NovelToon NovelToon

Kereta Pengantar Arwah

Apa kau yakin dia orangnya?

Di sebuah stasiun yang terletak di pusat kota Jakarta, seorang pria berjas hitam dengan langkah yang tegas menyusuri stasiun tersebut dengan langkah yang perlahan tapi pasti. Langkahnya terhenti tepat di tiang dengan pondasi dinding tembok yang saling berhadapan seakan akan seperti sebuah pintu masuk, padahal keduanya adalah pilar penghubung papan reklame yang berisi tentang informasi keberangkatan kereta di stasiun itu.

Pria itu nampak seperti mengucap sebuah kata dari mulutnya ketika hendak memasuki pondasi tersebut.

"Open!" ucapnya dengan singkat namun tanpa suara.

Tepat setelah pria tersebut mengucap kata kata itu, pria tersebut lantas menghilang dan tidak terlihat muncul di mana pun, padahal seharusnya jika kita melewati celah dinding tersebut kita akan muncul tepat di bagian depan papan informasi keberangkatan stasiun itu.

***

Pria tersebut tersenyum ketika melihat bahwa dirinya sudah berhasil masuk ke sebuah tempat dengan nuansa sama seperti stasiun yang ia lewati tadi, hanya saja stasiun kali ini bukanlah untuk mereka yang masih hidup dan memiliki jiwa, melainkan stasiun yang di khususkan untuk mengantar roh roh yang tersesat untuk pergi ke alam baka.

Pria itu melangkahkan kakinya menyusuri stasiun tersebut, kemudian memasuki lift dan menekan tombol angka 5 di lift tersebut. Lift bergerak semakin naik membawa pria tersebut ke tempat tujuan sampai kemudian suara dentingan pintu lift yang terbuka membuat pria tersebut lantas meneruskan langkahnya.

Tok tok tok

"Masuk" ucap sebuah suara dari dalam ruangan.

Mendengar suara yang berasal dari dalam, pria itu lantas membuka pintu perlahan kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut.

"Tuan ini data yang anda minta." ucap pria tersebut.

"Apa kau yakin dia bisa di percaya?" tanya seorang pria dengan manik mata hijau di mana pada meja pria tersebut terdapat ukiran yang tertulis Barra Rafeyfa Zayan.

"Ini sudah takdirnya tuan, siap dan tidak siap, bisa dipercaya atau tidak, dia tetap harus melaksanakan tugasnya." ucap pria tersebut dengan nada yang tegas.

"Ya kau benar soal ini, aku serahkan segalanya padamu, aturlah sesukamu." ucap Barra dengan nada yang santai.

"Baik tuan kalau begitu saya permisi." ucapnya lagi kemudian melenggang pergi keluar dari ruangan itu.

Setelah pria itu keluar dari ruangan tersebut seseorang nampak berlari datang menghampiri dirinya.

"Bagaimana Max? apa kamu sudah berhasil menemukannya?" tanya Arya begitu melihat Max keluar dari ruangan Barra.

"Aku sudah memeriksa segalanya dan aku kira dia tidak terlalu buruk." ucap Max dengan singkat.

"Tapi bukankah dia seorang wanita? apa kau sungguh yakin dia bisa melakukannya?" tanyanya sekali lagi.

"Siap tidak siap ini sudah menjadi tanggung jawabnya." ucap Max dengan santai.

"Terserah apa katamu lah yang jelas jangan sampai dia membebani pekerjaan ku." ucap Arya kemudian berlalu pergi dari sana meninggalkan Max yang menatapnya dengan tatapan yang tajam.

"Cih bilang saja kau tidak mau kesusahan, ya kan?" ucap Max dengan nada setengah berteriak mencibir Arya.

"Kau bahkan penebak yang baik Max." ucapnya dengan tersenyum sambil terus melangkah pergi dari sana.

******

Sementara itu di sebuah kampus, tepatnya di area lapangan terdengar suara riuh gemuruh beberapa mahasiswa yang sedang menyaksikan pertandingan regu favorit mereka. Edrea Leta Leteshia atau yang akrab di panggil Rea, terlihat tengah berdiri dengan girangnya bersorak cukup keras untuk pemain favoritnya di tengah padatnya mahasiswa yang juga ikut menyaksikan pertandingan itu.

"Go Fano go Fano go..." teriaknya dengan kencang berulang kali tiada henti.

"Rea jangan kencang kencang napa! gue budek nih dengernya." protes Kiera sahabat terbaiknya yang pernah ada di dalam hidupnya.

"Kagak bisa, kalau aku gak teriak pasti Fano akan kalah." ucapnya dengan semangat 45 menolak dengan keras opsi Kiera.

"Yailah kayak si Fano gebetan kamu aja, Fano kenal kamu aja kagak." sindir Kiera dengan memutar bola matanya jengah melihat sahabatnya yang terlalu hiperaktif itu.

"Lagipula ya dimana mana suporter itu harus semang...." ucap Rea namun terpotong karena sebuah benda bulat tiba tiba melayang mengenai kepalanya hingga pandangannya mengabur lalu pingsan.

Keira yang melihat sahabatnya terkena tendangan bola dari arah tengah lapangan, lantas langsung menangkapnya dengan spontan agar tidak jatuh ke bawah dan terinjak penonton yang lain.

"Kan aku udah bilang jangan terlalu hiperaktif, badung banget sih di bilangin." ucapnya menggerutu namun tentu saja tidak akan di dengar oleh Rea karena Rea sudah pingsan terkena timpukan bola barusan.

"Apa dia baik baik saja?" tanya Fano yang melangkah mendekat ke arah keduanya dengan raut wajah yang merasa bersalah.

"Sayang aja.. si Rea lagi pingsan kalau gak... mungkin udah jejeritan nih anak." ucap Kiera dalam hati. "Tak apa mungkin hanya sedikit benjol, santai saja aku akan membawanya ke uks." ucap Kiera dengan nada yang santai.

"Aku akan menggendongnya ke ruang kesehatan, sebagai bentuk pertanggung jawabanku." tawar Fano pada Kiera yang lantas membuat Kiera melotot karena mendengar ucapan Fano barusan.

"Tak perlu repot repot hahaha... lagi pula pertandingan mu masih berlangsung bukan? kamu tentu tidak ingin mengecewakan team mu kan? pergilah aku bisa mengurusnya sendiri." ucap Kiera dengan nada yang yakin sekaligus mengusir Fano secara halus karena risih akan tatapan para penonton yang terus menatap interaksi keduanya sedari tadi dengan tatapan yang iri dan menyebalkan bagi Kiera.

Fano nampak berpikir sejenak menimbang perkataan Kiera barusan, sampai panggilan temannya dari arah lapangan menyadarkannya untuk segera bergegas kembali. Dengan perasaan yang bersalah Fano lantas menghela nafasnya dengan kasar beberapa kali karena harus pergi tanpa bisa mengantar keduanya ke UKS.

"Baiklah aku akan pergi, tapi boleh aku tahu namamu siapa?" tanya Fano yang masih merasa tidak enak karena harus pergi dan lari dari perbuatannya.

"Aku Kiera dari fakultas arsitektur." ucapnya singkat kemudian melenggang pergi sambil memapah Rea bersamanya.

Sedangkan tanpa ketiganya sadari tak jauh dari tempat mereka berada dengan puluhan penonton di lapangan tersebut. Max nampak berdiri menatapi setiap gerak gerik Edrea sedari tadi, helaan nafas terdengar dari Max berulang kali.

"Mengapa aku mendadak tidak yakin dengan dia ya?" ucap Max sambil memijat pelipisnya dengan perlahan.

***

UKS

Edrea yang sedari tadi pingsan perlahan lahan mulai membuka matanya dan menatap ke arah sekeliling karena ia tidak asing dengan ruangan tempat ia berada saat ini.

"Kau sudah sadar rupanya?" ucap sebuah suara yang tentu saja Edrea tahu siapa itu.

Dengan gerakan perlahan Edrea nampak bangkit sambil mengusap keningnya perlahan yang saat ini mungkin sudah memerah atau bahkan benjol karena terkena bola tadi.

"Jangan terus di pegang seperti itu, tangan mu penuh dengan kuman dan bakteri... nanti kalau tiba tiba infeksi bagaimana?" ucap Kiera dengan nada yang cerewet.

"Cukup Ki, kau membuat kepala ku semakin pusing ketika mendengar omelan mu itu!" ucap Edrea dengan kesal.

"Oh ya? lalu apakah semangkuk bakso ikan di cafe depan akan mengurangi pusing di kepalamu?" ucap Kiera kemudian dengan nada yang di buat buat.

"Kenapa tidak bilang dari tadi? ayo kita berangkat!" ucapnya dengan semangat sambil bangkit dari ranjang pasien dan langsung menarik tangan Kiera untuk keluar.

"Tapi bukankah kamu tadi bilang masih sakit?" ucap Kiera dengan bingung.

"Sudahlah orang sakit juga butuh makan kali..." ucap Edrea dengan penuh semangat.

Bersambung

Kesepakatan gila

Edrea masuk ke dalam mansion dengan langkah pelan sambil menutup keningnya yang memerah karena terkena lemparan bola tadi di lapangan. Edrea menatap sekeliling sambil menyembulkan kepalanya untuk mengecek apakah Omanya ada di dalam atau tidak, setelah di pastikan semua aman dan kosong barulah Edrea masuk ke dalam dengan langkah santai bergegas menuju ke kamarnya.

"Rea!" panggil sebuah suara yang langsung menghentikan langkah kaki Edrea menaiki anak tangga.

"Waduh kenapa harus sekarang sih?" batin Edrea dalam hati ketika mendengar panggilan itu.

Dengan langkah yang malas Edrea terpaksa berjalan mendekat ke arah Sita.

"Ada yang ingin Oma katakan padamu." ucapnya dengan lembut.

"Tentang apa?" tanya Edrea sambil menunduk karena takut Sita akan melihat keningnya yang memerah.

Mendengar pertanyaan dari Edrea barusan, lantas membuat Sita menjelaskan gambaran kasarnya tentang Edrea yang akan menjadi pelayan dari seorang Barra sosok makhluk setengah manusia. Sita menjelaskan bahwa tugas ini bersifat wajib dan tidak bisa di tolak dengan seenaknya oleh Edrea karena Sita yakin Edrea pasti akan menolaknya dengan keras, terlebih tugas yang di berikan Sita terdengar sangat tidak masuk akal.

Edrea yang mendengar permintaan Sita barusan lantas melongo tak percaya, bisa bisanya Sita malah mengatakan hal hal tidak masuk akal yang membuat edrea semakin pusing ketika mendengarnya.

"Oma sepertinya habis menonton drama The Bride of Habaek kan? atau jangan jangan Goblin? hahaha memang yang seperti itu ada di dunia nyata? Oma benar benar lucu nih..." ucapnya dengan tertawa ketika mendengar permintaan serta perjanjian gila yang telah di lakukan Sita tanpa sepengetahuannya.

Edrea yang tadinya tertawa cukup keras perlahan lantas menghentikan tawanya ketika melihat wajah serius Sita ketika menatap ke arahnya.

"Jadi ini bukan karena Oma habis melihat drama? jangan bilang ini sungguhan?" ucapnya lagi dengan nada yang ragu ragu menatap ke arah Sita yang memberinya tatapan tajam sedari tadi.

"Apa Oma terlihat seperti tengah bercanda saat ini?" tanya Sita dengan kesal.

"Pokoknya Rea gak mau ya Oma, jangan aneh aneh..." ucap Edrea sambil melangkah ke atas menuju kamarnya meninggalkan Sita begitu saja.

"Kamu mau ke mana? Rea! Oma belum selesai bicaranya..." teriak Sita yang melihat Edrea terus melangkah naik ke arah kamarnya.

"Jika Oma hanya mengatakan tentang omong kosong itu lagi... aku tidak akan mau kembali turun... bye Oma..." ucapnya dengan nada setengah berteriak sambil terus melangkahkan kakinya naik ke atas dan sama sekali tidak berniat kembali ke arah Sita.

Sedangkan Sita yang melihat kelakuan Edrea yang menolak dengan keras perjanjian itu, lantas mulai menghela nafasnya panjang. Entah harus bagaimana lagi ia berusaha meyakinkan Edrea untuk melakukannya tanpa paksaan. Sita tau, bahkan sangat sangat tahu bahwa pekerjaan ini sangatlah berat, hanya saja perjanjian ini sudah tertulis jauh sebelum dirinya dilahirkan dan terus di turunkan ke cucu dan cicitnya nanti. Lalu bagaimana Sita bisa membuat Edrea mengerti dengan penjelasannya tentang hal ini?

Tanpa keduanya sadari tak jauh dari tempat Sita berdiri, terlihat Barra tengah menatap ke arah keduanya dengan tatapan yang tajam, seakan akan tidak terima dengan penolakan yang di ucapkan oleh Edrea barusan sebelum kepergiannya ke kamarnya.

"Sepertinya aku harus memberinya hadiah kecil agar dia tidak terlalu angkuh dan egois seperti itu." ucap Barra pada diri sendiri kemudian menghilang pergi dari sana dengan senyum yang menyeringai.

****

Di dalam kamar

Edrea yang kesal dengan Sita lantas melempar tas miliknya ke sembarang arah kemudian merebahkan dirinya di kasur begitu saja. Pikirannya melayang jauh membayangkan kembali Fano ketika dengan hebatnya bermain dan mengoper bola hingga masuk ke dalam ring.

Seulas senyuman nampak terlihat terbit dari raut wajah Edrea ketika kembali terbayang wajah tampan milik Fano ketika bermain, hanya saja senyuman yang tadinya terlihat dengan jelas mendadak harus luntur dan berubah suram ketika berganti dengan ucapannya Sita tentang kesepakatan gila itu mendadak muncul dan membuyarkan semua imajinasinya.

"Kenapa harus jadi pelayannya sih? emangnya dia pikir dia siapa? Raja atau seorang bangsawan? benar benar menyebalkan." gerutu Edrea sambil memukul mukul bantal miliknya dengan kesal.

Disaat Edrea tengah sibuk meluapkan seluruh kekesalannya, mendadak lampu kamarnya yang semula baik baik saja tiba tiba menjadi mati hidup dengan cepat, membuat Edrea lantas bangkit dari tidurnya sambil menatap ke area kamarnya dengan tatapan yang bingung.

"Oma sepertinya lampu kamar ku rusak..."teriak Edrea berharap Sita mendengar teriakannya.

Tes...

Setetes air nampak menetes tepat di rambutnya membuat Edrea lantas dengan spontan mengusapnya karena mengira itu hanyalah air biasa.

"Apa ini?" tanyanya pada diri sendiri karena yang awalnya ia mengira itu hanyalah air yang menetes, namun ternyata malah cairan kental berwarna merah dan memiliki bau amis. Membuat Edrea lantas mengerutkan keningnya dengan bingung ketika menyadari air apa itu. "Darah... tapi darah siapa?" ucapnya bertanya tanya.

Di saat Edrea tengah bingung dan bertanya tanya tentang darah siapa yang barusan menetes, tepat di atas rambutnya Edrea kembali merasakan sesuatu menetes mengenai rambutnya, hanya saja kali ini lebih banyak dari pada yang sebelumnya. Dengan perlahan Edrea mulai mengusap bagian rambutnya yang ketika ia mengangkat tangannya ternyata lagi lagi adalah darah. Edrea yang melihat hal itu tentu saja terkejut bukan main, jika ini sama seperti film horor yang ia tonton bersama dengan Kiera, sudah pasti akan ada sesuatu yang muncul tepat di atas ranjang miliknya.

Keringat dingin mulai membasahi keningnya dengan perlahan, Edrea ingin sekali pergi saja dan langsung kabur dari sini, namun nyatanya seluruh kakinya terasa lemas dan tidak mampu untuk bangkit hanya sekedar berdiri dan bergeser dari tempat duduknya saat ini mengingat kondisi lampu yang terus mati hidup sejak tadi.

"Tidak ada hantu... tidak ada hantu..." ucapnya berulang kali sambil dengan perlahan mulai mendongak menatap ke atas untuk memastikan apa yang tengah berada di atasnya saat ini.

Aaaaaaaaa

Teriak Edrea tiba tiba ketika melihat tepat di atasnya sesosok makhluk berambut panjang dengan baju yang lusuh disertai dengan darah segar yang terus menetes dari area lehernya yang terlihat bergelantungan karena hampir putus dari tempatnya, memang secara samar karena kondisi lampu yang terus hidup dan mati, namun bagi Edrea itu sangatlah mengerikan.

Edrea ketakutan bukan main ketika melihat sosok tersebut di atasnya, sedangkan sosok itu malah menyeringai menatap ke arah Edrea dengan menyeramkan. Tanpa Edrea duga sebelumnya sosok tersebut mendadak loncat dan mengenai tubuh Edrea hingga ia langsung tidur terlentang tanpa bisa bergerak ataupun mengeluarkan suaranya layaknya orang yang sedang ketindihan.

Edrea yang tidak bisa melakukan apa apa hanya bisa berusaha terus bergerak, namun malah terlihat seperti kejang kejang karena saking kakunya tubuh Edrea ketika di buat bergerak.

**

Sementara itu Sita yang mendengar teriakan cucunya, lantas berlarian naik ke atas untuk melihat kondisi Edrea di kamar. Sita yang baru sampai di kamar Edrea lantas di buat terkejut ketika melihat cucunya seperti orang yang kejang kejang dengan disertai mata yang terus melotot menatap ke arah atas.

"Astaga... Rea apa yang terjadi..." teriaknya dengan panik sambil berlarian menghampiri cucunya di atas ranjang. "Rea sadar... Rea jangan bikin Oma takut Rea..." ucapnya dengan memangku kepala Rea sambil terus mencoba menyadarkan Rea yang masih terus kejang kejang.

Sedangkan tanpa keduanya sadari di sudut ruangan kamar tersebut, Barra dan Max tengah menatap ke arah keduanya dengan tatapan yang datar, yah ini adalah hadiah yang di maksud oleh Barra tadi. Barra yang melihat Edrea menjadi seperti itu ketika menerima hadiah darinya, lantas menatap ke arah Max dengan tatapan yang tajam.

"Hehehe saya akan mengurusnya tuan, anda tidak perlu khawatir." ucapnya dengan nada yang aneh karena Barra terus menatapnya dengan tajam sedari tadi.

"Aku tidak tahu bagaimanapun caranya kamu memperlakukannya Max, bagaimana dia bisa menjadi pelayan ku? jika melihat sosok yang seperti itu saja reaksinya sudah berlebihan!" ucap Barra dengan nada yang dingin menunjuk ke arah Edrea dan juga Sita.

"Ba.. baik tuan.." ucap Max dengan terbata.

***

Satu jam kemudian

Edrea yang sudah cukup tenang dan juga sadar, lantas terdiam dengan termenung di kamarnya, di tatapnya ke arah kanan dan kiri secara terus menerus, berharap tidak lagi melihat sosok yang seperti tadi, benar benar terasa hampir gila ketika Edrea memikirkannya. Di saat Edrea tengah parno sambil terus menatap ke arah sekitar, Barra dan juga Max kembali muncul dan mengejutkan Edrea yang tengah dalam keadaan parno sedari tadi.

"Jadilah pelayan ku dan aku akan membantu mu.." ucap Barra kemudian yang lantas membuat Edrea menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa di jelaskan.

Bersambung

Jadilah pelayan ku

"Jadilah pelayan ku dan aku akan membantu mu.." ucap Barra kemudian yang lantas membuat Edrea menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa di jelaskan.

Edrea yang sudah hampir gila dan ingin segera terbebas dari sosok makhluk yang menghantuinya, lantas dengan spontan menjulurkan tangannya hendak menerima tawaran dari Barra barusan. Hanya saja ketika Edrea sudah hampir mendekatkan tangannya agar bersalaman dengan Barra, mendadak dia menggeleng dengan sekuat tenaga karena baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak kenal dengan dua orang yang muncul secara tiba tiba di kamarnya ini. Tidak ada yang menjamin bukan? jika tiba tiba sosok pria di hadapannya ini melanggar ucapannya?

"Aku bahkan tidak mengenal mu, untuk apa aku percaya padamu? lagi pula bagaimana cara kalian bisa masuk ke dalam kamar ku? kalian berdua penyusup ya?" Tuduh Edrea kemudian yang lantas membuat Max menatap dengan tatapan yang melongo ke arah Edrea.

"Kau belum kapok juga rupanya, apa kau ingin bertemu sosok makhluk yang lain? aku sungguh tidak keberatan untuk menunggu dan menonton mu di sini." ucap Barra dengan nada yang dingin sambil berjalan ke arah sofa dan mengangkat kakinya sebelah kemudian menatap dengan serius ke arah Edrea.

Edrea yang mendengar hal itu lantas menelan salivanya kasar, namun masih berusaha untuk tidak terlihat terlalu panik di hadapan Barra dan juga Max, Barra yang melihat keteguhan Edrea lantas tersenyum miring kemudian menjentikkan jarinya pelan dan sesuatu yang tak terduga mendadak terjadi.

Dari arah sudut ruangan makhluk berbentuk seperti kunyang terlihat terbang secara perlahan mendekat ke arah di mana Edrea berada. Edrea yang melihat hal itu tentu saja langsung berkeringat dingin, ia bahkan terlihat berkali kali melirik ke arah Barra untuk melihat ekspresi wajah pria itu ketika melihat sosok makhluk halus dengan bentuk seperti itu. Padahal tanpa Edrea sadari kemunculan sosok makhluk mulik kunyang itu adalah perbuatan dari Barra. (Sekedar info kunyang adalah sosok hantu kepala lengkap dengan organ organ dalam yang bergelantungan tanpa tubuh).

"Kenapa dia tidak takut sama sekali, apa dia tidak bisa melihatnya? atau memang aku yang sedang berhalusinasi?" ucap Edrea dalam hati sambil terus menatap ke arah hantu kunyang dan juga Barra sedari tadi dengan tatapan bergantian karena Edrea penasaran dengan reaksi yang di tunjukkan oleh Barra ketika melihatnya. Hanya saja yang terjadi malah sebaliknya, ketika Edrea ketakutan setengah mati karena sosok hantu itu yang terus mendekat ke arahnya, Barra malah menatap ke arah depan dengan santai seakan tanpa merasa terusik sama sekali begitupun dengan seseorang yang senantiasa berdiri di sebelah Barra sedari tadi.

Edrea semakin merasa tak karuan ketika sosok makhluk yang mirip dengan kunyang itu hanya tinggal berjarak beberapa senti saja darinya, senyuman makhluk itu begitu mengerikan menatap ke arah Edrea seakan melihatnya sebagai mangsa yang empuk. Edrea benar benar tidak tahu lagi harus berbuat bagaimana, hingga kemudian di antara rasa ketakutan akan sosok makhluk tersebut yang terus menatapnya seakan lapar dan hendak memangsanya, Edrea lantas berteriak menyetujui perjanjian itu tanpa berpikir lebih lama lagi.

"Baiklah aku setuju, asalkan buat makhluk itu pergi sekarang!" teriak Edrea sambil bersembunyi di balik selimut.

Barra yang mendengar teriak persetujuan dari Edrea barusan, lantas tersenyum dengan puas kemudian menjentikan jarinya pelan dan membuat sosok itu pergi dari sana. Setelah kepergian sosok tersebut Barra lantas bangkit dari sofa kemudian melangkah mendekat ke arah dimana Edrea berada.

Barra menyikap selimut yang menutupi seluruh tubuh Edrea dan langsung mendekat ke arah gadis itu.

"Apa yang sudah di sepakati tidak akan bisa di tarik kembali atau di langgar!" ucap Barra dengan nada yang dingin.

Tepat setelah Barra mengatakan hal tersebut ibu jari Edrea terasa perih seperti di tusuk jarum hingga mengeluarkan sedikit noda darah pada ibu jarinya.

"Aww" ucapnya dengan spontan sambil hendak menghisap ibu jarinya yang berdarah namun di tahan oleh Barra.

Setelah menahan aksi Edrea, Barra lantas menempelkan ibu jari milik Edrea yang masih terdapat darah di sana dengan ibu jari miliknya, secercah cahaya keemasan nampak terpancar ketika kedua ibu jari mereka saling menempel, membuat Edrea menatap dengan tatapan melongo dengan apa yang baru saja terjadi.

"Kontrak telah dibuat! aku memberi mu kebebasan untuk melakukan kehidupan mu seperti biasa dengan syarat kau harus siap kapan saja ketika aku membutuhkan mu!" ucap Barra kemudian bangkit dari sana.

Barra yang telah menyelesaikan segala urusannya di sana lantas bangkit dan menghilang tanpa mengatakan sepatah kata apapun begitu juga dengan Max, kini di sana hanya tersisa Edrea dengan berjuta juta tanda tanya yang menyelimuti pikirannya.

"Apa aku mengambil keputusan yang tepat?" ucapnya pada diri sendiri setelah kepergian Barra dan juga Max dari kamarnya.

Edrea yang gelisah lantas menjatuhkan tubuhnya pada ranjang empuk miliknya kemudian menatap langit langit kamar dengan tatapan melayang jauh entah kemana.

"Ah entahlah bodo amat, bisa gila aku kalau terus terusan begini!" ucapnya lagi sambil menarik selimutnya dengan kesal menutupi seluruh tubuhnya.

****

Keesokan harinya

Setelah makan siang Edrea yang tidak memiliki kelas, lantas duduk termenung di bangku taman sambil menatap ke arah langit langit yang terlihat cerah siang itu.

"Hai, apa aku boleh bergabung?" tanya sebuah suara yang lantas mengejutkan Edrea yang tengah melamun saat itu.

Edrea yang mendengar suara tersebut lantas dengan spontan langsung mendongak dan ia cukup terkejut ketika ternyata pemilik suara barusan adalah Fano. Edrea yang tidak ada persiapan sebelumnya melihat Fano di dekatnya lantas langsung gugup dan mengangguk seperti orang bodoh mengiyakan pertanyaan dari Fano barusan.

"Bagaimana dengan kening mu? apakah sudah merasa baikan?" tanya Fano dengan nada yang lembut, membuat Edrea lantas melayang ketika mendengar suara Fano yang begitu menyejukkan hatinya.

"Kamu tak perlu khawatir, tulang tengkorak milik ku sangatlah kuat, lihatlah bahkan memarnya sudah tidak terlalu terlihat." ucap Edrea dengan tersenyum riang. (Tentu saja tidak akan terlihat karena Edrea menutupinya dengan fondantion dan juga konciler untuk menutupi bekasnya, dasar bucin).

"Syukurlah kalau memang seperti itu." ucap Fano sambil tersenyum dengan lega ketika mendengar jawaban dari Edrea barusan. "Em Btw tumben sendiri, teman mu gak ada kelas hari ini?" tanya Fano kemudian.

"Ada, hanya saja Kiera masih ada kelas mungkin sebentar lagi selesai." jawab Edrea dengan tak henti hentinya menebar senyum.

"Oh begitu" ucapnya sambil bangkit berdiri. "Lain kali kita makan siang bareng ya biar aku yang teraktir sebagai bentuk permintaan maaf ku, ajak teman mu sekali." ucapnya sambil hendak melangkah pergi.

"Tidak perlu repot repot, lagi pula aku tidak kenapa napa bukan?" ucap Edrea berusaha menolak ajakan Fano walau sebenarnya dalam hatinya Edrea ingin sekali langsung menerima ajakan Fano barusan. Hanya saja, bukankah terlalu dini untuk bersikap agresif saat ini? keduanya bahkan baru berkenalan, mana mungkin Edrea langsung mengiyakan ajakannya begitu saja. Nanti yang ada mungkin Fano akan langsung ilfil pada Edrea.

"Tidak ada penolakan, sampai jumpa besok." ucapnya lagi kemudian melenggang pergi dari sana.

"Tapi Fan..." ucap Edrea ingin kembali menolak namun Fano sudah terlebih dahulu pergi dari sana, membuat Edrea mau tidak mau malah menerimanya. "Sudahlah lagipula kesempatan tidak datang dua kali bukan?" imbuhnya lagi pada diri sendiri.

Setelah kepergian Fano dari sana, Edrea lantas melompat dengan kegirangan karena pada akhirnya ia bisa selangkah lebih dekat ke arah Fano. Hanya saja satu hal yang tidak Edrea sadari, tepat ketika pembicaraan Fano dan dirinya berlangsung secerca cahaya nampak terlihat dari ibu jari Edrea sepersekian detik, hingga kemudian tubuhnya yang sedari tadi di kampus mendadak menghilang dan muncul pada sebuah tempat yang asing baginya tanpa Edrea sadari.

"Loh bukannya tadi Rea di sini? Kok bisa tiba tiba hilang sih?" ucap Kiera dengan bingung karena jelas jelas ia tadi melihat Edrea di area taman, namun ketika ia mendekat, Edrea mendadak menghilang begitu saja seakan lenyap dan tak berbekas.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!