...’Melupakan masa lalu memang teramat sulit ... apalagi jika itu sudah membuat hati terluka. Tapi ... saat mengenalmu ada rasa tersendiri yang mampu membuat memori hitam ku menjadi berwarna.’...
Satu bulan telah berlalu dengan begitu cepat. Aletha menjalani hidup di negara itu dengan rasa bahagia, terutama saat mengenal sosok Laura yang memberikan warna dalam hidupnya. Pengalaman baru hampir setiap hari Aletha lakukan bersama Laura. Meskipun tidak bergelimang harta, Aletha tidak sedikitpun mengeluh. Bahkan Aletha juga tidak menyebutkan siapa ia yang sebernarnya kepada Laura. Karena Aletha merasa nyaman dengan hidup serba kesederhanaan bersama Laura.
”Ra, baju itu terlihat bagus deh!”
”Iya sih bagus, Al. Tapi sayang ... tidak pas jika aku yang memakai hijab. Lagipula pasti harganya juga mahal.”
”Ya... ya... ya, kamu memang benar. Bagaimana kalau sekarang kita makan saja, aku laper.” Ajak Aletha nyengir.
Hari yang begitu panas membuat seorang Aletha merasa kegerahan, seolah matahari sudah membakar kulitnya sampai gosong. Akh, lebay nih Aletha. Wkwkwk...
Hati yang sudah siang itu membuat Aletha merasakan lapar, cacing-cacing di perutnya sudah mulai meronta meminta jatah makanan di kala itu. Tanpa menunggu lama lagi Aletha dan Laura menuju ke tempat makan sederhana di sana. Mungkin para pembaca lagi mikir nih, memangnya ada ya warung makan sederhana di Amerika Serikat?
”Pemandangan yang indah ya, Ra. Bagaimana kalau hari libur berikutnya kita bersepeda lagi?”
”Bolehlah, kalau aku pas lagi tidak sibuk ya!” jawab Laura yang tetap mengatuh sepeda.
”Yah, kok gitu sih, Ra?” ada rasa sedikit kecewa.
Laura hanya terkekeh melihat ekspresi wajah Aletha yang cemberut karena kecewa terhadap jawabannya. Tapi, seorang Aletha tidak akan pernah marah kepada Laura, dan rasa kecewanya itu hanyalah semu. Karena pada akhirnya mereka kembali saling melengkapi, saling membantu dan saling mendoakan.
Hati itu memang jadwal kuliah mereka telah libur, tepatnya hari itu adalah hari minggu. Dan Aletha bersepeda dengan Laura di Philadelphia, bahkan kini mereka menghentikan sepedanya di depan warung makan sederhana, di mana warung makan tersebut sudah terkenal dengan nama Hardena Waroeng Surabaya. Yang didirikan sekitar 10 tahun lalu.
”Ra, kita duduk di sana yuk!” ajak Aletha yang menunjuk ke bagian ujung.
”Boleh. Kamu pesen makanan dulu ya, Al. Aku mau ke toilet sebentar.”
”Mau di pesenin apa, Ra?”
”Seperti biasa saja,”
Dan seperti biasa, Aletha memesankan makanan khas Surabaya yang sudah sangat terkenal di Philadelphia. Karena hampir sering makan berdua di sana, jadi Aletha tahu betul makanan kesukaan Laura.
Sejenak Aletha merajuk dengan benda pipihnya saat Laura masih berada di toilet umum. Sebuah pesan telah masuk ke nomornya, tetapi rasanya begitu enggan untuk sekedar membalas pesan itu. Hanya terbaca, lalu diabaikan kembali.
”Dek, kamu apa kabar? Kenapa tidak pernah memberi kabar kepada Kakak jika ... kamu tidak mau memberi kabar kepada Papa ataupun Mama? Kak Luna rindu,”
’Deg...’
Hati kembali ternyuh atas rindu yang memberikan kesedihan. Ingin menyapa tapi tak bisa, ingin menulis pesan tetapi masih begitu enggan. Ya ... selama satu bulan berada di Amerika Serikat Aletha masih belum memberikan kabar apapun kepada keluarga Bagas Kara. Dan itu ia lakukan karena luka.
”Maafkan Aletha, kak Luna. Melupakan masa lalu memang teramat sulit ... apalagi jika itu sudah membuat hati terluka. Tapi ... saat mengenal Laura, ada rasa tersendiri yang mampu membuat memori hitam ku menjadi berwarna. Jadi, aku ingin menikmati kesederhanaan dengan Laura.” Batin Aletha.
Aletha memilih meninggalkan beberapa fasilitas yang diberikan Bagas Kara terhadapnya. Bahkan ia rela naik sepeda atau naik bus untuk pergi ke Universitas di mana ia menempuh pendidikannya. Jurusan yang diambil pun sama dengan Laura, dokter ahli bedah jantung.
”Ya Allah ... Engkau mampu memperkenalkan aku dengan Laura, sehingga diri ini harus melewati bagaimana berjuang untuk hidup dan bersyukur atas apa yang Engkau berikan kepada ku, meskipun itu ... banyak kesederhanaan.” Aletha menyapu setiap sudut ruangan warung sederhana itu.
Seorang pelayan tengah berjalan menuju ke arah meja Aletha dengan membawa nampan yang diisi dengan beberapa makanan yang sudah dipesan Aletha tadi. Dengan senyum ramah Aletha menyambut pelayan tersebut. Dan tidak lama kemudian Laura datang.
Aletha dan Laura kini menyantap makanan itu dengan khidmat. Selalu ada rasa syukur saat menjalankan apapun itu, termasuk makanan khas Indonesia yang mereka santap siang itu. Semenjak mengenal Laura, Aletha sering menjalankan sholat lima waktu, membaca mushaf dan juga bertutur kata dengan sopan. Walaupun sampai saat ini Aletha masih belum siap untuk memakai hijab. Namun, Laura tidak pernah menuntut cara berpakaian Aletha, asalkan itu masih menutup aurat.
”Ra, kali ini aku yang bayar ya?”
”Ah tidak perlu lah, Al. Aku bayar sendiri saja, ya?”
”Sudahlah, Ra! Aku baru mendapatkan rejeki loh ini, jadi ... tak apa jika aku yang traktir kamu.” Senyum manis terukir indah di bibir Aletha.
”Ok lah, semoga rejeki kamu tetap lancar, Al.” Itulah doa yang selalu terucap dari seorang Laura.
Satu detik...
Dua detik...
Mereka berdua masih menikmati makanan khas Indonesia, tepatnya khas Surabaya. Dan saat mereka menikmati makanan itu tiba-tiba seseorang menghampiri meja makan mereka. Lalu menyapa mereka dengan amat sopan_dengan senyum yang menghiasi wajah tampan lelaki itu.
”Assalamu'alaikum,”
”Wa'alaikumsalam,” jawab Aletha dan Laura bersamaan.
Terlihat jelas Aletha dan Laura yang merasa terkejut atas kehadiran lelaki itu. Seorang lelaki yang bernama Fajar Nur Rahman, yang memiliki ketampanan khas Indonesia. Namun, tak kalah tampan dan menarik dengan lelaki bule di sana. Justru Fajar lah yang mampu menarik perhatian wanita yang berkuliah dengannya. Akan tetapi, tidak dengan dua wanita yang saat ini saling bertatap muka dengan Fajar.
”Kak, Fajar...”
”Iya, Laura. Kamu makan disini?” tanya Fajar sekedar basa-basi.
”Eh ... i ... iya, kak. Kak Fajar juga makan disini?”
Laura nampak gugup saat menjawab pertanyaan seorang Fajar, seniornya. Sedangkan Aletha, ia biasa saja_tidak menganggap adanya Fajar di sana. Bahkan Aletha terus menikmati makanan yang tersaji di atas mejanya. Berbeda dengan Fajar, meskipun ia menyapa Laura tetapi, pandangannya sesekali tertuju ke arah Aletha.
”Sungguh, Dia wanita yang aku rasa berbeda dengan wanita lainnya. Aletha ... kenapa aku merasa ... akh, tak mungkin secepat itu aku memutuskan perasaanku.” Batin Fajar saat memandang Aletha.
Perasaan yang bergejolak telah singgah sejenak di hati Fajar, senior Aletha dan Laura. Fajar yang dari Indonesia telah mendapatkan beasiswa full dari negara, sehingga ia mampu berkuliah di Amerika Serikat dengan jurusan yang sama. Dan saat pertama kali memandang Aletha, hatinya berdenyut nyeri_ada rasa yang berbeda yang membuat jantungnya berdesir hebat. Mungkinkah itu .... Cinta? Akan tetapi, berbeda dengan Aletha, karena ia masih enggan untuk membuka hatinya setelah terluka karena cinta.
Notes... anggap saja mereka bertiga berbicara dengan bahasa Indonesia karena, mereka berasal dari Indonesia. Sedangkan saat bicara dengan orang asing anggap saja mereka berbicara dengan bahasa Inggris.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments