Atep POV
“Aras dan Aris ngomong apa saja sama kamu, Tep? Apa mereka bicara yang aneh-aneh?” suara Teh Iyah menyadarkanku dari lamunan.
“Ah biasa saja omongan bocah-bocah, Teh. Daya khayal mereka memang sangat tinggi,” jawabku.
“Memangnya mereka mengkhayalkan apa? Tadi Teteh dengar sekilas kalau mereka sedang ngomongin tante mereka.”
“Iya, Teh. Mereka menjodohkan Atep dengan tante mereka,” jawabku sambil sedikit tertawa.
“Wah ide yang bagus tuh. Sepertinya bakalan cocok kalau kamu sama Lena. Umur kalian juga tidak terpaut jauh. Lena sepertinya hanya lebih tua 1 tahun dari kamu atau bisa jadi kalian seumur.”
“Teteh jangan mengkhayal seperti Aras dan Aris,” protesku.
“Mengkhayal apa? Teteh pikir kalian bakal cocok kalau menikah. Lena itu perempuan mandiri. Dia tipe perempuan yang kamu suka, mandiri, pintar, baik dan salehah. Itu semua kriteria istri idaman kamu kan? semuanya ada dalam diri Lena, lho.” Teh Iyah mempromosikan adik iparnya dengan bangga.
“Kenapa Teteh jadi ikut-ikutan Aras dan Aris sih?” Aku protes dengan karena sedikit kesal. Aku tidak bisa benar-benar kesal pada Teh Iyah. Dia tidak tahu saja kalau aku sedang berusaha sangat keras untuk melupakan dan menghapuskan sosoknya dari dalam hatiku.
“Setidaknya kenalan saja dulu. Siapa tahu memang cocok.”
“Atep takut ah, Teh.”
“Takut kenapa?” Teh Iyah mengernyitkan dahinya.
“Takut kalau sifatnya sama dengan kakak laki-lakinya,” ujarku menggoda Teh Iyah.
“Ish… dasar kamu bicara sembarangan. Suami Teteh udah gak nyebelin lagi sekarang. Dia sayang banget sama Teteh dan anak-anak. Jadi kamu tidak usah khawatir lagi kalau Teteh akan sedih lagi. Lagian Lena itu beda banget sama kakak laki-lakinya. Lena itu baik banget.”
“Iya deh Teh. Nanti kalau kita bertemu, Teteh kenalkan Atep ke Lena,” putusku.
“Nah gitu dong, Tep. Teteh khawatir sama kamu karena sampai usia segini kamu masih belum pernah mengenalkan calon kamu sama ibu kamu. Teteh kan jadi khawatir.”
“Khawatir kalau Atep gak suka sama cewek ya, Teh?”
“Hehehe…iya sih. Tapi kamu masih suka sama perempuan, kan? Setidaknya kamu pernah suka atau jatuh cinta sama perempuan, kan?” tanya Teh Iyah dengan nada yang sepertinya masih meragukan orientasi seksualku.
“Insya Allah, Teh. Atep masih suka sama perempuan," jawabku sambil tertawa geli.
“Alhamdulillah… Kasihan Ibu kamu kalau kamu macam-macam. Teteh orang pertama yang bakalan nyiksa kamu kalau kamu menyimpang.” Teh Iyah memberikan tatapan tajam.
Aku meringis melihat mata tajamnya.
Ah, andai Teh Iyah tahu kalau perempuan yang aku cinta itu dirinya. Andai dia tahu kalau aku akan sangat bersedia menjadi pendamping hidupnya sampai maut memisahkan. Andai dia tahu kalau aku sangat mencintainya bahkan sejak aku masih berusia belasan.
“Atep pernah kok jatuh cinta sama seorang perempuan dan sampai sekarang dia masih ada dalam hati,” lirihku pelan.
“Apa? Jadi kamu sedang jatuh cinta sama seorang perempuan? Siapa dia? Teteh kenal gak? Temen kuliah kamu atau gadis di desa kita?” Teh Iyah mencecarku dengan beberapa pertanyaan.
“Eh kedengeran ya Teh?”
“Ya kedengeran lah. Jadi siapa dia?”
“Dia sudah jadi istri orang?” jawabku berusaha menjawab dengan santai.
“What?” teriak Teh Iyah.
“Gak usah teriak juga kali Teh. Telinga Atep jadi berdenging mendengar teriakan Teteh.”
“Jadi kamu jatuh cinta sama istri orang? Jangan gitu, Tep. Jangan pernah merusak keluarga orang lain dan jadi pebinor. Masih banyak perempuan lajang buat kamu. Kamu bakalan menyakiti banyak pihak kalau gitu. Kamu juga bakalan sakit hati kalau kamu memaksakan rasa cinta kamu sama perempuan itu. Teteh yakin ada perempuan bebas yang baik buat kamu. Kamu berhak mendapatkan cinta.”
“Atep cuma jatuh cinta sama dia, Teh. Atep gak ada niat buat merebut dia dari keluarganya. Atep juga sangat tahu kalau dia hanya mencintai suaminya.”
“Makanya kamu harus berhenti dan menghapus dia dari hati kamu. Kalau memang benar yang kamu bilang-dia sangat mencintai suaminya, maka tidak akan ada ruang dalam hatinya buat yang lain termasuk kamu. Nanti kamu sendiri yang bakalan sakit kalau kamu masih menyimpan rasa cinta buat dia. Kamu mengerti?”
“Iya Teh. Atep sangat paham dengan keadaan seperti itu. Tapi hati kan tidak bisa memilih dengan siapa akan jatuh cinta. Seperti Teteh yang tidak bisa memilih untuk mencintai laki-laki lain selain suami Teteh walaupun Teteh mengalami penderitaan gara-gara dia.”
Aku melihat Teh Iyah mengangguk.
“Bener, Tep. Kadang-kadang cinta memang gak ada logika. Teteh juga merasa aneh dengan yang namanya cinta ini.”
“Tuh kan. Pasti sulit untuk melupakan cinta apalagi kalau itu cinta pertama kita.”
“Dia cinta pertama kamu, Tep?”
Aku mengangguk lemah.
“Jangan sedih, Tep. Tidak semua orang mendapatkan cinta pertamanya.”
“Tapi Teteh mendapatkan cinta pertama Teteh kan? Ayahnya Aras dan Aris cinta pertamanya Teteh, kan?”
“Iya sih, Tep. Teteh termasuk perempuan beruntung yang mendapatkan cinta pertama, dan insya Allah cinta terakhirnya juga,” ucap Teh Iyah dengan senyum yang tak lepas dari bibir manisnya.
“Atep gak seberuntung Teteh.”
“Jangan khawatir dan sedih, Tep. Teteh akan bantu kamu melupakan perempuan itu. Teteh jadi semakin semangat menjodohkan kamu sama Lena.”
“Apa-apan sih, Teh?” protesku.
“Kamu gak usah banyak protes. Pokoknya Teteh mau menjodohkan kamu sama Lena. Kekuatan kita udah penuh nih. Ada Aras dan Aris yang bakal bantu Teteh buat jodohin kamu. Teteh juga bakalan minta dukungan A Endra. Sebagai kakak laki-lakinya Lena, Teteh yakin kalau A Endra bakalan mendukukug Teteh.”
“Belum tentu juga dia bakalan mau sama Atep. Atep cukup tahu diri. Dia berasal dari keluarga kaya dan terpandang sedangkan Atep hanyalah anak yatim yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja.”
“Kamu jangan rendah diri begitu, Tep. Kamu itu sudah seperti adik Teteh. Mak Isah juga sudah seperti ibuTeteh. Jadi kalian itu sudah termasuk dalam keluarga besar Kartasasmita.” Teh Iyah tetap keukeuh dengan keputusannya.
“Tapi bukan adik kandung, Teh.”
“Ah, kamu itu sudah seperti adik kandung Teteh. Sudah... Jangan banyak pikiran yang aneh-aneh! Keluarga A Endra bukan keluarga picik yang membeda-bedakan orang dari status sosialnya. Kamu harus yakin itu.”
“Katakanlah keluarganya memang begitu. Bagaimana kalau Lena sendiri yang melihat orang dari status sosialnya?”
“Gak akan. Lena tidak dididik seperti itu. Lena baik ke semua orang.”
“Dia baik sama Teteh karena kalian memiliki status sosial yang sama. Gak tau deh kalau sama Atep.”
“Aw….” Aku sedikit mengernyit karena Teh Iyah mencubit lenganku dengan keras.
“Teteh gemes deh sama sikap kamu yang seperti ini. Pokoknya ikuti saja lah apa yang Teteh tawarkan. Suatu saat nanti kamu bakalan berterima kasih sama Teteh.”
“Dasar pemaksa.”
Teh Iyah tertawa melihat kekesalanku.
“Teteh yakin nanti kamu bakalan berterima kasih sama Teteh.” Teh Iyah berkata begitu sambil tertawa bahagia.
Aku melengos meninggalkan Teh Iyah. Tawanya masih terdengar merdu di telingaku.
********
to be continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments