Sudah 15 kali Raca menelpon Cara, tapi tidak diangkat juga. Padahal Raca yakin temannya itu sedang memegang handphone. Ia tahu jika alasan Cara tidak mengangkat teleponnya karena masih marah. Mengingatnya membuat Raca merasa bersalah. Baru kali ini Cara marah kepadanya. Biasanya gadis itu hanya ngambek sebentar lalu dengan jeruk hangat, gadis itu kembali seperti semula. Sepertinya, kesalahannya sekarang sangat besar.
"Halo." Raca tersadar dari lamunannya. Benarkah jika Cara mengangkat sambungan teleponnya?
"Kalau gak niat gak usah telpon, buang waktu," ucap Cara saat tidak kunjung mendapat jawaban dari Raca.
"Eh, jangan Ra. Gue mau ngomong."
"Cepetan, gue gak punya banyak waktu," ucap Cara ketus. Lalu memundurkan tubuhnya agar bisa bersandar di kepala ranjang.
"Lo masih marah ya? Gue minta maaf, Ra. Sumpah, gue gak bermaksud buat lo marah. Gue cuma kepikiran, mungkin dengan lo cerita ke gue, beban lo sedikit berkurang," kata Raca dengan nada yang pelan.
"Tapi, dengan gue cerita ke lo malah buat gue malu. Lo gak tahu gimana besarnya masalah yang gue alami."
"Mana mungkin gue bisa tahu kalau lo aja gak mau cerita ke gue. Mungkin dengan lo cerita, gue bisa ngasih saran ke lo. Tapi, kalau lo gak mau cerita juga gapapa, itu hak lo. Gue gak punya hak apa-apa," kata Raca sambil menundukkan kepalanya, "gue minta maaf."
Cara terdiam sebentar. Sebenarnya ia juga tidak tahu kenapa ia marah kepada Raca. Seharusnya ia tidak bersikap seperti ini. "Ca, gue gak tahu kenapa tadi gue bisa marah sama lo. Setelah gue fikir-fikir, gak seharusnya gue marah ke lo yang punya niatan baik."
"Gapapa, gue tahu kok perasaan lo. Sekarang kita baikkan ya. Jangan marah lagi."
Seketika senyum terukir diwajah Cara, "makasih, Ca."
~•~
Cara menopang dagunya sambil melihati kursi yang masih kosong itu. Biasanya, Bapaknya adalah orang pertama yang hadir di setiap makan bersama. Tapi kali ini, Bapaknya belum kelihatan juga. Tidak mungkin jika Bapaknya sedang tidur. Sepertinya Bapaknya sedang mandi.
"Cara, nasinya dimakan!" Cara menoleh kepada Ibunya lalu melanjutkan memakan sarapannya.
"Bapak!!" teriak Hafidz saat melihat Heri yang berjalan ke arah meja makan. Cara dan Randy ikut menoleh. Terlihat Bapaknya yang kini telah duduk manis dikursi.
Randy dan Cara sedikit bingung saat melihat penampilan Heri. Kemeja biru muda dengan celana panjang formal layaknya orang kantoran. Terakhir kali mereka melihat Bapaknya mengenakan pakaian seperti itu saat Cara berulang tahun yang ke-9.
"Bapak mau ke mana, kok pakai baju kayak gitu?" tanya Cara.
Sebelum menjawab pertanyaan dari putrinya. Heri tersenyum kepada sang istri. Nani yang melihat, tahu maksud dari senyuman suaminya itu. Ia pun mengambilkan nasi dan lauk ke piring Heri. "Makasih," ucap Heri pelan. Lalu beralih kepada Cara. "Mulai hari ini Bapak kerja."
Seketika Cara dan Randy tersenyum ceria. Hafidz yang masih polos itu pun juga ikut ceria. "Bapak jadi polisi lagi ya?"
"Gak, Hafidz. Kak Cara kan pernah bilang kalau Bapak sudah gak jadi polisi lagi," ucap Cara dan Hafidz hanya mengangguk lalu melanjutkan makannya.
"Bapak kerja apa?" tanya Randy
"Kalian gak perlu tahu, yang penting sekarang Bapak bisa kerja lagi."
Nani yang dari tadi diam mulai mengeluarkan suaranya, "emang ada yang nerima kamu kerja? Jangan-jangan kamu pura-pura."
"Ibu, jangan bilang gitu. Bapak udah berubah, Bu. Seharusnya Ibu dukung Bapak, yang dulu itu lupain aja," kata Randy dan Cara hanya manggut-manggut.
Nani hanya diam. Heri yang melihat hanya bisa tersenyum. Dia begitu menyayangi keluarganya. Dia berjanji akan membuat keluarganya utuh kembali. "Cara, kamu berangkat sama Kakak kamu ya, seperti biasanya. Bapak mau pakai motor matic-nya. Bapak berangkat dulu, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab Nani, Randy, Cara, dan Hafidz.
Sebelum Heri pergi, Cara dan Hafidz mencium tangan Bapaknya. Sementara Randy ikut keluar karena sarapannya telah selesai. Kini tinggalah Cara, Hafidz, dan Nani. Cara tersenyum saat melihat Ibunya dengan cepat membawa piring-piring ke wastafel dan mencucinya.
Cara pun mendekati sang Ibu. "Mau Cara bantu, Bu?"
"Gak perlu, kamu cepat berangkat, nanti telat," jawab Nani sambil tetapa mencuci piring.
"Cara berangkat, Asslamualaikum," ucap Cara lalu mencium pipi sang Ibu.
~·~
"Eh, ada yang senyum-senyum sendiri nih. Padahal kemarin kayak cewek kena PMS, mukanya nekuk terus," kata Haidan saat melihat Cara yang memasuki kelas dengan senyum-senyum sendiri. Perkataan Haidan itu sukses membuat seisi kelas tertawa. Cara yang tahu perkataan itu menyindir dirinya pun angkat bicara.
"Kalau ada temennya yang lagi seneng itu harusnya juga ikut seneng. Bukan malah disindir kek gini," ucap Cara saat telah duduk dibangkunya.
Haidan membalikkan badannya, sambil cengingisan seperti biasanya. "Lo aja gak mau bagi-bagi kesenengan lo ke kita."
"Gue harus berbagi apa, kesenangan gue gak bisa buat dibagi-bagi," ucap Cara ketus.
"Kan hari ini lo senyum-senyum sendiri gara-gara ayam lo habis bertelur kan? Nah lo bagi tuh telur-telur itu ke kita. Lumayan bisa buat makan, kan anak sini udah lama gak makan telur. Makannya cuma nasi sama garem aja," kata Haidan malah mendapat sorakan tidak setuju dari siswa-siswi lain. Bukannya marah, Haidan malah cengingisan.
"Itu mah mau lo aja. Kan lo yang udah lama gak makan telur. Makannya cuma nasi sama micin doang," ucap Cara yang disambut tawaan dari teman-temannya.
"Yehh, gue mah anak holang kaya. Tiap hari makan ayam..."
"Ayam tiren," celetuk Raca yang sontak membuat semua tertawa kecuali Haidan yang kini mendengkus kesal.
Karena perkataan Raca itu, Gia sampai tidak bisa berhenti tertawa. "Makannya gue lihat wajah si Haidan jadi bosen sendiri. Masak tiap hari wajahnya gak berubah. Atau mungkin itu efek makan ayam tiren tiap hari ya?"
Kini Haidan lah yang menjadi pusat candaan. Padahal diawal, Cara yang menjadi sasaran. Raca yang melihat wajah teman sohibnya itu kesal pun menyuruh teman-temannya untuk berhenti tertawa dan kembali ke aktivitas masing-masing.
Setelah itu Raca menghadap ke Cara yang duduk di samping kanannya. Melihat Cara tertawa membuat Raca senang. "Seneng gue kalau lihat lo ketawa."
Cara berhenti tertawa dan menoleh. Dia tidak tahu harus berkata apa, jadi ia hanya bisa tersenyum. "Kalau boleh tahu, kenapa lo senyum-senyum sendiri?"
"Masalahnya mulai sedikit hilang."
"Berapa persen emang?"
"Masih 5 persen sih."
"Lebih baik daripada gak sama sekali."
Cara tersenyum sambil manggut-manggut. Karena pertengkarannya kemarin dengan Raca, sekarang Cara jadi canggung. Dia tidak tahu harus berkata apa untuk membuat lelucon seperti biasanya.
Sementara Raca, ia tahu akan kecanggungan Cara. Mungkin efek pertengkaran kemarin. "Emang bener tadi pagi ayam lo bertelur?"
"Ha?" Cara menoleh kepada Raca. Tidak biasanya Raca membahas soal ayam peliharan Bapaknya.
"Gue cuma gak mau kita gak ada hal yang dibahas. Jadi, lo gak usah canggung. Lupain soal kemarin, anggap aja itu cuma pertengkaran kecil kita kayak biasanya."
Ingin rasanya Cara berteriak. Ternyata Raca, teman dekatnya itu tahu akan kecanggungannya. Raca memang the best lah.
~·~
"Bapak lo mana, Ra?" tanya Raca saat tak melihat Heri di teras rumah.
"Kerja."
"Oh, sejak kapan?"
"Tadi pagi."
"Oh, yaudah gue pergi dulu."
"Makasih, Ca. Ati-ati di jalan dan jangan nongkrong lagi," kata Cara tapi Raca telah melesat jauh.
Saat Cara akan membuka pagar rumahnya, entah kenapa ia jadi kangen akan sesuatu. Lalu, dipandanginya rumah sederhana yang terlihat kotor itu. Rumput yang sudah mulai panjang. Sarang laba-laba yang mulai terlihat banyak. Melihat rumah itu membuat Cara rindu akan kehadiran seseorang.
Karena kerinduannya itu, ia pun mendekat. Membuka pagar kayu yang mulai rapuh. Memegang pagar kayu itu mengingatkan dirinya saat terakhir kali melihat teman kecilnya. Kini, sepatu Cara menginjak rumput-rumput yang mulai panjang. Lalu saat dirinya sudah tepat di depan pintu. Diintipnya dalam rumah dari kaca jendela. Tapi sayang, Cara tidak bisa melihat apa-apa karena ketutupan tirai.
Dibukanya pintu rumah itu dan ternyata tidak dikunci. Cara pun masuk dan terkejut akan kondisi rumah yang terlihat bersih. Tidak ada debu, sarang laba-laba, apalagi tikus yang menghuni rumah kosong ini. Lampu rumah ini pun menyala. Cara pun berteriak, "halo, apa ada orang di sini?"
Tidak ada yang menjawab. Cara pun melangkah lebih dalam dan berhenti saat melihat beberapa foto yang sangat ia kenali. Foto saat dirinya, Kak Randy, dan teman masa kecilnya sedang memakan es krim. Foto saat dirinya sedang menangis dan teman kecilnya yang memeluknya agar berhenti menangis. Lalu foto saat dirinya tidur ditengah-tengah Kak Randy dan teman masa kecilnya itu. Sepertinya foto terakhir itu saat dirinya masih berumur 5 tahun.
Tidak ingin menangis karena melihat kenangan-kenangan itu. Cara pun masuk lebih dalam lagi. Entah kenapa sekarang dirinya ingin sekali melihat kamar yang sudah lama tak ia masuki. Kini, diinjaknya anak tangga satu per satu. Saat sampai di lantai 2, Cara melihat sekitar dan sepertinya tidak ada siapa-siapa. Lalu Cara melangkah menuju pintu kamar dengan tulisan I itu. Saat Cara akan membuka kamar itu, ia mendengar suara percikan air. Sepertinya suara shower. Tapi yang membuatnya aneh, siapa gerangan yang sedang mandi?
Mungkinkah ada seseorang masuk dan menjadi penghuni rumah kosong ini? Jika benar, Cara jadi takut. Bagaimana jika seseorang itu adalah penjahat. Dengan segera, Cara berlari menuruni tangga dan keluar dari rumah kosong itu.
Lalu, di sisi lain, sebuah kepala keluar. Matanya melihati seisi kamar, memastikan apakah ada orang yang memasuki kamarnya? Karena barusan ia mendengar suara langkah kaki.
~·~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Suci Ciaty
Si Zul tmn masa kecil ny Cara yg mandi tuh yaa
2020-09-29
2
★᭄ꦿ᭄ꦿ 🅰🅻🆅🅸🅽ᶠᶜ★᭄ꦿ᭄ꦿ
semangat thor setelah dibaca berulang ulang akhirnya paham
2020-09-29
3