”Perpisahan... bukanlah hal yang memisahkan akun dan kamu karena jarak yang jauh, perpisahan... bukan pula antara hidup dan mati. Tapi... perpisahan yang sesungguhnya adalah antara surga dengan neraka."
Fajar menarik kedua ujung bibirnya, sehingga memperlihatkan senyum simpul nya di hadapan Aletha. Dan perlahan Aletha memperlihatkan rasa sukanya terhadap Fajar. Dengan seiringnya waktu cinta tulus seorang Fajar mampu membuka hati Aletha dengan mudah. Bahkan kini hati Aletha luruh dengan sendirinya setelah merasa yakin bahwa jodohnya adalah Fajar.
”Nih Al, kamu makan saja cemilan ini ... daripada nanti kelaparan.” Ujar Laura yang menyodorkan bingkisan makanan ringan.
”Terima kasih, Ra.” Aletha menerima pemberian Laura, lalu ia membuka bingkisan itu dan menikmati dalam setiap kunyahan.
Fajar yang melihat Aletha tengah menikmati roti yang dimakannya, hati Fajar merasa bahagia dan senyum pun telah nampak di bibirnya. Tapi seketika ia tersadar setelah menatap jam yang menempel di dinding ruang rumah sakit itu. Fajar sontak merasa terkejut bahwa jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Di mana jam penerbangan nya sudah berlalu beberapa jam yang lalu. Dan itu bertanda ia terlambat untuk melakukan penerbangan ke Indonesia.
”Astaghfirullah, ini benar sudah jam sebelas malam?” tanya Fajar memastikan.
Aletha, Laura dan Rion hanya manggut-manggut mengiyakan sembari mengunyah roti dengan penuh khidmat. Sedangkan Fajar, ia mengusap wajahnya secara gusar, lalu jarum infus yang menempel di punggung tangannya pun ia lepas secara paksa. Sehingga ketiga sahabatnya sontak terkejut dan menghentikan kunyahan roti yang sudah melumer di lidah.
”Kak Fajar mau kemana? Kenapa jarum infus nya juga dilepas?” tanya Aletha.
”Akun harus pergi, Al. Jam penerbangan ku sudah sangat terlambat.” Jawab Fajar dengan tergesa-gesa.
”Aku tidak mengijinkan kak Fajar pergi dengan keadaan yang masih belum memiliki banyak tenaga seperti ini. Meskipun peluru itu hanya peluru karet, tapi pasti terasa sakit.” Aletha menahan lengan Fajar yang hendak memakai jaket hitamnya.
Seketika Fajar menatap Aletha, ada rasa tidak tega dalam hati Fajar jika harus meninggalkan Aletha dengan wajah yang tidak rela. Tapi, penerbangan itu harus dilakukan oleh Fajar malam itu juga, bila itupun bisa dilakukannya. Karena Fajar sendiri tidak tahu pasti ada penerbangan ke Indonesia lagi pada malam itu atau tidak.
”Benar apa kata Aletha, Jar. Kita khawatir sama kamu dari tadi,”
”Tapi ... Ri, aku diperlukan di Indonesia. Malam ini juga aku harus bisa mendapatkan jam penerbangan ke Indonesia.” Fajar bersikekeh untuk melakukan kembali penerbangannya.
Aletha melepas tangan Fajar, lalu ia berkata kepada semua orang di dalam ruangan itu, ”Baiklah! terserah kak Fajar jika mau melakukan penerbangan malam ini juga. Tapi ... aku bisa pastikan kalau kak Fajar tidak akan mendapatkan paspornya. Karena ... aku sudah meminta semua bandara untuk mengawasi dua orang yang bisa saja orang itu akan terbang ke Indonesia. Dan itupun ... termasuk kak Fajar.” Aletha mengatakan dengan penuh penekanan.
”Maksud kamu, Al? Kenapa kamu membatalkan dan meminta diawasi segala?” tanya Laura dengan polos.
”Ra, Alexander terlalu berbahaya untuk kita. Dia ... sudah membuat kak Fajar terluka, dan sepertinya Dia juga membeli beberapa senjata tajam yang lainnya selain pistol. Dan ... aku tidak mau hal itu terjadi saat kak Fajar ada di Indonesia tanpa adanya pengawasan yang ketat. Jadi ... aku meminta kepada Polisi dan juga beberapa Tentara untuk menjaga setiap bandara.” Terang Aletha dengan tegas, laku ia meraih ponselnya yang berada di nakas.
Sejenak Aletha merajuk dengan ponsel yang berada di dalam genggaman tangannya. Pandangannya pun hanya terlalu fokus pada layar handphone. Dan beberapa angka telah muncul di layar panggilan, lalu ia menekan tombol call untuk menghubungi pemilik nomor tersebut.
”Al, sebenarnya siapa kamu? Kenapa ... kamu bisa secerdas dan sejenius ini? Seakan ... kamu memang ahli dalam hal seperti ini.” Laura menatap tajam Aletha dengan penuh tanda tanya.
”Akan aku jelaskan nanti, tidak sekarang. Aku harus menghubungi beberapa orang untuk mengantarkan kak Fajar ke Indonesia malam ini, Ra.” Aletha pergi dari ruangan itu dan memilih ke sisi lorong rumah sakit.
”Ra, apa kamu tidak tahu siapa Aletha sebenarnya?” tanya Rion.
”Tidak kak, yang aku tahu ... Aletha hanya gadis yang dari keluarga sederhana. Dan selain itu aku ... tidak tahu.” Laura menggelengkan kepalanya.
Laura dan Rion benar-benar dibuat penasaran dengan Aletha. Sedangkan Fajar, ia merasa yakin dengan apa yang dikatakan oleh Aletha tadi. Di mana Aletha adalah anak dari seorang Abdi negara. Yang selalu memakai baju loreng sebagai baju khas mereka.
”Kamu tidak pandai berbohong kepadaku, Al. Biarpun kamu seorang putri dari kalangan manapun, jika Allah berkehendak maka ... aku lah yang akan memenangkan mu.” Ujar Fajar dalam hati.
”Assalamu'alaikum, Pa. Apa kabar?”
”Wa'alaikumsalam, sayang. Alhamdulillah, Papa baik-baik saja disini. Bagaimana dengan kamu?”
”Alhamdulillah, Aletha juga baik disini. Emm ... sebenarnya ... Aletha butuh bantuan Papa malam ini juga.” Aletha begitu manja dan lembut dalam bertutur kata saat ia memang tengah menginginkan suatu bantuan dari Bagas Kara.
Dengan setia Bagas Kara mendengarkan celoteh Aletha dari seberang. Dan tanpa berpikir panjang Bagas Kara pun mengiyakan permintaan Aletha. Hingga akhirnya perilaku mantan istrinya itupun telah diketahui oleh Bagas Kara. Karena sungguh, Aletha tidak bisa menahan rasa bencinya terhadap Alexander.
Setelah beberapa menit kemudian percakapan melalui udara itupun telah diakhiri. Lalu, Aletha kembali melangkah menuju ke ruangan Fajar. Namun, sebelum melanjutkan langkah ia tengah memikirkan apa yang dikatakannya kepada Laura tadi.
”Apa ... sudah saatnya mereka tahu siapa aku?”
Aletha mengusap wajahnya gusar, lalu mendenguskan nafasnya secara kasar. Dan dengan tegas serta siap akan dirinya mengungkap siapa ia sebenarnya, kini Aletha melanjutkan langkahnya.
”Al, bagaimana? Apa kamu mau bercerita sesuatu?” tanya Laura to the point.
Laura menyerbu Aletha dengan beberapa pertanyaan yang memang sudah dipikirkan oleh Laura sebelumnya. Karena Laura ingin tahu yang se benar-benar nya siapa Aletha itu. Sedangkan Aletha, ia sejenak menatap wajah Laura, Fajar dan Rion secara bergantian. Dengan nafas panjang, akhirnya ia mengaku siapa dirinya. Tetapi... kembali malam itu bukanlah waktu yang tepat untuk mengatakan siapa Aletha sebenarnya. Karena tiba-tiba saja suara gemuruh helikopter tengah berbunyi nyaring di atap gedung rumah sakit.
”Maafkan aku, Ra. Mungkin ... setelah ini kamu akan tahu siapa aku. Dan kak Fajar, helikopter sudah menunggu kakak di atap gedung ini.”
”Helikopter?” tanya Laura, Fajar dan Rion bersamaan.
”Iya, aku meminta salah satu helikopter Papa aku untuk menjemput kak Fajar. Dan sekarang sudah ada di atas.” Aletha menunjukkan jari telunjuknya ke atas.
Tanpa menunggu lama mereka berempat pun naik ke atap gedung untuk memastikan bahwa helikopter itu suruan Bagas Kara.
”Al, kamu tidak takut jika berpisah denganku?” tanya Fajar to the point saat ia hendak berlari menuju ke helikopter itu.
”Perpisahan... bukanlah hal yang memisahkan akun dan kamu karena jarak yang jauh, perpisahan... bukan pula antara hidup dan mati. Tapi... perpisahan yang sesungguhnya adalah antara surga dengan neraka. Jadi ... aku tidak takut jika hanya jarak dan waktu yang akan memisahkan kita.” Aletha tersenyum kepada Fajar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments