Kaki itu melangkah pelan menuju kantin. Tangannya membawa kotak bekel yang akan ia berikan kepada Zul. Dulu, Zul selalu memakan bekel Cara. Sementara Cara selalu memakan bekel Zul.
Cara duduk di bangku kantin paling pojok. Kepalanya ia sandarkan di tembok, sambil melihat ke arah pintu masuk kantin.
Sudah cukup lama, Cara menunggu. Tapi, yang ditunggu masih belum datang juga.
"Cari siapa sih?" tanya Raca mengejutkan Cara.
"Kak Zul."
"Ngapain sih nungguin dia?"
"Terserah gue dong."
"Nih bekel gue makan ya," kata Raca mengambil kotak bekel Cara.
Dengan cepat, Cara merebut kotak bekelnya itu. "Nih bekel bukan buat lo."
Raca memutar bola matanya jengah. "Si alis tebel gak bakal dateng ke sini."
"Dari mana lo tahu?"
"Raca serba tahu, mendingan tuh bekel buat gue, ya?" Dilihatnya pintu masuk kantin, tapi sosok Zul tidak terlihat juga. Cara beralih melihat kotak bekelnya. Lalu menatap Raca.
"Boleh kan, Cara cantik?" Cara tersenyum kecut, lalu memberikan kotak bekel itu kepada Raca.
"Kalau gak ikhlas, mending gak usah," kata Raca sambil memundurkan kotak bekel itu.
"Gue ikhlas," ucap Cara sambil menyerahkan lagi kotak bekelnya kepada Raca dengan senyuman.
Raca pun mengambil kotak bekel itu dan segera memakannya. Nasi campur buatan Ibu Cara memang the best. Sudah lama ia tidak makan nasi campur buatan Ibu Cara.
Cara menaikkan alisnya saat Raca menyodorkan sesendok nasi campur kepadanya. "Gue tahu, lo belum makan. Nih, gue suapin."
Mendengar perutnya bunyi. Cara pun membuka mulutnya. Dia memang belum makan sejak pagi tadi.
"Mukanya gak usah cemberut. Kan udah gue suapin. Lebih enak gue suapin daripada sama si alis tebel," kata Raca saat melihat Cara yang cemberut.
"Gue gak cemberut," ucap Cara bohong. Dia memang masih sedih akan Zul yang tidak datang ke kantin.
Raca menutup kotak bekel itu. Lalu duduk menghadap Cara yang masih mengunyah nasi. "Ada kalanya gue mati-matian untuk berjuang. Tapi, kalau orang yang gue perjuangin gak pernah peka, lantas buat apa gue masih bertahan demi dia?"
~·~
"Gi, lo mau nginep di sini kan?" tanya Cara setelah turun dari motor Gia.
"Tapi gue gak bawa baju ganti," jawab Gia sambil melepas helmnya.
"Baju lo banyak yang ketinggalan di sini. Lagian, besok kan masih pakai seragam ini. Kalau masalah buku, biar gue pesenin tukang gojek."
Gia mengangguk dan turun dari motornya. Lalu mengikuti langkah Cara.
"Hai Kak Randy, mau kerja ya?" tanya Gia saat melihay Randy keluar dari rumah. Randy mengangguk, lalu berpamitan dengan Cara dan Gia untuk berangkat kerja.
"Lo habis kesambet petir ya, tumben gue disuruh nginep di sini?" tanya Gia setelah sampai di kamar Cara.
Cara menutup pintu kamarnya. Lalu berjalan dan duduk di sebelah Gia. "Mau curhat."
"Curhat apaan?"
"Nanti dulu."
"Sekarang aja."
"Makan dulu aja, Gi."
"Lo mau curhat, lebih baik pilih Raca atau Kak Zul, iya kan?"
Cara menggeleng, "gak ada sangkut pautnya dengan Kak Zul."
"Yaudah, ayo curhat."
"Jadi gini, tadi waktu gue di kantin sama Raca. Dia bilang kayak gini, ada kalanya gue mati-matian untuk berjuang. Tapi, kalau orang yang gue perjuangin gak pernah peka, lantas buat apa gue masih bertahan demi dia?" ucap Cara berhenti sejenak untuk mengambil napas, "maksudnya apa ya?"
Gia tertawa terbahak-bahak hingga hampir terjatuh ke belakang. Untung saja Cara langsung menarik tangannya. "Apaan sih, gak lucu tahu!"
"Ini tuh lucu pakek banget, Ra," ucap Gia yang masih diakhiri dengan tawanya.
Cara mengerucutkan bibirnya, lalu membaringkan badannya. Tawa Gia masih saja belum berakhir. Gadis itu masih setia tertawa cekikikan. "Masa gitu lo gak tahu, Ra?"
"Dari pengetahuan gue seputar perkataan cowok kepada cewek..."
"Sok pintar," sela Cara sambil melempar bantal kepada Gia.
"Aduh gak sopan nih anak," kata Gia yang berhasil menangkap bantal hasil lemparan Cara.
"Sekarang gue tanya, hal spesial apa yang pernah Raca lakuin ke lo?"
Cara memutar otaknya. Terlalu banyak hal hal yang pernah Raka lakukan untuknya. Tapi, untuk yang spesial. Dia tidak tahu, yang mana.
"Raca pernah ngasih lo coklat?" tanya Gia dan Cara menggeleng. Sejauh mereka berteman dekat, Raca tidak pernah memberinya coklat.
"Dia pernah ngasih lo bunga?" tanya Gia dan Cara menggeleng. Jika pernah, untuk apa Raca memberinya bunga.
"Lo pernah dinyanyikan lagu sama dia?" tanya Gia dan Cara mengangguk. Raca sering menyanyikan lagu Teman Bahagia milik Jazz saat ia sedang sedang badmood.
"Raca sering nyanyiin gue lagu Teman Bahagia kalau gue lagi badmood." Gia diam sebentar. Pasalnya, dia tidak tahu lagu Teman Bahagia.
"Cari di google, Gi. Udah, yuk makan," kata Cara sambil bangkit dan berjalan keluar.
"Raca itu suka sama lo."
~·~
Makan malam kali ini bertambah penghuni. Gia. Gadis itu makan, tapi fokus melihati Randy. Cara yang tahu hanya geleng-geleng kepala.
"Gia, udah bilang ke Mama kamu kalau nginep di sini?" tanya Heri.
"Sudah Om. Tadi sore, Mama juga suruh tukang ojek buat bawain buku pelajaran buat besok," jawab Gia. Heri tersenyum, lalu berpamitan untuk pergi ke kamar.
Setelah itu, Randy juga berpamitan ke kamar. "Cara, ajak Gia ke kamar. Besok kalian masih sekolah, jangan tidur malam-malam," ucap Nani sambil membersihkan piring-piring yang kotor.
Cara dan Gia pun bergegas untuk pergi ke kamar. "Gi, gue mau ngasih tahu," ucap Cara sambil menutup pintu kamarnya. Lalu berjalan pergi menyusul Gia yang sudah berbaring di kasurnya.
"Apa?" tanya Gia. Badannya ia miringkan ke kiri dan tangan kirinya menopang wajahnya.
Cara pun juga memiringkan badannya ke kanan. Tapi kedua tangannya ia gunakan sebagai bantal. "Lo tahu rumah kosong depan rumah gue?" tanya Cara dan Gia mengangguk, "itu rumahnya Kak Zul."
"Beneran? Kok lo tahu?" tanya Gia sedikit terkejut.
"Sebenarnya, gue udah tahu dari lama. Dari kecil malahan. Cuma gue gak tahu kalau Kak Zul itu temen gue waktu kecil," jawab Cara dan Gia manggut-manggut.
"Jadi, lo udah temenan sama Kak Zul dari kecil?" tanya Gia dan Cara mengangguk, "kok gak tahu kalau Kak Zul itu temen kecil lo?"
"6 tahun gue sama Kak Zul gak ketemu," jawab Cara, "tapi, semenjak gue tahu Kak Zul itu temen kecil gue, kayak ada yang aneh."
"Aneh apanya?"
"Masa dia bilang kalau dia gak tahu kalau gue itu Cara, temen kecilnya. Sementara wajah gue gak berubah dari kecil. Trus, waktu kenalan gue juga bilang kalau nama gue Caramel. Masa dia gak kenal sama gue," jawab Cara.
"Kali aja dia lupa sama wajah lo waktu kecil."
"Gak mungkin, Gi. Dia masih nyimpen foto gue waktu kecil," kata Cara, "trus anehnya, dia bilang kalau dia udah tinggal di rumahnya sejak tahun baru. Tapi, kenapa dia gak pernah datang ke rumah gue."
"Sibuk kali."
"Mungkin sih. Tapi, ada yang aneh lagi, Gi."
"Lo nethink mulu sama Kak Zul."
"Bukannya nethink, Gi. Tapi Kak Zul emang aneh. Contohnya, waktu gue telat Sekolah kapan hari itu. Waktu itu gue gak sengaja lihat dia ada di depan rumah kosong dan gue gak tahu mau naik apa, gue nebeng sama dia."
"Mana ada yang aneh, Ra."
"Ada, Gi. Anehnya, dia gak tahu kalau gue Cara, teman kecilnya. Padahal waktu itu gue keluar dari rumah. Seharusnya dia kenal sama gue."
~·~
"Tante."
Ningsih menoleh dan mendapati Cara yang sedang berdiri di depan pagar rumahnya. "Amel, kok manggil Tante sih?"
Cara tersenyum tidak ada niatan untuk mengatakan alasannya memanggil Ningsih dengan sebutan Tante. "Tante, Amel mau berangkat Sekolah bareng teman aku, jadi, tolong bilangin ke Kak Zul kalau aku gak bisa temenin berangkat ke Sekolah."
"Iya, nanti Mama bilangin ke Zul. Kamu hati-hati, ya," ucap Ningsih dan Cara hanya mengangguk. Gadis berambut sepinggang itu mengucapkan salam, lalu melangkah menuju Gia, sahabatnya yang sedari tadi setia menunggu.
"Itu, nyokapnya Kak Zul?"
"Iya," jawab Cara sambil naik ke atas motor. Setelah dipastikan jika Cara sudah duduk dengan nyaman, Gia pun menjalankan motornya. Dilihat dari kaca spion, wajah sahabatnya begitu lesu. Bukan seperti orang kelelahan, tapi lebih tepat seperti orang banyak masalah.
Tak lama, motor Gia sudah memasuki area parkiran motor di SMA BANGSA 2. Cara pun turun dari motornya disusul oleh Gia. Kini, keduanya berjalan menuju kelas. "Kenapa sih wajahnya nekuk gitu?"
Cara hanya menggeleng dan terus diam hingga sampai di depan kelas. Gia pun juga ikut diam. Jika ia terlalu banyak bertanya, maka Cara akan marah.
"Udah, jangan cemberut terus. Gue jadi ikut sedih loh. Kan biasanya lo yang buat gue ketawa," kata Gia sambil mengusap pelan pundak Cara, setelah gadis itu duduk di bangkunya.
Setelah mendapat balasan senyuman tipis, Gia pun duduk di tempat duduknya yang berada di depan bangku Cara.
Raca berjalan masuk ke dalam kelas. Biasanya, hal yang pertama kali ia lihat adalah senyuman Cara. Tapi, kali ini beda. Gadis itu menyembunyikan wajahnya di meja dengan rambut yang diurai menutupi kepalanya.
"Pagi, Ra," ucap Raca setelah duduk di sebelah Cara sambil mengusap pelan puncak kepala gadis itu.
Tidak ada balasan. Raca pun merasa heran. Dia bingung antara Cara sedang kelelahan atau ada masalah. "Kenapa lagi sih?" Kali ini Cara menjawab, tapi dengan gelengan kepala.
"Wajah cantiknya jangan disembunyiin." Perlahan Cara mengangkat wajahnya. Punggungnya ia sandarkan di kursi.
Raca tersenyum, lalu tangannya ia ulurkan untuk menyingkirkan rambut-rambut yang menutupi wajah Cara. "Gak mau cerita nih?"
"Emangnya lo mau dengerin cerita gue?" tanya Cara pelan. Raca mengangguk.
"Gak deh, gue gak bisa cerita ke lo."
"Kalau kasih senyuman ke gue, bisa gak?" tanya Raca dengan wajahnya yang terus tersenyum.
Cara pun tersenyum manis seperti biasanya. Hal yang ia lakukan setiap melihat Raca untuk pertama kalinya di Sekolah.
"Cuma senyuman lo yang pertama kali gue lihat di setiap gue sampai di Sekolah."
~·~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments