Menatapmu begitu indah, terutama saat netra ini kau kunci. Entah apa yang sudah membuat pertemuan ini seolah takdir Tuhan yang tidak bisa dihindari. Dosa kah aku jika menatapmu seperti ini?
*****
"Dasar, gadis bodoh dan gila."
Tiba-tiba ucapan seorang lelaki menyadarkan Aletha dari lamunannya. Lalu, Aletha pun menoleh ke arah pemilik suara tersebut seraya menyapu area sekitar. Namun, tidak ada orang lain selain dirinya. Dan pertanyaan pun terlontar dari bibir Aletha terhadap lelaki tersebut.
"Kamu bicara sama saya? Kamu ngatain saya juga?"
Begitu enteng pertanyaan itu keluar begitu saja dengan nada ketusnya. Sedangkan lelaki itu sejenak terdiam seraya menatap Aletha dengan tajam. Dan tanpa di sadari mata mereka terkunci_tatapan mereka pun bertemu. Namun, ia itu tidak berlangsung lama karena, lelaki tegap itu segera mengalihkan pandangannya. Begitupun hal nya dengan Aletha yang melakukan hal sama.
"Iya. Saya memang bicara sama kamu, gadis ABG yang tidak tahu malu."
Ucapan itu begitu menohok Aletha. Seketika membuat mulut Aletha menganga karena baru kali pertama dia dikatakan gadis ABG yang gila dan tidak tahu malu. Mungkin itu sungguh keterlaluan, tetapi tidak bagi lelaki itu. Meskipun lelaki itu sendiri sebenarnya tengah patah hati juga, sama seperti Aletha.
"Sial sekali aku bertemu dengan lelaki sekasar kamu. Tapi ... kali ini kamu saya lolosin, karena saat ini suasana hatiku lagi kurang baik. So, lebih baik saya saja yang mengalah. Permisi!" ketus Aletha.
"Silahkan! Toh, tidak ada yang melarang."
Aletha pun pergi dan enyah dari pandangan lelaki itu. Begitupun dengan lelaki yang memiliki tubuh berisi itu, berkulit putih dan berkharisma_pergi meninggalkan pantai setelah menerima sebuah panggilan dari benda pipih yang berada di dalam sakunya. Entah siapa sebenarnya lelaki itu? Dan entah siapa yang baru saja berbicara dengannya melalui udara.
****
"Sial! Hari ini aku benar-benar sial! Arghhh,"
Beberapa kali Aletha mengumpat dan mengacak kasar rambutnya yang terurai itu. Gadis berparas cantik itu begitu merasa kesal, bibirnya pun ia manyunkan ke depan saat memasuki halaman rumahnya. Dan saat hendak masuk ke dalam rumah, ada rasa ragu di dalam hatinya. Bahkan rasanya ia tidak ingin bertemu dengan keluarganya itu terutama, papa nya.
"Haruskah aku masuk sekarang? Bagaimana kalau Papa di rumah?"
Setelah berdiri dan berpikir cukup panjang, akhirnya Aletha memutuskan untuk masuk dan menyapa siapa saja jika bertemu dengan keluarganya. Dan apa yang dikhawatirkan nya pun telah terjadi, Tuan Bagas Kara tengah duduk di ruang keluarga seraya meneduh kopi hitam sebagai minuman favoritnya.
Derap kaki sengaja Aletha pelankan, agar Tuan Bagas Kara tidak mendengarnya. Namun, tajamnya pendengaran Tuan Bagas Kara seketika membuat Aletha terhenti lalu, tanpa sebuah permintaan pun Aletha mengerti apa yang diinginkan papa nya itu.
"Aletha,"
"Iya, Pa. Ada apa?"
"Darimana kamu? Kenapa langkahmu seperti itu? Mengendap-endap di rumah sendiri bagaikan mau maling saja,"
"Ah ... tidak bermaksud apa-apa kok, Pa. Hanya saja, sepatu yang Aletha pakai sedikit kotor, kan kasihan jika bik Inah harus membersihkan berulang-ulang." Elak Aletha memberi alasan.
"Kamu pikir Papa ini bodoh? Sehingga mudah dikibulin sama kamu? Tadi Papa melihat kamu berhenti di tepi jalan dan berbuat onar. Benar, bukan?"
Tidak mudah bagi Aletha membohongi papa nya, sehingga membuat Aletha berkata jujur sejujurnya tentang apa yang dialami olehnya hari itu. Namun, hanya ekspresi datar dan perlakuan yang biasa-biasa saja dari Tuan Bagas Kara setelah mengetahui akan hal itu. Justru sebuah permintaan aneh yang membuat Aletha seketika merasa kesal.
"Papa sudah pernah bilang, jangan terlalu main-main dengan hidup. Tentukan pilihan kamu malam ini juga!"
"Apa harus malam ini, Pa?"
"Iya. Karena besok sudah Papa tentukan apa yang harus kamu lakukan setelah memberikan keputusanmu."
Lagi dan lagi Aletha memanyunkan bibirnya sedikit ke depan seraya menggerutu kesal. Karena baginya itu belum ada kepastian_masih diambang tanpa arah tujuan. Sedangkan saat ini ia hanya ingin tempat yang nyaman. Namun, saat berada di dalam kamarnya terbesit tentang lelaki itu. Lelaki yang sudah mengatainya dengan serangkaian kata yang tidak bisa ia diamkan saja jika itu terjadi lagi.
"Mungkin memang benar apa yang dikatakan lelaki itu tadi. Aku hanyalah gadis ABG yang masih labil. Tetapi ... aku sudah lulus SMA, jadi aku harus bisa mengubah sikapku ini. Bukankah, akan ada lebih dari ini masalah yang akan aku hadapi nanti? Kenapa aku harus menyerah secepat ini?" senyum sungging pun terlukis dari bibirnya.
"Aletha, kamu siap dengan keputusanmu ini. Ikhlas? Jika, ditanya seperti itu jelas jawabanku tidak. Tapi aku tidak mungkin menunggunya yang sebentar lagi akan menjadi suami orang."
Setelah Aletha berusaha bangkit, beberapa lembar fotonya dengan Tara ia ambil lalu, dibakar sampai menjadi abu yang hancur dengan sendirinya. Senyum puas pun kembali terlukis dari bibirnya, perlahan luka yang menguak hati ia kubur dalam. Meskipun itu sebenarnya terasa begitu sulit. Tapi pola pikirnya berbeda, karena ia memikirkan masa depannya_entah luka yang semakin menyakitkan atau akan berbuah manis dalam kisah asmaranya.
****
Acara makan malam bersama keluarga pun telah dilakukan. Dan setelah usai, Tuan Bagas Kara kembali bertanya kepada putrinya itu. Dengan suara lantang dan penuh dengan keyakinan Aletha pun memberikan jawaban atas pertanyaan papa nya tadi. Dan jawaban itu sukses membuat papa, mama tiri dan saudara tirinya seketika terkejut.
"Aletha mau melanjutkan kuliah di Amerika ... dan tinggal bersama Mama di sana."
"Apa kamu yakin dengan keputusanmu?"
"Aletha yakin, Pa."
"Dek, apa kamu yakin? Kamu tidak sedang mengambil keputusan dengan kemarahan terhadap kak Luna, kan?"
"Tidak lah, Kak. Aletha yakin dengan keputusan yang sudah bulat ini. Bahkan Aletha berpikir besok adalah hari yang baik untuk pergi ke sana dan segera mendaftarkan diri di salah satu Universitas di sana."
Sejenak suasana berubah menjadi hening_nampak Tuan Bagas Kara tengah berpikir dengan apa yang sudah diputuskan oleh Aletha. Setelah berpikir cukup panjang, akhirnya Tuan Bagas Kara mengiyakan keinginan Aletha tersebut. Karena baginya, masa depan Aletha hanyalah Aletha sendiri yang harus memutuskan dan bagaimana pun konsekuensi yang akan terjadi atas keputusannya tersebut, Aletha harus menanggungnya sendiri. Tuan Bagas Kara begitu keras mendidik anak kandungnya beserta anak sambungnya, agar kelak menjadi seorang wanita yang mampu bersikap dewasa, bijak dan tidak direndahkan oleh seorang pun.
****
Malam sudah semakin melarut, jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Namun, sepasang mata kecoklatan milik Aletha masih terjaga. Karena ia kembali memikirkan tentang Tara yang esok akan menjadi imam orang lain, bukan dirinya. Tapi perasaan cinta ia tepiskan, karena ia sadar akan semakin terluka jika memori tentang Tara masih melekat dalam otaknya.
"Tidak, Aletha. Kamu pasti bisa melupakan Tara."
Penuh semangat cinta itu ditepiskannya_dikubur dalam. Dan di saat itu, Aletha tiba-tiba kembali mengingat tatapan yang tidak sengaja terjadi antara dirinya dengan lelaki itu_dalam hatinya pun berkata, "Tanpa sengaja mata ini terkunci, lalu tatapan antara aku dengannya terjadi. Seolah takdir Tuhan memang ada. Dosa kah jika aku menatapnya seperti tadi?"
Lalu, perlahan Aletha pun terpejam_entah dari jam berapa Aletha mulai memejamkan sepasang matanya yang sudah lengket. Bahkan kini ia pun sudah berada di alam mimpi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments