Kereta Pengantar Arwah
Di sebuah stasiun yang terletak di pusat kota Jakarta, seorang pria berjas hitam dengan langkah yang tegas menyusuri stasiun tersebut dengan langkah yang perlahan tapi pasti. Langkahnya terhenti tepat di tiang dengan pondasi dinding tembok yang saling berhadapan seakan akan seperti sebuah pintu masuk, padahal keduanya adalah pilar penghubung papan reklame yang berisi tentang informasi keberangkatan kereta di stasiun itu.
Pria itu nampak seperti mengucap sebuah kata dari mulutnya ketika hendak memasuki pondasi tersebut.
"Open!" ucapnya dengan singkat namun tanpa suara.
Tepat setelah pria tersebut mengucap kata kata itu, pria tersebut lantas menghilang dan tidak terlihat muncul di mana pun, padahal seharusnya jika kita melewati celah dinding tersebut kita akan muncul tepat di bagian depan papan informasi keberangkatan stasiun itu.
***
Pria tersebut tersenyum ketika melihat bahwa dirinya sudah berhasil masuk ke sebuah tempat dengan nuansa sama seperti stasiun yang ia lewati tadi, hanya saja stasiun kali ini bukanlah untuk mereka yang masih hidup dan memiliki jiwa, melainkan stasiun yang di khususkan untuk mengantar roh roh yang tersesat untuk pergi ke alam baka.
Pria itu melangkahkan kakinya menyusuri stasiun tersebut, kemudian memasuki lift dan menekan tombol angka 5 di lift tersebut. Lift bergerak semakin naik membawa pria tersebut ke tempat tujuan sampai kemudian suara dentingan pintu lift yang terbuka membuat pria tersebut lantas meneruskan langkahnya.
Tok tok tok
"Masuk" ucap sebuah suara dari dalam ruangan.
Mendengar suara yang berasal dari dalam, pria itu lantas membuka pintu perlahan kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut.
"Tuan ini data yang anda minta." ucap pria tersebut.
"Apa kau yakin dia bisa di percaya?" tanya seorang pria dengan manik mata hijau di mana pada meja pria tersebut terdapat ukiran yang tertulis Barra Rafeyfa Zayan.
"Ini sudah takdirnya tuan, siap dan tidak siap, bisa dipercaya atau tidak, dia tetap harus melaksanakan tugasnya." ucap pria tersebut dengan nada yang tegas.
"Ya kau benar soal ini, aku serahkan segalanya padamu, aturlah sesukamu." ucap Barra dengan nada yang santai.
"Baik tuan kalau begitu saya permisi." ucapnya lagi kemudian melenggang pergi keluar dari ruangan itu.
Setelah pria itu keluar dari ruangan tersebut seseorang nampak berlari datang menghampiri dirinya.
"Bagaimana Max? apa kamu sudah berhasil menemukannya?" tanya Arya begitu melihat Max keluar dari ruangan Barra.
"Aku sudah memeriksa segalanya dan aku kira dia tidak terlalu buruk." ucap Max dengan singkat.
"Tapi bukankah dia seorang wanita? apa kau sungguh yakin dia bisa melakukannya?" tanyanya sekali lagi.
"Siap tidak siap ini sudah menjadi tanggung jawabnya." ucap Max dengan santai.
"Terserah apa katamu lah yang jelas jangan sampai dia membebani pekerjaan ku." ucap Arya kemudian berlalu pergi dari sana meninggalkan Max yang menatapnya dengan tatapan yang tajam.
"Cih bilang saja kau tidak mau kesusahan, ya kan?" ucap Max dengan nada setengah berteriak mencibir Arya.
"Kau bahkan penebak yang baik Max." ucapnya dengan tersenyum sambil terus melangkah pergi dari sana.
******
Sementara itu di sebuah kampus, tepatnya di area lapangan terdengar suara riuh gemuruh beberapa mahasiswa yang sedang menyaksikan pertandingan regu favorit mereka. Edrea Leta Leteshia atau yang akrab di panggil Rea, terlihat tengah berdiri dengan girangnya bersorak cukup keras untuk pemain favoritnya di tengah padatnya mahasiswa yang juga ikut menyaksikan pertandingan itu.
"Go Fano go Fano go..." teriaknya dengan kencang berulang kali tiada henti.
"Rea jangan kencang kencang napa! gue budek nih dengernya." protes Kiera sahabat terbaiknya yang pernah ada di dalam hidupnya.
"Kagak bisa, kalau aku gak teriak pasti Fano akan kalah." ucapnya dengan semangat 45 menolak dengan keras opsi Kiera.
"Yailah kayak si Fano gebetan kamu aja, Fano kenal kamu aja kagak." sindir Kiera dengan memutar bola matanya jengah melihat sahabatnya yang terlalu hiperaktif itu.
"Lagipula ya dimana mana suporter itu harus semang...." ucap Rea namun terpotong karena sebuah benda bulat tiba tiba melayang mengenai kepalanya hingga pandangannya mengabur lalu pingsan.
Keira yang melihat sahabatnya terkena tendangan bola dari arah tengah lapangan, lantas langsung menangkapnya dengan spontan agar tidak jatuh ke bawah dan terinjak penonton yang lain.
"Kan aku udah bilang jangan terlalu hiperaktif, badung banget sih di bilangin." ucapnya menggerutu namun tentu saja tidak akan di dengar oleh Rea karena Rea sudah pingsan terkena timpukan bola barusan.
"Apa dia baik baik saja?" tanya Fano yang melangkah mendekat ke arah keduanya dengan raut wajah yang merasa bersalah.
"Sayang aja.. si Rea lagi pingsan kalau gak... mungkin udah jejeritan nih anak." ucap Kiera dalam hati. "Tak apa mungkin hanya sedikit benjol, santai saja aku akan membawanya ke uks." ucap Kiera dengan nada yang santai.
"Aku akan menggendongnya ke ruang kesehatan, sebagai bentuk pertanggung jawabanku." tawar Fano pada Kiera yang lantas membuat Kiera melotot karena mendengar ucapan Fano barusan.
"Tak perlu repot repot hahaha... lagi pula pertandingan mu masih berlangsung bukan? kamu tentu tidak ingin mengecewakan team mu kan? pergilah aku bisa mengurusnya sendiri." ucap Kiera dengan nada yang yakin sekaligus mengusir Fano secara halus karena risih akan tatapan para penonton yang terus menatap interaksi keduanya sedari tadi dengan tatapan yang iri dan menyebalkan bagi Kiera.
Fano nampak berpikir sejenak menimbang perkataan Kiera barusan, sampai panggilan temannya dari arah lapangan menyadarkannya untuk segera bergegas kembali. Dengan perasaan yang bersalah Fano lantas menghela nafasnya dengan kasar beberapa kali karena harus pergi tanpa bisa mengantar keduanya ke UKS.
"Baiklah aku akan pergi, tapi boleh aku tahu namamu siapa?" tanya Fano yang masih merasa tidak enak karena harus pergi dan lari dari perbuatannya.
"Aku Kiera dari fakultas arsitektur." ucapnya singkat kemudian melenggang pergi sambil memapah Rea bersamanya.
Sedangkan tanpa ketiganya sadari tak jauh dari tempat mereka berada dengan puluhan penonton di lapangan tersebut. Max nampak berdiri menatapi setiap gerak gerik Edrea sedari tadi, helaan nafas terdengar dari Max berulang kali.
"Mengapa aku mendadak tidak yakin dengan dia ya?" ucap Max sambil memijat pelipisnya dengan perlahan.
***
UKS
Edrea yang sedari tadi pingsan perlahan lahan mulai membuka matanya dan menatap ke arah sekeliling karena ia tidak asing dengan ruangan tempat ia berada saat ini.
"Kau sudah sadar rupanya?" ucap sebuah suara yang tentu saja Edrea tahu siapa itu.
Dengan gerakan perlahan Edrea nampak bangkit sambil mengusap keningnya perlahan yang saat ini mungkin sudah memerah atau bahkan benjol karena terkena bola tadi.
"Jangan terus di pegang seperti itu, tangan mu penuh dengan kuman dan bakteri... nanti kalau tiba tiba infeksi bagaimana?" ucap Kiera dengan nada yang cerewet.
"Cukup Ki, kau membuat kepala ku semakin pusing ketika mendengar omelan mu itu!" ucap Edrea dengan kesal.
"Oh ya? lalu apakah semangkuk bakso ikan di cafe depan akan mengurangi pusing di kepalamu?" ucap Kiera kemudian dengan nada yang di buat buat.
"Kenapa tidak bilang dari tadi? ayo kita berangkat!" ucapnya dengan semangat sambil bangkit dari ranjang pasien dan langsung menarik tangan Kiera untuk keluar.
"Tapi bukankah kamu tadi bilang masih sakit?" ucap Kiera dengan bingung.
"Sudahlah orang sakit juga butuh makan kali..." ucap Edrea dengan penuh semangat.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 200 Episodes
Comments
Fachri
siapa penerbit buku ini
2023-08-22
0
Rinda_Rey
Semangat kak💪💪
2023-04-17
0