...Pesan tersendiri untuk diriku ini. Cinta memang tidak mudah dipaksakan dengan siapa pula kita akan berjodoh. Hanya satu yang patut untuk diyakini yaitu , takdir....
****
Sang fajar mulai menyingsing, memancarkan kehangatan di pagi hari. Begitupun dengan Aletha yang seketika terbangun saat merasakan pancaran sinar matahari dari sela-sela jendelanya. Lalu, ia pun menatap jam yang berdetak di atas nakas. Dipandangnya jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.
"Oh my God! Aletha, bodoh sekali kamu ini!" gerutu kesal Aletha.
Aletha segera beranjak dari atas kasurnya lalu, menuju ke kamar mandi untuk segera membersihkan tubuhnya sekaligus menyegarkan wajah yang terasa berminyak. Setelah kurang lebih lima belas menit, akhirnya Aletha pun keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang menutupi sebagian tubuhnya_handuk khsusu pengering rambut pun ia pakai.
"Akh, segarnya!"
Saat merasakan kesegaran dalam tubuhnya tiba-tiba pintu kamar pun terdengar ada ketukan dari arah luar. Entah siapa yang bertengger di sana? Dan ketukan itu dilakukan beberapa kali seraya memanggil nama Aletha. Bahkan meminta Aletha untuk segera membuka pintu kamar tersebut. Pada akhirnya Aletha pun melakukan perintah itu.
"Ceklek,"
"Selamat pagi sayang,"
"Ada apa? Apa ada hal penting?" ketus Aletha.
"He ... he ... maaf, sayangnya ... tidak ada hal yang penting pagi ini untuk kamu." Jawab Luna terkekeh.
"Sial!" umpat Aletha.
Aletha sungguh berdecik kesal terhadap kelakuan kakak nya itu. Ya ... seperti itu lah kehidupan keluarga Aletha. Mesikoun bukan saudara sedarah, tetapi mereka saling menyayangi satu sama lain, bercanda dan tertawa bersama. Bahkan mereka juga ingin memiliki perkerjaan yang sama. Namun, hanya berbeda tentang tempat di mana mereka akan menempuh pendidikan yang tinggi.
"Al, mau tidak kamu temani kakak pagi ini? Hanya sebentar saja." Teriak Luna.
Karena pintu yang sudah ditutup kembali oleh Aletha_membuat Luna harus berteriak agar Aletha mendengar ajakan yang ia ajukan. Dan tidak membutuhkan waktu yang lama Aletha segera menjawab sekaligus melontarkan pertanyaan terhadap Luna yang masih setia berdiri di sana.
"Aku mau tapi ... kemana dulu, Kak?"
"Ceklek,"
Pintu kamar dibuka kembali oleh Aletha lalu, mereka saling pandang dan sedikit candaan pun mereka lakukan. Dan ajakan itu pun berujung dengan kebahagiaan, meskipun di dalam hati Aletha masih merasakan luka yang tajam bak pisau bedah yang sudah menusuk hati dan jantungnya_seolah jantung telah berhenti untuk berdetak.
"Al, apa kamu yakin dengan keputusanmu itu? Kenapa kita tidak satu Universitas saja di Jakarta?"
"Kak, aku hanya ingin mengejar cita-cita dan rasa inginku saja. Jika aku sudah lulus dan mendapatkan kerja di sana, paling tidak bertahan untuk satu tahun saja. Itu pun ... kalau aku betah menahan rasa rindu terhadap kakak ku yang satu ini. He ... he ... he," kekeh Aletha.
Saat pembicaraan sederhana itu berlangsung sejenak harus terhenti saat ketukan pelan telah terdengar di gendang telinga mereka. Lalu, Luna pun memutuskan untuk membuka pintu tersebut dan memastikan siapa yang sudah bertamu di rumahnya sepagi ini. Dan saat Luna membuka pintu ia dikejutkan dengan selembar undangan yang namanya tertulis jelas di sana. Pak kurir yang mengantarnya pun pergi setelah Luna menerima paket tersebut.
"Tara dan Cl ... Clara? Siapa wanita ini?" batin Luna.
Luna pun mengenga setelah membaca pemilik undangan tersebut, tetapi tangan Luna seketika menutup mulutnya. Terlihat jelas bahwa Luna merasa terkejut_tidak memercayai apa yang baru saja ia terima. Sebuah undangan pernikahan yang akan dilangsungkan hari itu juga oleh Tara dengan pasangannya, Clara. Wanita yang dijodohkan dengan Tara tidak lain adalah wanita yang bernama Clara.
"Oh, jadi ini yang membuat Aletha marah seperti itu kemaren? Dan malah merusak harga dirinya sendiri saat berada di tepi jalan. Bre****k kamu, Tara." batin Luna yang ikut teriris.
Luna masih tampak termenung di depan pintu_yang membuat Rena menghentikan aktivitasnya sejenak lalu, menghampiri Luna dan bertanya kepadanya, "Luna, ada apa? Kenapa kamu tidak segera masuk? Apa terjadi sesuatu hal?"
Luna tidak mampu menjawab dengan rangkaian kata-kata. Melainkan hanya menyodorkan selembar undangan pernikahan kepada Rena, mama nya. Hal sama pun dilakukan oleh Rena, terkejut itu sudah pasti. Bagaimana, tidak? Sedangkan mereka tahu bahwa Aletha sangat mencintai Tara, begitupun dengan Tara yang sama halnya mencintai Aletha. Namun, kenyataan pahit saat ini sedang dirasakan putri sambungnya itu.
"Kak, jadi pergi?"
Pertanyaan itu seketika membuyarkan lamunan Luna dan juga Rena. Dan saat menyadari bahwa ada Aletha di samping mereka, Rena pun segera menyembunyikan undangan tersebut. Dalam hati nya pun ikut teriris dan miris saat menerawang bayangan Aletha hidup bahagia bersama Tara, kekasih pujaan Aletha selama ini.Namun, kenyataan telah berkata lain_takdir tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
"Kenapa Mama sama kak Lina menatapku seperti itu?"
"Lalu ... undangan milik siapa itu?"
Aletha terus melontarkan pertanyaan kepada dia wanita yang berada didepannya. Sedangkan Rena dan Lina merasa tercekat atas setiap pertanyaan Aletha. Namun, pada akhirnya Aletha pun mengetahui undangan dari Tara tersebut. Karena merasa penasaran, ia merebutnya dari tangan Rina.
"Aletha..."
"Hem ... sudahlah! Mama dan kak Lina tidak perlu khawatir. Aletha sudah tahu semuanya kok."
"Apa ... karena ini kamu mau ke Amerika?" tanya Rena nampak ragu.
"Tidak. Aletha punya satu alasan kenapa Aletha mau pergi ke Amerika, Ma. Tapi bukan karena ini."
Aletha begitu tenang saat menjawabnya. Dan tidak menampakkan ekspresi sedih seperti kemaren. Namun, hati Rena dan juga Lina merasa tidak tenang_mata mereka masih setia menatap dalam Aletha. Akan tetapi, justru sebaliknya_Aletha nampak memperlihatkan senyuman yang sungguh manis.
"Kak, jadi kan ke pantai?"
"Emm ... baiklah! Kalau begitu kakak ambil tas dulu."
******
Siang itu Aletha menghabiskan waktu bersama Lina di sebuah pantai yang pernah dikunjungi oleh Aletha saat patah hatihati_saat cintanya dengan Tara telah berakhir. Dan saat menikmati pemandangan pantai di sana tiba-tiba Aletha mengingat lelaki yang menyapanya.
"Sial! Kenapa aku teringat perkataan bodoh lelaki itu?" umpat Aletha dalam batinnya.
"Kenapa wajahmu berubah seperti itu?" tanya Luna saat melihat Aletha nampak kesal.
"Akh tidak, kak. Aku ... hanya ingin buang air kecil sebentar."
Aletha berlari terburu-buru untuk menghindari Luna yang mulai mempertanyakan ekspresi wajahnya saat mengingat lelaki yang begitu menyebalkan baginya. Dan Aletha juga sering mengumpat kesal saat memori ingatannya kembali tentang lelaki yang menyatakan bahwa dirinya adalah gadis bodoh.
"Sial ... sial ... sial! Arghhh ... Lelaki gila itu, kenapa bisa begitu melekat dalam memoriku?"
Aletha begitu merasa kesal_untuk membuat mood nya kembali ia menghidupkan air keran lalu menyiram wajahnya sampai beberapa kali. Sehingga kesegaran dapat ia rasakan kembali. Dan setelah Aletha cukup merasa tenang, ia segera kembali menemui Lina_takut jika Lina merasa khawatir dengan keadaannya yang tak kunjung kembali.
"Bruk,"
Tabrakan pun terjadi secara tiba-tiba saat berada di depan toilet wanita. Aletha pun seketika tersungkur ke bawah dan mengaduh kesakitan, karena luntutnya berdarah setelah terbentur baru kerikil yang tajam.
"Maaf, saya tidak sengaja."
"Tidak apa-apa. Mungkin saya kurang hati-hati. Ya sudah, saya permisi dulu!"
*****
"Lama sekali pergi ke toilet nya, dek?"
"Maaf kak, tadi ada kejadian yeng menghalangi langkahku." Aletha menyengir.
"Ha ... ha ... ha ..." Luna pun tertawa terpingkal.
"Dek, kakak boleh bertanya?"
Deg...
Aletha seketika berhenti tertawa saat Lina menatapnya tajam dengan ekspresi wajah yang nampak serius. Dengan ragu Aletha menjawab iya kepada Lina, meskipun dalam hatinya merasa penasaran dengan pertanyaan Lina yang belum dilontarkan.
"Apa kamu yakin, sudah merelakan Tara? Dan ... apa kamu benar sudah baik-baik saja?"
"Kak Lina tenang saja dan jangan khawatir! Cinta memang tidak mudah dipaksakan dengan siapa pula kita akan berjodoh. Hanya satu yang patut untuk diyakini yaitu , takdir. Dan aku juga tidak bisa memaksa Tara untuk mempertahankan aku, kak." Senyum pun terukir di bibir Aletha.
Jawaban Aletha membuat Lina sedikit merasa lega. Bahkan Lina tidak merasa khawatir lagi untuk melepas Aletha pergi dari kota Jakarta, tepatnya Indonesia. Demi menempuh pendidikan yang diinginkan, ikhlas lebih baik bagi Lina.
*****
Akhirnya kini Aletha berada di Bandara Jakarta_menanti keberangkatannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments