”Ya Allah ... hamba tahu kalau hamba tak pandai bersyukur atas apa yang Engkau berikan. Hamba hanya pandai mengeluh dan terus mengeluh kepada-Mu. Kini ... hamba kembali melangitkan do'a kepada-Mu, jika ... hamba berjodoh dengan kak Fajar, maka permudahkan lah urusan kami tanpa adanya zina.”
Aletha memakai mukena yang berwarna putih dengan sedikit manik-manik untuk mempercantik mukena tersebut. Tidak lama kemudian terbentang lah sajadah ke arah kiblat, lalu Aletha menjalankan sholatnya sekhusu' mungkin. Dan dalam sujud terakhir, ia mengadu dan melangitkan do'a kepada Sang Pencipta.
”Ya Allah ... hamba tahu kalau hamba tak pandai bersyukur atas apa yang Engkau berikan. Hamba hanya pandai mengeluh dan terus mengeluh kepada-Mu. Kini ... hamba kembali melangitkan do'a kepada-Mu, jika ... hamba berjodoh dengan kak Fajar, maka permudahkan lah urusan kami tanpa adanya zina.” Gumam Aletha lirih.
Setelah usai menjalankan sholat sunnah istikharah, Aletha sejenak berdiam diri di sisi kanan ruang kamar kosnya. Tepatnya ia berada di samping jendela, tetapi malam itu jendela sudah ia tutup rapat, hanya saja gorden yang menghiasi jendela tersebut masih dibuka dengan lebar.
Malam kian melarut, hanya kerlipan remang antara bintang dan bulan yang menemani malam Aletha. Karena lampu setiap gedung dan rumah telah dipadamkan kecuali ... lampu setiap jalan. Namun, bagi Aletha suasana sunyi sedemikian membuatnya merasa tenang dan damai saat rasa bimbang dan rindu telah menerpa dalam setiap malam-malamnya.
”Aku akan mencoba mengirim pesan untuk kak Luna. Ah tidak, aku akan mengirim pesan langsung kepada Papa saja.” Pekik Aletha.
Segera Aletha meraih ponselnya yang berada di atas nakas. Karena ia tidak ingin mengurungkan niatnya lagi untuk menghubungi Bagas Kara, walaupun hanya melalui pesan singkat saja. Setidaknya rasa rindu dan kecemasan yang menyelimuti dirinya malam itu telah terobati sejenak.
”Assalamu'alaikum, Pa. Emm ... maafin Aletha jika, Aletha baru bisa menghubungi Papa. Di sini Aletha baik-baik saja, bagaimana kabar Papa? Jaga kesehatan, jangan lupa untuk makan tepat waktu. Dan Aletha janji, akan sesering mungkin untuk memberi pesan kepada Papa.” Senyum tipis telah terukir di bibir Aletha.
Setelah mengirim pesan singkat kepada Bagas Kara, Aletha memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di samping Laura yang sudah tertidur kembali setelah memberikan penuturan singkat kepada Aletha. Selimut tebal yang selalu menghangatkan malamnya, kini telah ditarik sampai menutupi sebagian tubuhnya dan juga Laura.
Waktu terus berjalan dengan begitu cepat, hampir empat tahun sudah Aletha menempuh pendidikan di Amerika. Begitupun dengan Laura, kini ia juga hampir lulus dan di wisuda bersama Aletha. Sedangkan Fajar, ia sudah lulus terlebih dahulu dari mereka. Bahkan Fajar kini sudah bekerja menjadi seorang dokter di salah satu rumah sakit di Amerika. Tetapi, Fajar juga tidak pernah berhenti berkunjung ke Universitas nya dulu, di mana Aletha dan Laura masih berada di sana.
”Al, tadi kata pak Robert ada surat untuk kamu. Nih!” Laura menyodorkan selembat kertas yang dilipat rapi kepada Aletha.
”Dari siapa, Ra?” tanya Aletha penasaran.
”Entahlah!” Laura hanya mengedikkan kedua bahunya.
Aletha dan Laura memang penasaran dengan siapa yang mengirimkan surat itu, bahkan mereka juga merasa penasaran dengan isi di dalam surat tersebut. Tetapi, mereka mengurungkan niat untuk membuka surat itu dan membacanya, karena mereka harus mengayuh sepeda-melanjutkan perjalanan menuju ke tempat kos.
Keduanya menikmati perjalanan dalam setiap ayuhan dengan suasana kota yang cukup ramai sore itu. Dan selama hampir empat tahun mereka juga tidak pernah berkeluh kesah tentang kehidupan sederhana mereka saat dalam perantauan. Hanya ada canda tawa riuh yang selalu menghiasi mereka dalam setiap hari-hari. Seperti sore itu saat masih dalam perjalanan, tak hentinya canda tawa menghiasi mereka.
Setelah satu jam mengayuh sepeda, kini mereka masuk ke dalam kamar dan merebahkan sejenak tubuh mereka yang merasa lelah. Keduanya mengamati_menyapu setiap sudut ruangan persegi itu dengan beberapa foto berbingkai milik Laura sebagai penghiasnya. Sedangkan Aletha, ia tidak pernah memajang foto siapapun dalam kamar itu, bahkan mengenalkan siapa ayahnya kepada Laura saja tidak.
”Al, tidak terasa ya kita hampir saja meninggalkan negara ini.” Ucap Laura dengan seulas senyuman.
”Kamu benar, Ra. Dan tidak terasa juga persahabatan kita sudah selama itu. Yang membuatku menyadari betapa penting dan berharganya dirimu untukku, tanpa kamu ... aku tidak akan mengerti banyak hal.”
”Sama, Al. Aku juga tidak akan mengalami banyak hal tanpa adanya kamu. Dan ... bagiku itulah gunanya seorang sahabat.”
Keduanya melepas lelah dengan mengenang masa pertama mereka saling mengenal hingga saat ini. Rasanya mereka begitu enggan untuk berpisah setelah wisuda nanti. Tapi, mereka harus tetap menjalankan kehidupan mereka meskipun tidak saling bersama, tetapi tetap saling menyapa melalui udara.
Satu bulan lagi mereka akan mendapatkan tugas skripsi_yang menentukan bagaimana masa depan mereka nanti. Dan saat ini mereka ingin bersenang-senang terlebih dahulu sebelum banyak tugas yang akan membuat otak dan tenaga mereka terkuras habis.
”Ra, bagaimana kalau nanti kita ke pasar malam?”
”Emm ... boleh juga, Al. Ya ... itung-itung kita bersenang-senang di sini sebelum nanti kembali ke Indonesia.”
Dan akhirnya mereka saling berjanji untuk mendatangi acara pasar malam yang digelar di sana. Kebetulan sekali, malam itu adalah malam minggu_malam yang digunakan sebagai ciri khas bagi anak remaja untuk nongkrong bersama teman-teman mereka.
Malam pun telah tiba, Aletha bersiap-siap mengenakan kaos lengan panjang dan juga celana jeans hitamnya dengan rambut yang sebagai diurai. Sedangkan Laura, ia mengenakan gamis panjang bermotif bunga dengan corak warna biru tua yang dipadukan dengan jilbab berwarna hitam. Begitulah kehidupan sehari-hari mereka, memiliki agama yang sama tetapi, cara berpakaian yang berbeda. Namun, mereka tidak mempermasalahkan akan hal itu.
”Are you ready, Ra?” tanya Aletha memastikan.
”Ready!” jawab Laura dengan semangat.
”Ok. Let's Go...!”
Aletha dan Laura kembali mengatuh sepeda untuk pergi ke pasar malam yang masih digelar di sana. Hal yang sama telah mereka lakukan, di mana keduanya saling canda dan tawa saat perjalanan. Dan malam itu terasa begitu indah, banyak lampu terang yang menerangi malam, cahaya rembulan dan kerlap-kerlip bintang adalah penghias terindah pada malam itu.
Setelah mengayuh sepeda, akhirnya mereka pun sampai di tempat pasar malam. Dan dengan segera mereka menikmati kehangatan, keramaian dan juga keindahan pasar malam yang sebelumnya belum pernah mereka temui di sana. Bahkan setiap momen selalu mereka abadikan dengan kamera. Tetapi, saat kebahagiaan di antara mereka benar-benar mereka rasakan tiba-tiba seseorang telah menghancurkan rasa bahagia itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments