Alena POV
“Bu… Bu… Bu Alena…”
Aku terperanjat mendengar suaranya yang memanggil-manggil dan merasakan tangannya menggoyang-goyangkan lenganku. Tangannya yang besar dengan urat-urat yang menyembul menyentuh tanganku.
Aku tersentak dan menepis tangannya.
“Ngapain kamu pegang-pegang?” hardikku.
“Ngelamunin apa sih pagi-pagi begini, Bu? Lagi ngelamunin saya, ya?” tanyanya dengan suara yang terdengar seksi.
Astagfirullah… Ada apa sih dengan otak dan jantung ini? Kenapa pagi ini mereka tidak bekerja dengan normal? Apakah aku salah makan atau kena virus berbahaya sampai-sampai kerja mereka jadi tidak normal?
“Jangan kurang ajar kamu!” sentakku.
“Siapa yang kurang ajar, Bu? Saya cuma khawatir saja kalau saya gagal bimbingan hari ini. Kalau memang pagi ini nyawa Ibu belum ngumpul, kita reschedule saja jadwal bimbingannya,” usulnya tidak sopan sekali.
“Kamu pikir saya punya banyak waktu luang, hah? Untuk minggu ini sudah saya atur jadwal bimbingan. Kamu jangan seenaknya mengatur sendiri kapan kamu mau bimbingan,” tukasku kesal.
“Eeh si Ibu mah ngegas saja. Saya kan cuma usul. Lagian dari tadi wajah ibu terlihat pucat. Dari tadi saya panggil-panggil, Ibu tidak menyahut. Sepertinya Ibu sakit.”
“Siapa yang bilang saya sakit? Kalau saya sakit saya tidak akan memberikan jadwal bimbingan hari ini. Cepat laporkan progress skripsi kamu!” bentakku kesal.
“Dasar perempuan,” desisnya pelan tapi masih terdengar olehku.
“Maksud kamu apa? Kamu meremehkan perempuan? Kamu tidak mau dibimbing oleh dosen perempuan, hah?”
Aku semakin kesal dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Yaa Allah, kenapa sih bibir itu terlihat seksi. Fix, otakku butuh direparasi.
Dia terdiam mendengar omelanku. Sungguh aku sangat tidak suka kalau kaumku dihina dan diremehkan. Sekarang ini masih banyak orang-orang yang meremehkan kemampuan kaum perempuan. Sebagai contohnya jika ada insiden di jalan raya yang melibatkan pengendara perempuan, aku sering mendengar beberapa pengendara lain mengatakan, 'pantas nabrak karena yang bawa mobil perempuan' atau kalimat-kalimat lain yang sangat mendiskriditkan kaum hawa. Sepertinya kalimat yang sederhana tapi kalimat itu benar-benar menghina dan meremehkan perempuan.
“Sudah marah-marahnya, Bu? Saya mau laporkan progress skripsi saya.” Si gondrong menyebalkan itu tidak mengindahkan omelanku. Dasar menyebalkan.
Aku mendengus tidak memberikan jawaban apapun.
Dia mulai melaporkan progres skripsinya. Bahasanya runut dan jelas sehingga mudah untuk memahami apa yang dia sampaikan.
“Jadi saya sudah bisa mulai penelitiannya, Bu?” tanyanya.
Sebenarnya aku ingin mempersulit dia. Aku tidak ingin dia mengerjakan penelitiannya dengan mudah. Egoku menginginkan agar ia menderita dalam proses penyusunan skripsinya.
“Sudah kamu konsultasikan ke pembimbing satu?” tanyaku.
“Prof. Dinn sudah menyetujuinya, Bu.”
“Silahkan kalau memang pembimbing satu juga sudah memberikan acc. Saya minta satu minggu dari sekarang kamu menghadap saya lagi.”
“Baik Bu, saya akan mengusahakannya.”
“Jangan hanya bilang akan mengusahakannya, tapi kamu memang harus mengusahakannya.”
“Hehehe… Iya, Bu.” Kekehannya membuatku kesal.
Ada keheningan sesaat sebelum dia menanyakan sesuatu padaku.
Boleh saya bertanya, Bu?”
“Apa?” tanyaku dengan sedikit membentak.
”Wuih, galak banget sih, Bu.”
Aku mendelikkan mata karena kesal.
“Apa yang mau kamu tanyakan. Tidak usah basa-basi.”
“Kalau pembimbing dua hanya mengiyakan apa yang diputuskan oleh pembimbing satu, apa gunanya ada pembimbing dua, Bu? Menurut saya sih itu hanya pemborosan dana dan waktu.”
“Kamuuuu….!” jeritku kesal.
“Wah, mengaum lagi,” ucapnya santai.
Aku menghirup oksigen banyak-banyak dan menggeluarkan karbondiaksoda dari dalam paru-paruku. Sabar…sabar Lena. Aku mengucapkan kata-kata sabar itu dalam hatiku.
“Tugas kami sebagai dosen pembimbing adalah membantu mahasiswa untuk menyelesaikan skripsinya. Saya sebagai dosen pembimbing 2 tentu saja bertugas untuk membantu kalian. Memang ada beberapa kampus yang hanya memberikan satu orang dosen pembimbing saja tapi kampus dan jurusan kita memutuskan untuk memberikan dua orang dosen pembimbing. Harusnya kamu bersyukur mendapatkan dua orang dosen, jadi kamu bisa mendapatkan referensi yang lebih.”
“Ooooh…,” gumamnya.
“Kenapa kamu begitu? Kamu tidak mau saya bimbing? Kamu tidak mau dibimbing sama dosen perempuan, hah?” Aku masih kesal dengan omongannya tadi.
“Saya tidak pernah berkata seperti itu. Perkataan saya yang mana yang menyatakan bahwa saya tidak mau dibimbing sama Ibu?”
Aku terdiam karena memang tidak bisa menjawab pertanyaannya.
“Kenapa diam? Tidak bisa menjawab, kan?”
Aku semakin kesal mendengar perkataannya.
“Ada lagi yang mau disampaikan? Jika tidak silahkan keluar dari ruangan saya. Ada mahasiswa lain yang akan bimbingan dengan saya,” ketusku.
“Jangan galak-galak, Bu. Kalau galak seperti ini, Ibu jadi terlihat tambah cantik. Nanti saya suka sama Ibu.”
“Ngomong apa kamu?” Aku hampir berteriak karena terkejut dengan apa yang dikatakannya.
“Ibu cantik kalau lagi marah-marah seperti itu,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.
“Keluar kamu!” teriakku sambil melemparkan buku yang tebal ke arahnya dan sialnya dia menangkap buku yang aku lemparkan dengan tangan kanannya.
“Jangan lempar-lempar buku, Bu. Untung saja tidak kena muka saya. Kalau kena muka saya yang tampan, memangnya Ibu mau tanggung jawab?”
“Tanggung jawab apa maksud kamu?”
“Kalau muka saya jelek dan tidak ada yang mau menikahi saya, Ibu harus mau menikahi saya.”
“Keluaaaaar!!” teriakku kesal.
Aku semakin kesal mendengar suara tawanya di balik pintu.
“Dasar manusia gondrong nyebelin.” Untuk meluapkan kekesalanku, aku menusuk-nusukkan ujung pulpen ke atas meja sampai pulpennya patah.
Dan terima kasih kepada si gondrong nyebelin itu yang sudah merusak suasana hati hingga aku membatalkan sisa jadwal bimbingan hari ini dan harus menjadwal ulang.
Untuk mengembalikan suasana hati agar kembali baik, aku memutuskan untuk pergi ke tempat di mana aku bisa meluapkan emosi.
Boxing gym, tempat untuk meluapkan kekesalanku. Dimana aku bisa meluapkan emosi dengan leluasa. Aku memang rutin latihan boxing di Boxing Gym tiap akhir pekan dan khusus untuk hari ini aku datang di hari kerja dan masih terhitung pagi juga.
“Ngapain pagi-pagi ke sini, Non?” sapa Coach Juan.
“Lagi bete,” aku melempar tas dan mendudukkan diri di pinggir ring tinju memperhatikan Juan yang sedang melakukan pemanasan.
“Bete kenapa?”
“Pengen nonjok muka orang nyebelin.”
“Siapa?”
“Gak usah banyak tanya. Jadi samsak gue!” jawabku ketus.
“Siapa takut. Sana ganti kostum!”
Aku beranjak ke tempat ganti. Beruntung ada baju pakaian ganti yang aku simpan di lokerku.
Setelah melakukan pemanasan, aku langsung naik ke atas ring dan langsung menendang dan memukul target yang dipegang Juan. Tidak kurang dari 30 menit aku menendang dan memukul target hingga aku benar-benar kehabisan tenaga.
“Sudah tidak kesal?” tanya Juan.
“Hmmm…” Aku hanya menjawab dengan gumaman.
“Kesal sama siapa sih?” tanya Juan
“Kepo,” sahutku.
“Sialan.”
Aku tertawa mendengar kekesalan Juan.
“Syukur deh sudah bisa ketawa lagi.”
Ah, Juan. Seorang pria yang mungkin sempurna di mata para perempuan. Tampan dengan mata sedikit sipit, hidung mancung dan rahang yang tegas. Bentuk tubuhnya sempurna bak model runaway. Usianya sudah matang dan marriageable, 33 tahun dengan isi dompet yang sudah tidak usah diragukan hasil dari restoran dan cafe yang dimilikinya. Boxing Gym yang dimilikinya ini hanya untuk menyalurkan minatnya saja pada olahraga tinju.
Juan adalah anak dari teman abah. Juan juga adik kelas kakakku ketika dia mengambil Master di luar negeri. Walaupun tidak satu jurusan, jika ada mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di negara orang, mereka akan merasa lebih memiliki ikatan persaudaraan. Setelah Juan lulus kuliah, dia langsung mengembangkan usahanya sehingga berkembang dengan cepat.
Aku menyadari bahwa Juan memiliki perasaan yang lebih padaku. Walaupun aku termasuk perempuan yang kurang peka, tapi untuk masalah Juan, aku bisa merasakan apa yang Juan rasakan padaku. Bukannya terlalu percaya diri, 2 tahun lalu setelah aku pulang menyelesaikan kuliah masterku di luar, Juan menyatakan perasaan sukanya dan saat itu aku tidak menjawabnya dengan jawaban yang dia inginkan. Jujur saja, saat itu aku merasa kalau aku baru lulus kuliah dan masih banyak hal-hal yang aku ingin capai. Saat ini pun aku masih ingin mengembangkan karirku.
Usiaku masih 28 tahun dan masih banyak hal yang ingin aku raih sebelum menikah. Aku tidak ingin berpacaran. Aku berprinsip tidak ada yang namanya pacaran dalam hidupku. Jika ada laki-laki baik yang memang berniat untuk meminangku, maka aku akan menerimanya, tapi nanti ketika aku sudah berhasil dengan apa yang yang aku targetkan sebelum menikah. Hehehe…
Aku beruntung karena hubungan pertemananku dengan Juan tidak menjadi rusak karena aku telah menolaknya. Dia benar-benar laki-laki yang baik dan aku berharap dia akan mendapatkan perempuan baik yang akan menjadi pasangan hidupnya, tapi perempuan itu bukan aku. Untuk saat ini, aku benar-benar menganggap dia sebagai teman saja, tidak lebih.
*******
to be continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments