...”Cinta... adalah sebuah kata yang memiliki banyak makna. Tapi karena cinta lah ... ada hati yang sering terluka, bahkan trauma. Namun... cinta itu tidak tersirat, sehingga bisa datang kapan saja.”...
-------
Aletha berjalan pelan dengan ditemani Laura di sampingnya. Lalu, ia memanggil nama lelaki itu dengan lirih. Dan seketika Fajar membalikkan tubuh tegapnya. Begutupula dengan lelaki yang sedaritadi berada di sampingnya, ikut berbalik.
”Kak Fajar, ada apa datang kemari?” tanya Aletha to the point.
”Apa ... ingin menanyakan jawaban tentang surat itu?” sambung Aletha lagi.
Hening...
Fajar belum kunjung menjawab pertanyaan Aletha, hanya senyum simpul yang tidak lepas dari bibirnya sejak bertemu dengan Aletha, wanita yang ia khitbah melalui selembar kertas.
Satu detik...
Dua detik...
Suasana hening masih menyelimuti ke empatnya. Tidak ada yang mengeluarkan suara untuk mengawali pembicaraan antara mereka. Fajar pun juga tidak segera menjawab pertanyaan yang dilontarkan Aletha kepadanya.
”Kak, aku tidak suka hal seperti ini terjadi. Jika ada maksud dan tujuan kak Fajar datang kemari, maka cepat katakanlah! Aku masih ada urusan lain.” Aletha akhirnya mengeluarkan suaranya untuk memecahkan keheningan.
Sesekali Fajar menghembuskan nafas kasarnya, ia juga berusaha mengumpulkan tenaganya untuk mengutarakan apa yang masih dipendam dalam hatinya. Dan setelah dirasa cukup, ia menatap tajam mata Aletha, bahkan tatapan Fajar sukses mengunci mata Aletha.
”Aku tidak meminta jawaban itu sekarang, Al. Aku akan meminta jawaban itu setelah aku bertamu di rumahmu dan bertemu dengan Papamu.” Fajar tersenyum samar.
”Lalu ... apa tujuan kak Fajar datang kemari, hah?” tanya Aletha penasaran.
”Aku ... ingin mengajakmu pergi jalan-jalan sebentar sebelum jam keberangkatanku ... tiba.” Kedua bola mata Aletha membulat, ia berusaha mencerna apa yang dimaksus oleh Fajar.
”Bagaimana, Al? Kamu mau atau tidak?” tanya Fajar memastikan.
Aletha masih terdiam, hanya tatapan nanar yang ia berikan kepada Fajar. Dan sesekali ia juga menolah ke arah Laura, seolah ia ingin meminta pendapat kepada sahabanya itu. Dan sialnya, Laura hanya mengendikkan kedua bahunya. Sehingga membuat Aletha harus berpikir sendirian untuk memberikan jawaban atas permintaan Fajar.
”Haruskah aku ikut?” tanya Aletha lagi dengan sikap dinginnya.
”Terserah! Karena aku hanya bisa melakukan satu kali saja. Karena ... jam 19.00 malam nanti aku akan terbang ke Indonesia.” Fajar menatap jam yang melingkar di tangannya.
Kembali, Aletha menatap Laura dengan tajam. Seakan ia meminta persetujuan dari Laura. Dan dengan tanggap Laura memberikan sebuah pertanyaan kepada Fajar untuk meyakinkan Aletha serta Laura. Sehingga keduanya mengiyakan ajakan Fajar.
”Kalian tenang saja, karena kita tidak akan pergi berdua ataupun bertiga. Melainkan empat, ada Rion temanku yang akan ikut bersama kita.” Fajar menunjuk ke arah Rion berdiri, yang dibalas anggukan pelan serta senyum simpul oleh Rion itu sendiri.
”Baiklah, kita akan pergi untuk berganti baju terlebih dahulu.” Aletha menarik pelan lengan Laura, lalu kembali menuju ke kamarnya dengan langkah gontai.
Karena sudah adzan dzuhur sedari tadi, tapi sampai saat itu Aletha dan Laura belum mengerjakan sholat, maka mereka memutuskan untuk melaksanakan sholat terlebih dahulu. Dan setelah usai, mereka berganti pakaian yang cukup rapi dan tertutup.
”Kamu kenapa, Al?”
”Aku tidak apa-ap, Ra. Tapi ... ah sudahlah! Lupakan saja.” Aletha beranjak dari tempat duduknya lalu, meraih tas selempangnya.
Setelah beberapa menit kemudian akhirnya mereka pun usai. Dan keduanya memutuskan untuk memakai sweeter yang berwarna sama, seperti pilihan mereka.
--------
Cahaya mentari di siang itu begitu menyengat, membuat kulit terasa terbakar jika di bawahnya. Bahkan bisa juga membuat semua manusia merasa enggan untuk keluar dari tempat perlindungannya. Tapi tidak dengan Aletha, Laura, Fajar dan juga Rion. Meskipun mereka tidak memiliki kendaraan bermesin untuk pergi jalan-jalan tapi, mereka mengendarai sepeda pancal milik Aletha dan Laura.
”Al, aku merasa tidak enak loh sama kak Fajar dan kak Rion. Kelihatannya mereka berdua capek gitu,” keluh Laura.
Sejenak pandangan Aletha yang fokus dengan jalan raya, kini seketika teralihkan. Ada rasa iba di hatinya setelah melihat keringat mengucuri pelipis Fajar yang mengayuh sepeda. Untung saja tempat yang menjadi tujuan mereka tidaklah jauh dari tempat kos Aletha, hanya sekitar kurang lebih satu jam.
Akhirnya, setelah mengayuh sepeda cukup lama mereka pun sampai di sebuah mall besar. Dan ketika Fajar mengajak yang lain untuk masuk ke mall tersebut, Laura hanya terdiam. Merasa ragu dengan keuangan yang dimilikinya.
”Ra, kenapa?”
”Aku ... aku tidak punya cukup uang Al, kalau aku masuk.” Laura menundukkan kepalanya dengan tatapan lesu.
'Ra, aku kasihan sama kamu. Apa ... ini sudah saatnya aku memakai uang pemberian Papa?' batin Aletha.
Tanpa berpikir panjang Aletha menggenggam jemari Laura lalu, menariknya untuk masuk ke dalam mall dan menikmati segala hal yang ada di dalam sana. Rasa bahagia pun telah dirasakan oleh Aletha, karena ia mendapatkan dua hal penting saat berada di perantuan_sahabat dan lelaki yang memang mencintainya.
Langkah Laura terhenti begitu saja saat berada di wahana ”shooting experience”. Manik Laura berbinar menatap wahana itu, ada rasa ingin mencoba permainan menembak tersebut. Tapi, binar mata bahagia itu berubah menjadi sendu, kembali melihat uangnya yang dirasa tidak cukup untuk mencoba wahana permainan tersebut.
”Kak Fajar, kita masuk ke dalam yuk!” ajak Aletha.
Fajar hanya mengangguk, mengikuti langkah Aletha yang menarik lengan Laura dan mengajaknya masuk ke dalam. Binar mata bahagia kembali terlihat di manik Laura. Dan rasa bahagia itu menyetrum Aletha yang ikut merasa bahagia setelah melihat senyum merekah dari bibir Laura.
”Al, aku mau coba boleh?” tanya Laura memastikan.
”Tentu. Tapi ... kamu main sendiri ya, aku merasa lelah dan mau duduk di sana,”
Laura mengangguk bersemangat, lalu ia mendaftarkan diri untuk menjadi peserta ”shooting experience” bersama dengan Rion. Tapi Laura tetap berusaha menjaga jarak untuk menjaga marwah seorang perempuan, yang sudah melekat dalam diri seorang perempuan. Begitupun dengan Aletha, ia melakukan hal sama saat duduk bersebelahan dengan Fajar.
”Al, terima kasih ... karena kamu sudah mau aku ajak jalan-jalan.” Fajar menatap Rion dan Laura serta peserta lainnya yang siap untuk menembak.
”Sama-sama Kak, aku juga senang kok bisa jalan-jalan seperti ini sama kak Fajar.” Aletha tersenyum simpul.
”Al, boleh tidak jika aku bertanya? Tapi ... aku minta kamu harus menjawabnya dengan jujur.”
Kini Fajar sebagai menatap Aletha dengan lekat. Dan Aletha yang mendengar nada suara Fajar dengan serius seketika ia menoleh. Lagi ... tatapan keduanya saling mengunci satu sama lain. Dalam setiap tatapan ada hal yang membuat Aletha merasa nyaman, bahagia dan juga rasa ingin memiliki.
”Apa kamu mencintaiku, Al? Dan aku mohon ... jawablah sekarang, karena waktuku tidak banyak disini.” Fajar tersenyum tipis.
Deg...
Hening...
Aletha merasa bingung bagaimana ia akan memberikan jawaban kepada Fajar. Cinta? Aletha sendiri masih tidak yakin dengan cinta setelah terluka karena cinta. Tapi tidak mungkin juga Aletja akan menolak Fajar, ada rasa tidak enak di dalam hatinya. Namun, Aletha tidak tahu itu apa.
’Cinta... adalah sebuah kata yang memiliki banyak makna. Tapi karena cinta lah ... ada hati yang sering terluka, bahkan trauma. Namun... cinta itu tidak tersirat, sehingga bisa datang kapan saja.’ batin Aletha.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments