Bagian 5

"Pak," panggil Cara kepada Bapaknya yang asyik menonton sinetron. Heri menolah dan menyuruh anaknya untuk duduk di sebelahnya. Cara pun duduk di sebelah sang Bapak yang kini mengusap puncak kepalanya.

"Hari ini kerjanya gimana, Pak?" tanya Cara mendongak untuk melihat Bapaknya yang kini tersenyum. Heri hanya mengangguk yang artinya baik-baik saja.

"Pak, Cara mau tanya?"

"Apa?"

"Itu, anu Pak, rumah depan rumah kita itu udah ada yang nempati ya?"

"Gak, kan orangnya lagi di Jakarta. Kenapa?"

Cara ingin mengatakan jika tadi ia masuk ke dalam rumah itu. Dia mendengar suara air shower seperti ada orang yang sedang mandi. Tapi, dia tidak berani. Biar menjadi rahasianya saja. "Gak kenapa-kenapa. Emangnya rumah itu gak dijual? Daripada jadi rumah kosong."

"Bapak gak tahu dan gak mau tahu. Kamu tidur sana, besok kan harus Sekolah," ucap Heri sambil mencium puncak kepala putrinya. Karena Cara juga mengantuk, dia pun melangkah menuju kamarnya.

Heri memegangi kepalanya. Mendengar Cara yang membahas tentang rumah kosong di depan rumahnya membuat kepalanya pusing. Apalagi saat ia ingat, pemilik rumah itu adalah seorang yang merusak keluarganya.

~·~

Raca mengetuk-ngetuk mejanya. Dia menunggu kedatangan teman sebangkunya. Ingin bercerita atau sekedar memberikan senyuman pertamanya untuk Cara. 10 menit bel masuk akan berbunyi. Biasanya Cara sudah datang jam segini. Jika begini, Raca bisa menebak jika teman sebangkunya itu bangun kesiangan.

"Eh, Gi, lihat Cara gak?" tanya Raca kepada Gia yang baru saja datang. Gia menggeleng tanda tidak tahu, kemudian duduk dan berbicara dengan Haidan.

"Ck, anak itu mana?" tanya Raca yang hanya bisa ia dengar. Mata berlensa coklat itu masih setia melihati pintu kelas. Mungkin jika teman sebangkunya datang dia bisa langsung memberikan senyuman dan bertatapan mata.

Sementara, seorang yang ditunggu sedang nyenyak tidur. Cara masih setia memeluk guling kesayangan yang penuh dengan iler harumnya. Dia juga masih setia dengan mimpi indahnya. Bermimpi bertemu dengan oppa, Hoshi. Panggilan dari sang Ibu dan pukulan dari adiknya pun tidak bisa menggangu tidur nyenyaknya.

"Hafidz, ambilin Ibu air di gayung ya," ucap Nani. Dengan segera Hafidz mengambil seperti yang Ibunya perintahkan. Tak butuh waktu lama, kini Hafidz kembali membawa gayung berisi air.

"Ini, Bu," ucap Hafidz sambil memberikan gayung itu. Nani mengambilnya dan langsung menyiramkan ke Cara membuat gadis itu terbangun dan terbatuk-batuk.

"Hoshi oppa, tolong Cara, tenggelem nih," ucap Cara, efek dari mimpinya yang masih belum hilang. Melihat itu membuat Hafidz tertawa.

"Kamu Sekolah atau gak, udah jam setengah tujuh kurang, Ibu ini mau ke warung sama nganterin Hafidz Sekolah," kata Nani tetap dengan nada ketus seperti biasanya. Cara yang mendengar itu langsung buru-buru pergi ke kamar mandi.

"Ibu tinggal, di meja makan udah Ibu siapin bekel."

"Iya, Bu."

Setelah itu Nani dan Hafidz pun pergi meninggalkan Cara yang sedang mandi dengan kilat. Hanya dengan waktu 15 menit Cara sudah siap dengan seragam olahraganya. "Aduh, olahraga lagi."

Dengan gerak cepat, Cara mengambil bekel yang telah disiapkan oleh Ibunya. Lalu berlari keluar rumah dan memakai sepatu dengan cepat. Awalnya Cara ingin berlari agar cepat sampai di Sekolah. Tapi, tak sengaja ia melihat Kakak kelas yang bernama Zul berada di depan rumah kosong dan sepertinya akan berangkat sekolah. Tak ambil fikir lama, Cara langsung saja naik ke motor itu tanpa izin.

"Ayo Kak, kita udah telat nih," kata Cara sambil memukul punggung Zul.

Zul kebingungan dan merasa takut. Tapi, melihat Cara yang seperti buru-buru sekali karena takut dihukum. Dijalankan motornya dengan cepat menuju sekolah.

~·~

Masih 6 putaran, tapi, Cara sudah lelah. Keringat sudah membasahi wajahnya. Larinya pun sudah mulai pelan hingga tak bisa menyeimbangi lari Zul. Tidak ingin untuk mengimbangi, Cara hanya ingin istirahat sebentar lalu lanjut untuk lari.

"Kenapa berhenti?" tanya Zul yang telah menyelesaikan putaran yang ke-7.

"Capek, Kak," jawab Cara sambil memegangi lututnya. Zul yang tidak tega melihat adik kelasnya itu pun menyuruh Cara untuk duduk dan ia yang akan menggantikan.

"Berarti, Kakak lari 5 kali, lagi dong?" tanya Cara dan Zul mengangguk.

"Duduk sana!" Cara pun berjalan menuju tepi lapangan dan duduk di sana. Sementara Zul kembali berlari.

5 putaran itu hanya masalah kecil. Dengan kakinya yang panjang, maka akan cepat untuk menyelesaikan larinya. Dalam waktu kurang dari 5 menit saja ia sudah bisa menyelesaikan larinya. Bukan karena lapangannya yang kecil, tapi memang, Zul bisa dikatakan jago dalam hal lari.

"Sudah, Kak?" tanya Cara saat Zul duduk d sebelahnya. Zul hanya tersenyum menandakan sudah.

"Cepet banget," kata Cara pelan, "ke kantin yuk, Kak."

"Gak, gue kan gak olahraga, lo aja. Lagian, bentar lagi udah istirahat," kata Zul berdiri sambil menggendong tasnya.

"Yaudah, nanti Kakak gak usah ke kantin. Biar aku yang ke kelas Kakak bawain makan sama minum," ucap Cara yang hanya dibalas dengan gelengan kepala.

Zul mengacak-ngacak pelan rambut Cara, "gue duluan ya, cepetan makan. Kalau lo sakit, gue yang repot."

Gadis berkepang itu hanya bisa diam melihati Zul yang telah berjalan pergi. Rasanya begitu aneh, saat Zul berperilaku lembut kepadanya. Seperti, pernah merasakan perilaku lembut itu sebelumnya.

"Ra." Cara menoleh mendengar namanya dipanggil. Ternyata Raca, cowok tengah berdiri di belakangnya, sambil membawa 1 botol air mineral dan sebungkus nasi campur.

"Gue tahu lo belum makan dan lari 6 putaran itu melelahkan," kata Raca sambil menaruh air mineral dan nasi campur di depan Cara.

"Makasih, lo gak laper?" tanya Cara sambil membuka bungkus nasi itu.

"Udah tadi, makan aja. Lo gak usah mikir buat bayar, itu gratis buat lo," Cara pun mulai memakan nasi campur itu. Perutnya memang telah berbunyi semenjak dia minta tumpangan ke Zul.

"Tumben telat, lo kan anak teladan."

"Kesiangan gara-gara mimpi sama oppa Hoshi."

"Mending mimpiin gue. Ketampanan gue tuh jauh dari oppa-oppa."

"Jauh dibawah."

"Enak aja."

Setelah itu belum ada lagi percakapan diantara mereka. Cara fokus memakan nasi campur agar perutnya tidak lagi berbunyi meminta jatah makanan. Sementara, Raca tengah fokus melihat pemandangan. Pemandangan seorang gadis cantik.

"Ca, gue ganti seragam dulu ya," ucap Cara sambil bangkit dari duduknya.

"Udah selesai makannya?" tanya Raca dan hanya mendapat anggukan. "Yaudah, gue mau balik ke kantin, cari Haidan."

Cara hanya tersenyum lalu berjalan ke arah kamar mandi. Tak butuh waktu lama seragam olahraga kini menjadi seragam batik. Sebelum bel istirahat berbunyi, Cara pun pergi melesat ke kantin untuk membeli air mineral.

"Pak, air mineralnya satu," kata Cara sambil menyerahkan selembar uang 2000 kepada Pak Jamal.

"Loh, bukannya udah gue beliin minum tadi?" Cara menoleh dan mendapati Raca yang berdiri dan masih menggunakan seragam olahraga. Ingin menjawab jika air mineral itu bukan untuknya, tapi, dia tidak mau Raca menanyakan yang macam-macam.

"Gak usah dijawab, gue tahu," kata Raca saat tak kunjung mendapat jawaban dari mulut Cara. Tapi tak masalah, ia tahu air mineral itu untuk siapa. Tanpa pamit, Raca berjalan kembali ke tempat duduknya, bergabung dengan Haidan dan kawan-kawan sekelasnya.

"Mbak ini," ucap Pak Jamal memberikan sebotol air mineral. Cara mengambilnya lalu pergi setelah mengatakan terima kasih.

Tangga sedang ramai dengan siswa-siswi kelas XI dan XII yang akan turun untuk pergi ke kantin atau bermain di lapangan. Cara menunggu agar ia mendapat kesempatan untuk naik ke atas. Tapi, Kakak-kakak kelasnya sama sekali tidak memberikannya sela untuk bisa menaiki tangga.

Lalu, untungnya ada satu Kakak kelasnya yang juga akan naik ke atas. Dengan begitu, Cara bisa dengan mudah sampai di lantai 3. Kehadiran Cara di lantai 3 membuatnya ditatap oleh banyak pasang mata. Sesekali ada yang menggodanya. Cara menghiraukannya, dia hanya menyapa dan membalas yang ia kenal saja.

Kini Cara telah berada di depan kelas XII IPA-3. Diintipnya dari pintu dan seketika tatapannya bertemu dengan tatapan Zul. Dengan santai, Cara masuk. Untung saja kelas sedang sepi, sehingga hanya ada sekitar 5 Kakak kelas yang melihatinya.

"Ini Kak."

Zul menggeser kotak bekel dan air mineral. Dia tidak meminta itu dan tidak menginginkan itu. "Gue kan udah bilang kalau gak usah."

"Tadi, Kakak gak bilang. Kakak cuma geleng kepala."

"Ya lo harusnya paham dari gelengan kepala itu."

"Aku kira Kakak geleng kepala, gara-gara ada serangga diwajah Kakak," kata Cara benar-benar tidak tahu jika Zul menolak dari awal. "Makan aja, Kak."

Tidak tega karena Cara sudah berbaik hati kepadanya. Zul pun mengambil kotak bekel itu dan membukanya. "Lah, lo udah makan?"

Mendapat jawab anggukan kepala Cara, Zul pun mulai memakan nasi campur yang kelihatannya enak. "Habisin Kak, aku balik ke kelas dulu."

Zul masih diam melihati Cara yang berjalan pergi keluar dari kelasnya. Senyum tipis terukir diwajahnya. "Makasih, Amel."

~·~

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!