”Mencarimu adalah hal termudah bagiku... meskipun dalam keramaian pun, aku akan tetap menemukan keberadaan mu hanya dengan tatapan tajam ku.”
-------
Aletha berdiri tepat di mana Fajar masih dalam posisi ternyaman nya. Dan setelah kehadiran Aletha, tidak lama setelah itu Fajar beranjak dari duduknya, lalu ia memberikan senyum merekah kepada Aletha dan juga dua sahabatnya yang berada di belakang Aletha.
Hening...
Suasana masih terasa hening dan sunyi bagi mereka, meskipun dalam keramaian orang yang berlalu lalang di Bandara Internasional John F. Kennedy. Ada rasa canggung yang dirasakan oleh keduanya, meskipun sebenarnya dalam hati masing-masing tak ingin saling melepas. Dan Fajar, bukan ia tidak mau mengudarakan suaranya terlebih dahulu, tapi ia lebih memilih diam dan memberikan luang agar Aletha mengungkapkan bagaimana perasaannya saat perpisahan akan terjadi.
Istilahnya Fajar ingin menguji Aletha...
”Assalamu'alaikum, kak.” Aletha mengucap salam bersamaan dengan Laura.
”Wa'alaikumsalam. Terima kasih karena kalian sudah mau hadir sebelum keberangkatan ku tiba.” Seulas senyum nampak terlihat di bibir Fajar.
”Kak Fajar, jadi berangkat pukul 19.00?” tanya Aletha.
Fajar hanya mengangguk samar dengan senyum yang tidak lepas dari bibirnya. Benar, Fajar masih membungkam mulutnya agar tak mengudarakan suaranya karena tak rela. Sedangkan Aletha, ia sendiri masih bingung harus bagaimana dalam bersikap baik terhadap Fajar.
’Kenapa kak Fajar diam saja sih? Kalau Dia cinta seharusnya bilang sesuatu atau apa gitu. Lah ini, malah diam sambil tebar senyum doang. Aneh!’ batin Aletha yang menggerutu.
Aletha terasa beku, ia tidak tahu harus bagaimana. Dan ia memilih mengundurkan diri dari perkumpulan empat orang itu dengan alasan pergi ke toilet. Rasa gugup pasti sedang dirasakan oleh Aletha, bukan berarti ia tidak tahu harus berbuat apa. Itu terjadi karena Fajar tidak seperti lelaki yang pernah ia kenal, seperti Tara dikala dulu.
Aletha berjalan gontai saat menelusuri lorong menuju ke toilet khusus wanita, dalam langkah kakinya ia kembali berpikir tentang bagaimana cara untuk mengungkapkan yang sesungguhnya rasa hatinya kepada Fajar.
”Ah sial! Kenapa aku tidak bisa seperti dulu? Aletha yang suka ceplas ceplos tidak jelas. Malah sekarang begitu terasa canggung hanya untuk memandangnga saja. Jaga image kamu, Al.” Umpat Aletha lalu membasuh mukanya untuk sekedar membuat kesegaran.
------
”Fajar, kenapa kamu hanya diam saja? Kalau kamu cinta sama Dia ... ya kamu tinggal peluk saja. Sebelum terlambat.” Rion menatap Fajar dengan kesal.
”Plakk...”
Tabokan dari Fajar pun melayang di bahu Rion. Fajar tidak mau gegabah dalam mengambil tindakan yang akan mengurangi imagenya sebagai lelaki gentleman. Langsung memeluk? Jelas... itu bukanlah sifat yang melekat dalam diri Fajar. Menghargai dan menghormati wanita adalah tujuan Fajar setiap ia mengingat ibunya. Ibu yang telah melahirkannya dengan susah payah dan perjuangan yang hebat.
”Aku bukan lelaki yang seperti itu, RI. Itu bukanlah tindakan yang harus aku lakukan sebelum aku benar-benar pergi dari sini. Aku akan menghargai setiap tindakan yang ia lakukan padaku. Itu caraku mencintainya.” Fajar tersenyum simpul.
------
Aletha berjalan, ia kini sudah cukup tenang setelah cukup lama berada di dalam toilet. Hanya merenung saja ya Al, jangan sampai nanti berbuat aneh-aneh dihadapan Fajar.
”Bagaimana kak, apa. sudah waktunya?” tanya Aletha.
”Mungkin sebentar lagi. Belum ada pemberitahuan dari petugas.” Fajar menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
”Baikla! Kalau begitu ... apa boleh aku dan Laura ikut duduk di sana?" Aletha menyengir.
”Silahkan!”
Fajar pun ikut mengambil duduk di sebelah Aletha. Sedangkan Rion, ia duduk di sebelah Fajar, tepatnya di sisi kanan Fajar. Dan perbincangan ringan telah dimulai oleh Aletha untuk memecahkan setiap keheningan ataupun rasa gugup yang membuat kecanggungan di antara mereka.
”Berarti ... kak Fajar akan menetap di Indonesia?”
”Insyaa Allah, Al. Aku akan memilih kerja di Jakarta saja.” Jawab Fajar yang tidak mengalihkan pandangannya, ia tetap fokus pada orang yang berlalu lalang dihadapannya.
Aletha hanya manggut-manggut samar setelah mendengar jawaban dari Fajar. Sejenak Aletha memberanikan diri untuk menatap Fajar yang jaraknya begitu dekat dengannya. Dan saat Aletha menatap Fajar, ia melihat cahaya yang asing baginya.
”Sinar laser? Bukan ... itu seperti...”
Aletha menghentikan ucapannya setelah menyadari bahaya tengah mengancam keberadaan mereka, orang yang berarti bagi Aletha. Dan dengan segera Aletha menajamkan tatapannya ke segala penjuru ruangan itu untuk mendapatkan orang yang ingin berbuat jahat kepadanya.
”Al, kamu kenapa sih celingukan begitu? Kamu ... sedang mencari seseorang?” tanya Laura penasaran.
Aletha hanya mengangguk penuh keyakinan. Tapi pandangan masih mencari di mana pemilik sinar pistol itu. Dan akhirnya Aletha memutuskan untuk melakukan hal yang menurutnya itu tepat.
”Emm ... maaf kak, mungkin permintaanku terasa aneh. Tapi ... aku perlu jaket dan topi hitam kak Fajar. Boleh kan, jika aku pinjam sebentar?”
”Buat apa sih, Al? Kamu kan, sudah pakai jaket?”
”Sudah Ra, tidak apa-apa kok. Nih ... pakai saja, Al.” Fajar menyodorkan jaket dan topi hitamnya yang sudah ia lepas.
Dan Aletha pun memakai jaket serta topi hitam milik Fajar. Parfum maskulin yang menempel di jaket Fajar begitu menguar di hidung Aletha, membuat Aletha mabuk kepayang dan tambah cinta.
Aletha kini seperti seorang detektif, memakai jaket dan topi hitam. Lalu, Aletha berpamitan untuk pergi dari kerumunan itu, dan... Aletha pun beraksi dengan caranya.
--------
”Fajar, apa dengan seperti ini Dia mengungkapkan perasaannya kepadamu? Sungguh, wanita aneh.” Rion bergidik ngeri, membayangkan bahwa Aletha sedang sakit dalam kejiwaannya.
”Entahlah! Tapi aku suka.” Fajar tersenyum sumringah.
”Kak Fajar, maafkan Aletha yang bersikap aneh ya!” Ungkap Laura.
”Tidak apa-apa, Ra. Santai saja,”
--------
’Mencarimu adalah hal termudah bagiku... meskipun dalam keramaian pun, aku akan tetap menemukan keberadaan mu hanya dengan tatapan tajam ku.’ Batin Aletha saat ia sudah menemukan sosok orang yang hendak berbuat jahat kepadanya.
Tatapan Aletha menajam, ia melihat orang itu adalah Alexander. Aletha benar-benar merasa geram setelah menyadari bahwa itu Alexander. Mengerutkan giginya dan mengepalkan genggaman tangannya, itulah yang Aletha lakukan saat ini. Rasanya ia ingin segera menghampiri Alexander dan memberi hantaman kepada lelaki itu. Tapi, Aletha tidak mau berbuat gegabah, karena ia melihat Alexander bersiap-siap untuk meluncurkan pelurunya ke arah Fajar, tepatnya di dada Fajar.
”Tidak. Aku tidak akan membiarkan kak Fajar terluka. Tapi ... aku harus bagaimana?”
Aletha dilanda rasa bingung yang seakan mengamcamnya. Karena ia tidak memiliki senjata apapun untuk menyerang Alexander. Hingga akhirnya satu kata yang bisa diucapkan saat ini ... terlambat.
”Dorr...”
Peluru itu meluncur begitu saja ke tubuh Fajar. Dan terlihat, Fajar terkejut lalu jatuh ke lantai seraya memegangi dadanya. Aketha yang melihat dengan jelas, akhirnya berlari sekencang mungkin agar segera sampai di tempat Fajar tergeletak yang sudah di kerumunin oleh banyak orang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments