..."Rindu...? Aku merasakannya saat aku mundur tiga langkah darinya. Memilih menjauh daripada membuat hatinya terluka.”...
---------
Malam yang dipenuhi dengan keheningan. Hanya angin malam yang berhembus pelan_menemani Aletha yang tengah merenung di sisi kanan dekat jendela yang sengaja dibuka dengan lebar. Berdiri di sana adalah hal yang membuat Aletha merasa nyaman ketika rindu telah mengusik hatinya. Rindu yang tidak bisa diobati dengan saling sapa, hanya melalui udara saja. Akan tetapi, hal itu tidak bisa Aletha lakukan untuk mengobati rindu yang semakin membuncah. Dirinya begitu enggan untuk melakukan panggilan ke nomor Bagas Kara.
”Al, kamu tidak apa-apa, kan?”
Kehadiran Laura telah membuyarkan lamunan Aletha. Dan dengan segera Aletha menjawab pertanyaan Laura dengan asal. Tetapi masih masuk akal bagi Laura yang begitu polos. Yah... Laura memang wanita yang begitu polos, baik dan bersikap santun. Jauh berbeda dengan Aletha, meskipun keduanya memang memiliki paras cantik di wajah mereka. Yang mampu menarik para kaum Adam meskipun hanya melihat saja.
”Ra, bolehkah aku bertanya?” tanya Aletha masih menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang.
”Silahkan! Asalkan jangan tanya tentang kamu Fajar. Karena... aku tidak tahu banyak tentangnya. He... he... he...” Laura menyengir.
”Ye... siapa juga yang mau tanya tentang kak Fajar. Tapi... kalau dilihat-lihat kak Fajar itu... tampan juga ya, Ra.” Aletha tersenyum sendiri.
Seketika Laura menatap tajam Aletha, yang dirasa cukup aneh malam itu. Karena tadinya Aletha yang begitu menolak mentah-mentah tentang Fajar, justru saat ini Aletha memuji Fajar sebagai lelaki yang memiliki paras tampan. Tapi saat ini yang hendak ia tanyakan kepada Laura bukanlah tentang Fajar, melainkan tentang kedekatan sebuah keluarga.
”Ra, selama di sini ... kamu rindu kah sama keluarga kamu?” tanya Aletha yang masih menatap langit berbintang.
”Hmmm ... kalau rindu itu sudah pasti, Al. Tapi ... bagiku sama saja saat aku masih berada di Indonesia. Papa ku seorang duda yang memiliki dua anak yaitu, aku dan kakak ku. Dan kedua orang yang aku sayang telah bertugas menjadi abdi negara, sehingga ... aku sangat jarang bertemu dengan mereka.” Senyum sungging telah terukir di bibir Laura.
’Jadi... Laura keluarga dari anggota abdi negara.’ Batin Aletha sejenak menatap Laura.
Hening...
Satu detik...
Dua detik...
”Ra, pernah kah kamu marah kepada ayah dan kakak mu yang jarang pulang?”
Akhirnya Aletha melontarkan kembali pertanyaan dan memecahkan keheningan yang sejenak menemani mereka. Aletha kali ini begitu pensaran atas jawaban dari Laura. Sedangkan Laura, ia tidak segera menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu, justru ia beralih tempat.
”Ayolah Ra, cepetan jawab!”
”Memangnya kenapa sih, Al? Kamu ... begitu antusias dengan dunia militer kah?”
”Tidak juga, aku ... hanya penasaran saja atas jawaban kamu itu. Siapa tahu saja ... aku bisa merekomendasikan calon suamiku nanti.” Aletha menyengir.
Laura yang mendengar alasan absurd Aletha seketika tertawa lepas. Tidak pernah terpikirkan sedikitpun oleh Laura bahwa Aletha akan memikirkan ”suami” masa depan, sedangkan selama Laura tahu dan mengenal Aletha, ia tidak pernah melihat Aletha dekat seorang lelaki. Apalagi saat Fajar mendekati Aletha, sangat ditolak mentah olehnya.
”Al, kamu yakin dengan alasan kamu itu? Aku tidak percaya loh!” tatap Laura dengan lekat.
”E... entahlah! Ayolah Ra, cepat jawab pertanyaan aku tadi!”
”Ok. Marah ... tidak pernah, karena mereka bertugas untuk melindungi negara kita. Yang ada hanya rindu dan kesepian.”
Hening...
Keduanya saling membayangkan wajah yang mereka rindukan. Keluarga, terutama ayah mereka yang memang saat ini berjarak sangat jauh dengan mereka. Dan malam itu Aletha memutuskan untuk mencoba bertutur sapa dengan sang ayah, Bagas Kara. Walaupun hanya melalui udara.
”Ra, aku mau keluar cari udara segar dulu ya!” ijin Aletha.
”Tidak ada yang namanya udara malam itu segar Al, yang ada malah DING...IN.” Ujar Laura menatap nanar Aletha.
”Terserah apa kata kamu sajalah, Ra.” Aletha berucap lalu berlalu.
”Kalau mau pergi ucap salam dulu, Al. Jangan pulang terlalu malam!” teriak Laura.
Aletha berjalan sudah jauh dari tempat kos, ia tidak mendengarkan teriakan Laura yang memperingatkan dirinya. Dan kini Aletha hanya membutuhkan ketenangan di saat malam menerpa. Rasa rindu yang membuncah membuatnya ingin bertutur sapa dengan Bagas Kara melalui ponselnya. Namun, terbesit kembali rasa bimbang dalam hatinya.
Langkah Aletha terhenti saat berada di sebuah tempat yang baginya mampu membuatnya merasa tenang. Tetapi bukanlah pantai, tempat yang sangat disukai oleh Aletha. Terlihat di bawah pohon besar nanti rindang ada sebuah kursi panjang dengan cahaya lampu remang sebagai penghiasnya. Dan Aletha memutuskan untuk duduk di sana, lalu merogoh benda pipih yang berada di saku celananya.
”Rindu...? Aku merasakannya saat aku mundur tiga langkah darinya. Memilih menjauh daripada membuat hatinya terluka. Aku takut jika ... papa akan tahu betapa terlukanya hati ini melihat kelakuan mama sama lelaki tidak tahu diri itu.” Ucap Aletha lirih seraya menatap foto seorang Bagas Kara yang tersimpan dalam memori ponselnya.
Tangis pun akhirnya pecah, Aletha tidak mmou mebendungnya lagi. Rasa rindu yang membuncah hanya mampu dipendam nya begitu dalam di lubuk hati. Ingin menyapa dan bertutur sapa, tetapi ia tidak mampu membuat orang yang dicintainya merasa terluka. Bahkan bisa saja papa nya lebih terluka.
Saat Aletha masih duduk termenung dan sesekali sesenggukan karena tangisnya, tiba-tiba ada seseorang yang menyodorkan sapu tangan kepadanya. Dan seketika Aletha mendongakkan kepalanya untuk memastikan siapa yang berada di hadapannya itu.
”Assalamu'alaikum, Al.” Ucap salam Fajar yang menyapa Aletha dengan sopan.
”Wa'alaikumsalam, Kak.” Jawab Aletha singkat.
Aletha merasa kikuk dengan kehadiran Fajar yang tiba-tiba saja berada di sana. Sehingga keheningan menemani mereka dalam malam itu. Bahkan Aletha melihat Fajar saja tidak, hanya duduk dengan seribu diamnya.
”Hapuslah air mata mu, Al. Terlalu berharga untuk luruh begitu saja.” Ucap Fajar memecahkan keheningan.
Fajar kembali menyodorkan sapu tangannya kepada Aletha. Tetapi, Aletha bersikukuh tidak mau mengambil sapu tangan dari tangan Fajar. Hanya mengatupkan bibirnya dengan seribu kebisuan yang ada. Dan itu membuat Fajar hanya mampu menelan salivanya sendiri. Namun, Fajar tetap berusaha untuk menghibur Aletha dan juga mendekatkan dirinya agar Aletha mau membuka hat.
”Aku tahu, kamu pasti risih dengan kehadiranku. Tapi ... aku tidak bermaksud yang lainnya. Hanya ingin menghibur kamu saja. Tak lebih dari itu.” Tutur Fajar dengan lembut.
”Untuk apa menghiburku? Kenal saja tidak, jadi ... tak perlu se peduli itu kepadaku.” Pekik Aletha.
”Itulah gunanya sesama manusia, Al. Allah menciptakan makhluknya untuk saling berbagi, saling menghibur dan saling mengingatkan satu sama lain. Peduli? Aku memang ingin peduli sama kamu, karena aku ... menyimpan namamu di hatiku. Aku ... jatuh hati padamu.” Fajar mengungkapkan isi hatinya.
Deg...
Aletha benar-benar terkejut dengan ungkapan hati Fajar secara tiba-tiba. Seakan ia mendapat serangan dari seorang Fajar. Mungkin itu yang namanya serangan mendadak dalam dunia militer.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments