”Cinta...? Haruskah aku membuka hati dan memercayai cinta? Tidak. Sakit karena cinta sudah terlalu pahit terjadi kepadaku. Sehingga aku tidak memercayai apa itu cinta.”
Aletha masih terdiam dalam heningnya malam. Merasa tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari seorang lelaki dihadapannya. Dan seakan memori tentang Tara kembali berputar-putar dalam otaknya. Sehingga membuat Aletha merasa geram_mengepalkan tangannya begitu erat dan mengatupkan rahangnya kuat.
”Jatuh hati padaku? Siapa kamu? Berani sekali sudah jatuh hati padaku. Maaf, asalkan kak Fajar tahu ... sampai saat ini aku tidak percaya dengan cinta. Karena cinta hanya akan menimbulkan luka di hati dan juga dalam hidup. Jadi ... jangan terlalu berharap kepadaku. Permisi, assalamu'alaikum.” Ketus Aletha, lalu pergi.
”Al, kamu boleh tidak memercayai cinta. Tapi Allah yang Maha tahu segalanya, termasuk takdir. Aku menyatakan perasaanku kepadamu, karena aku yakin kamu takdir yang Allah ciptakan untukku.” Teriak Fajar.
Seketika Aletha menghentikan langkahnya, lalu kembali berbalik dan menatap Fajar dengan tajam. Aletha meniliti benar bagaimana ekspresi wajah Fajar saat itu, ketika ia menolak cintanya. Ada kesenduan dalam kedua matanya, seakan merasakan kesedihan saat Aletha tidak mau membuka hati untuknya.
”Cinta...? Haruskah aku membuka hati dan memercayai cinta? Tidak. Sakit karena cinta sudah terlalu pahit terjadi kepadaku. Sehingga aku tidak memercayai apa itu cinta.” Batin Aletha yang masih menatap tajam Fajar.
Kedua bahu Fajar merosot ke bawah, hanya rasa pasrah kepada Allah yang bisa ia terima. Dan ia kembalikan takdir cintanya kepada Allah, melangitkan do'a dalam diamnya. Fajar percaya, jika takdirnya adalah Aletha maka, mereka akan dipertemukan dengan cara yang berbeda.
”Maaf kak Fajar, aku tidak bermaksud bicara kasar seperti itu tadi. Tapi ... aku benar-benar tidak percaya dengan cinta. Setelah aku mengalami kepahitan cinta, aku belum bisa membuka hati kembali. Sekali lagi maaf.” Aletha berusaha menarik kedua ujung bibirnya untuk memberikan senyum tipis kepada Fajar.
Setelah menatap dan meneliti secara seksama, langkah Aletha tertuju kepada Fajar. Ia berusaha minta maaf kepada Fajar, meskipun ia tetap menolak perasaan Fajar terhadapnya. Begitu amat sulit untuk seorang Aletha memercayai cinta, setelah kedua orang tuanya bercerai dan juga penghianatan Tara terhadapnya.
Aletha merasa hatinya terluka saat menatap sendu mata Fajar yang berdiri di hadapannya, tapi... itu hanya secuil saja. Dan ia berusaha untuk menghibur Fajar, agar tidak bersedih setelah menolak cintanya secara halus. Karena Aletha tidak bisa meluruhkan hatinya begitu saja.
”Tidak apa-apa, Al. Aku bukan lelaki yang bertipe memaksakan kehendak. Aku memang mencintai kamu, tapi jika hanya mencintai saja tanpa memiliki ... aku pun ikhlas. Karena cinta yang tulus bukanlah cinta yang akan memaksanya untuk tetap dimiliki, cinta yang tulus adalah merasa bahagia saat wanita yang aku cintai merasa bahagia dan sedih jika ... Dia juga bersedih.” Fajar menatap lekat wajah Aletha yang memang hanya berjarak satu centimeter saja.
Sungguh jawaban yang bijaksana dari seorang Fajar, yang mampu membuat Aletha terdiam dan membeku. Bahkan saat tatapan mereka beradu, ada desir hebat yang menjalar ke dalam tubuh Aletha. Jantungnya berdetak begitu kencang_seperti tak biasanya.
--------
”Sudah pulang, Al?” tanya Laura yang terbangun dari tidur.
Tepat pukul sebelas malam, Aletha baru saja kembali ke kos nya dengan perasaan yang beradu menjadi satu. Rasa bimbang, telah berhasil mengusai seorang Aletha. Dan rasa itu tidak dapat ia pendam sendiri, sehingga ia menumpahkan rasa yang beradu menjadi satu kepada Laura.
”Ra, aku ... boleh cerita sesuatu kepadamu?” Aletha menatap serius Laura yang masih belum sepenuhnya tersadar dari tidurnya.
”Cuci muka gih, aku mau cerita serius. Banget malah.” Gumam Aletha sembari mengerjapkan kedua matanya.
”Iya... iya... tunggu sebentar!”
Laura segera mengiyakan permintaan Aletha, menuju kamar mandi untuk membasuh muka yang memang masih merasa mengantuk. Tapi terpaksa bangun demi permintaan sahabatnya itu. Dan selepas Laura dari kamar mandi, ia mendapati Aletha yang tengah duduk di bibir kasur sedang melamun.
”Al, kamu kenapa?” tanya Laura yang membuyarkan lamunan Aletha seketika.
”Aku ... ada sedikit masalah, Ra. Aku dilanda rasa bimbang dan ... campur aduk gitu pokoknya!” keluh Aletha.
”Ya sudah, makanya cepat cerita!”
”Tapi ... aku bingung mau mulai darimana ceritanya, Ra?”
”Astaghfirullah hal azim, Al. Terus, tadi kenapa kamu minta aku cepat-cepat cuci muka?”
”Ya maaf, Ra. Tapi tiba-tiba saja aku bingung mau mulai ceritanya darimana.” Aletha menyengir.
Hening...
Satu detik...
Dua detik...
Tiga detik...
Aletha masih bertahan dengan diamnya, mencoba berpikir bagaimana cara memulai bercerita tentang Fajar yang mengungkapkan perasaannya kepada Laura. Sedangkan Laura, ia masih bertahan menemani Aletha yang seperti itu, memberi waktu kepada Aletha untuk berpikir dan menenangkan dirinya. Dan itulah sahabat yang sebenarnya, tidak meninggalkan satu sama lain ketika dalam kesusahan.
”Ra, tadi saat aku keluar aku ... bertemu dengan kak Fajar.”
”Iya, terus?” tanya Laura polos.
”Terus ... Dia ... menyatakan cintanya kepadaku.” Jawab Aletha dengan ragu.
”Hah?”
Laura terkejut, mulutnya menganga dengan lebar, tetapi tidak lama kemudian ia tersadar dan segera membungkam mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Rasa penasaran begitu menyelimuti dirinya, begitu antusias ingin mendengarkan cerita Aletha. Dan suasana berubah menjadi hangat setelah Laura memberikan tutur kata lembutnya sebagai seorang sahabat yang mengerti bagaimana Aletha.
”Aku menolaknya. Karena ... aku masih belum siap untuk membuka hati, Ra.” Gumam Aletha.
”Al, aku tahu rasa takut itu wajar bagi manusia. Tapi ... kita itu makhluk Allah, ada Allah yang berada di sisi kita. Kamu percaya takdir?” Laura memberikan senyum kepada Aletha.
”Dulu aku percaya, tapi setelah ... aku tidak berjodoh dengan Tara, aku tidak percaya takdir.”
”Sekarang kamu harus percaya, bagaimanapun juga takdir adalah ... cerita yang memang tidak kita ketahui bagaimana nanti. Dan takdir siapa pasangan kita, itu sudah tertulis dalam sebuah buku yaitu, lauhul mahfudz. Kita sebagai manusia tidak bisa menolak jalan cerita kita bagaimana nantinya.” Tutur lembut Laura seraya tersenyum.
”Aku tahu Ra, kita hanya bisa menjalani saja dan berusaha semampunya. Tapi ... aku masih bimbang harus bagaimana.” Aletha menatap Laura dengan wajah sendunya.
”Al, Allah tidak akan memberikan beban melampaui batas kemampuan kita sebagai umat-Nya. Kalau kamu masih bingung ... langit kan do'amu dalam sholat istikharah. Insyaa Allah, Allah akan memberikan jawaban atas do'amu.” Senyum pun terukir dengan manis di bibir Laura.
Tak hentinya Laura memberikan semangat dengan tutur lembut kepada Aletha. Begitupun Aletha, ia sudah merasa jauh lebih baik setelah mendengarkan tutur lembut Laura. Dan segera ia mengambil air wudhu untuk melakukan sholat istikharah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments