. "Ca, lepasin. Jangan tarik-tarik kayak gini. Sakit tahu," ucap Cara sambil berusaha melepas tarikan ditangannya.

Tapi, Raca tetap saja menarik tangan Cara agar gadis itu berdiri dan mengikutinya. Zul yang melihat langsung saja bertindak. Cowok itu berdiri dan dengan mudahnya melepaskan tangan Raca dari tangan Cara.

"Sama cewek itu jangan kasar-kasar."

"Kenapa? Emang lo siapanya Cara?"

"Gue temennya, lo juga sama kan?"

"Tapi, gue ada urusan penting daripada pembicaraan lo tadi."

"Seberapa penting sampai lo harus tarik-tarik tangan Cara dengan kasarnya?"

Cara segera berdiri dan melerai kedua temannya itu, sebelum pertengkaran terjadi. "Udah, Kak. Aku gapapa."

"Tapi, tadi lo bilang sakit."

"Gapapa kok, Kak. Aku pergi dulu ya," kata Cara lalu menarik tangan Raca untuk pergi menjauh setelah mendapat anggukan dari Zul.

"Loh apaan sih, Ca," kata Cara saat mereka telah sampai di taman Sekolah. Dilepaskannya tangannya dari tangan Raca.

"Gue cuma gak suka lihat lo berduaan sama siapa itu namanya," jawab Raca yang berhasil buat Cara geleng-geleng kepala.

"Kenapa? Trus kalau lo gak suka harus tarik-tarik tangan gue?"

"Maaf. Pokoknya gue gak suka lihat lo berduaan sama siapa itu, lupa gue."

"Terserah lo. Tapi, asal lo tahu, Kak Zul itu temen dari kecil gue, jadi lo gak ada hak buat ngatur deket atau gaknya gue sama Kak Zul, lo bisa paham kan?" tanya Cara lalu berjalan pergi meninggalkan Raca. Gadis itu pun tidak butuh jawaban dari Raca. Bisa jadi, mereka malah bertengkar lagi.

~·~

Raca mengacak-ngacak rambutnya. Dia tahu, Cara marah lagi karena ulahnya barusan. Sebenarnya, ia juga tidak tahu, kenapa dia merasa tidak suka melihat Cara dekat dengan Zul.

"Bodoh!"

"Siapa yang bodoh?" tanya Haidan yang tiba-tiba muncul dari belakang Raca.

"Gue."

"Kalau itu dari dulu kali, baru nyadar lo?" sindir Haidan yang berhasil mendapat pukulan pelan dikepalanya. Tapi, cowok itu hanya meringis.

"Cara kenapa? Marah lagi ya?" tanya Haidan sambil menunjuk Cara yang berjalan menjauh dari taman Sekolah dengan dagunya.

Raca hanya menggumam menandakan jika memang marah.

"Lagian, lo kenapa narik-narik Cara yang lagi PDKT sama Kak Zul yang peringkat ketampanannya jauh di atas lo?" tanya Haidan malah mendapat tatapan tajam dari Raca.

"Matanya gak usah kayak gitu, gue gak takut."

Raca memalingkan wajahnya. Benarkah jika Cara sedang PDKT dengan Kakak kelasnya itu? Lalu kenapa ada rasa tidak setuju? Sebentar, bukankah tadi Cara bilang jika mereka adalah teman masa kecil? Mungkinkah jika mereka hanya sedang bercanda, mengingat kenangan dimasa kecil?

"Kenapa diem? Dari yang gue lihat, kayaknya lo suka sama si Cara," ucap Haidan yang mendapatkan tatapan tajam kedua kalinya dari Raca.

"Sok tahu lo. Mana mungkin gue suka sama temen sendiri," kata Raca lalu memalingkan wajahnya. Tangannya ia lipat di depan dada.

"Masih temen, sahabat aja bisa saling suka." Perkataan Haidan memang benar. Tapi, ia tidak mungkin suka dengan Cara.

"Gue tuh sayang sama Cara dan gak mau dia salah pilih orang."

"Kenapa harus pilih, kalau yang di deketnya Cara aja udah yang paling tepat," ucap Haidan yang membuat Raca bingung.

"Maksud lo Kak Zul?"

"Lo emang bodoh."

"Gak mau ngaca nih orang," kata Raca lalu memiting Haidan sambil memukuli kepala cowok itu dengan pelan. Haidan yang tidak bisa melepaskan kepalanya, hanya bisa tertawa.

~·~

Cara berjalan dengan cepat. Mengingat kelakuan Raca barusan membuatnya emosi saja. Apa haknya cowok itu untuk melarangnya dekat dengan Kak Zul?

"Emang dia siapa mau ngatur deket gaknya gue sama Kak Ijul? Kakak bukan. Adik bukan. Sahabat bukan. Pacar juga bukan," omel Cara sambil terus berjalan menuju kelasnya. Tapi, saat ia melewati kamar mandi perempuan, sebuah tangan menariknya.

"Duh, ini apaan sih tarik-tarik, kayak Raca aja," kata Cara lalu melepas tangan yang telah menariknya dengan kasar. Setelah terlepas, didongakkan kepalanya.

"Kenapa..."

"Kenapa? Sakit ya, uhh kasihan," ucap Kak Puput sontak membuat kedua temannya yang selalu membuntutinya itu tertawa.

"Kakak kenapa tarik-tarik tangan aku?"

"Seharusnya gue yang tanya, kemarin kenapa lo gak balik lagi?" Cara memutar otaknya. Mengingat maksud dari perkataan Kakak kelasnya itu.

"Oh, aku inget, Kak!" teriak Cara saat ia telah mengingatnya, "kemarin, waktu aku mau balik nemuin Kakak, aku ketemu Bu Dania dan di suruh bantuin beliau di ruang guru."

"Alesan. Bilang aja kalau lo kabur."

"Ngaku lo," kata Jeni, teman Puput yang gayanya tomboy.

"Beneran, Kak. Aku anak baik-baik, jadi gak mungkin bohong," ucap Cara. Memang kemarin dia bukannya ingin melarikan diri. Tapi, ia diberikan kesempatan untuk melarikan diri. Bukannya kesempatan itu tidak boleh disia-siakan?

Kali ini, karena Puput sedang baik hati, maka ia terima saja alasan adik kelasnya itu. Tapi, dia masih memiliki urusan yang menyangkut tentang percintaannya dengan Cara.

"Tadi, kenapa Raca narik-narik lo?"

"Kakak gak perlu tahu!"

"Lo mulai berani sama gue," kata Puput lalu mengisyaratkan kedua temannya untuk mengurung tangan Cara didinding.

"Lepasin Kak!" teriak Cara sambil mencoba melepaskan kedua tangannya.

"Sekarang gue tanya lagi, kenapa tadi Raca narik-narik lo ke taman Sekolah?" tanya Puput sambil berkacak pinggang.

"Dia gak suka lihat aku deket sama Kak Zul." Sontak, Puput dan kedua temannya tertawa mendengar jawaban dari Cara.

Puput memegang kedua pipi Cara atau lebih tepatnya menekan. "Untuk apa Raca gak suka lihat lo sama Zul?"

"Mana aku tahu Kak."

"Gue tahu," kata Seli, teman Puput yang agak lemot. "Kayaknya, Raca suka sama Cara, mangkannya dia gak suka lihat Cara sama cowok lain."

"Lo berani ngomong gitu lagi? Raca itu cuma suka sama gue!" teriak Puput membuat Seli sedikit takut.

"Tapi, gue lihat diartikel kalau cowok gak suka lihat cewek deket sama cowok lain. Itu tandanya cowok itu suka sama si cewek," ucap Seli pelan, tapi masih bisa didengar oleh Puput. Hal itu membuat Puput kembali marah kepada Seli. Sehingga Seli hanya bisa diam.

"Kak, lepasin aku," ucap Cara pelan. Dia sudah tidak kuat lagi untuk menahan tangisannya.

"Pakai nangis segala. Asal lo tahu, gue gak suka lihat lo deket sama Raca. Gue bakal ngelakuin hal yang buat lo jauhin Raca, inget itu!" Setelah mengatakan itu, Puput menyuruh kedua temannya untuk melepakan Cara. Lalu, mereka bertiga pergi meninggalkan Cara yang kini terduduk dilantai kamar mandi sambil menangis.

"AMEL!!

~·~

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!