Atep POV
Namaku Atep Dananjaya. Aku adalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi sebagai syarat agar aku mendapatkan gelar sarjana. Sebenarnya, bagiku gelar sarjana ini tidak begitu penting. Jika bagi kebanyakan mahasiswa tingkat akhir, gelar sarjana adalah satu tahapan lagi yang harus dilalui untuk mendapatkan selembar kertas sebagai syarat untuk mencari pekerjaan, tetapi tidak berlaku bagiku.
Bukannya bermaksud untuk sombong, walaupun aku masih berstatus sebagai mahasiswa tetapi sudah memiliki penghasilan yang cukup untuk menghidupi istri dan anak-anak kami kelak. Usiaku sekarang 27 tahun, sangat terlambat untuk mendapatkan gelar S1 dimana kebanyakan mahasiswa mendapatkan gelar S1 di usia 23 atau 24 tahun.
Tidak aneh kalau di usia 27 tahun ini aku masih bergelut dengan skripsi karena dua tahun setelah lulus SMA, aku merintis usaha sambil mengumpulkan biaya untuk kuliah. Setelah biaya kuliah terkumpul, aku beruntung bisa diterima di perguruan tinggi negeri dengan biaya yang tidak terlalu tinggi.
Selama masa kuliah, aku harus beberapa kali mengajukan cuti karena kesibukanku membantu kakak angkatku merintis usahanya. Sebenarnya kakak angkatku itu anak dari majikan dimana tempat ibuku bekerja. Ibu dan ayahku bekerja pada sebuah keluarga kaya raya yang sangat baik sekali. Mereka mengabdi pada keluarga itu sejak ayah dan ibuku masih belum menikah.
Merekapun bertemu karena mereka bersama-sama bekerja di keluarga itu. Ayahku bekerja sebagai asisten dari ayah kakak angkatku. Ayahku meninggal karena kecelakaan pesawat yang juga merengut nyawa kedua orangtua dari kakak angkatku sedangkan ibuku bekerja untuk membantu mengurus dua anak dari majikannya. Sekarang ibuku menemani kakak angkatku yang tinggal di desa Cibeber, desa asal Ibu karena kakak angkatku itu melarikan diri suami yang sering menyakitinya.
Sejak sekolah di bangku SMA, aku sudah mulai mandiri dan memutuskan untuk kost. Awalnya ibu tidak menyetujuinya karena aku anak bungsu kesayangannya. Ibu terlalu khawatir dan takut kalau aku pergi cepat seperti ayahku kalau aku tinggal sendiri dan jauh dari Ibu tetapi aku berhasil meyakinkan ibuku kalau aku akan baik-baik saja. Aku memiliki kakak perempuan yang sudah menikah dan dibawa oleh suaminya, seorang anggota TNI yang bertugas di luar pulau Jawa, tepatnya di pulau Kalimantan.
Mulai kelas 2 SMA aku sudah mulai bekerja walaupun hanya pekerjaan part-time. Terkadang aku menjadi pelayan cafe, kurir, berjualan atau usaha apapun yang penting halal untuk menabung. Aku mau membayar uang kuliah dengan uangku sendiri dan tidak membebani ibuku walaupun gaji ibu sangat cukup untuk menguliahkan aku bahkan jika aku kuliah di perguruan tinggi swasta.
Aku mengagumi kakak angkatku yang sangat cantik, baik dan sholehah. Rasa kagum sejak kecil mungkin sekarang sudah berubah menjadi rasa sayang dan cinta tetapi aku tidak akan pernah berani untuk mengungkapkan rasa cintaku. Aku hanya mampu menyimpan rasa cintaku untuk kakak angkatku itu di dalam hati saja. Aku merasa tidak pantas untuk sekadar mengungkapkan rasa cinta dan aku tidak ingin gara-gara pengungkapan cintaku akan merubah hubungan persaudaraan kami. Mungkin nanti jika aku sudah berhasil dengan karirku, aku akan sedikit berani untuk mengungkapkan rasa cintaku.
Nama kakak angkatku Sadiyah, dan aku memanggilnya Teh Iyah. Kakak angkatku memiliki anak kembar dari suami yang dia tinggalkan. Aku belum pernah bertemu langsung dengan suaminya. Aku hanya pernah melihat dari kejauhan saat mereka menikah dulu. Aku akan bahagia jika kelak aku menikahi kakak angkatku. Aku akan dengan senang hati merawat dan mendidik anak-anak dari kakak angkatku. Namun, mimpiku untuk menikah dengan kakak angkatku masih terganjal banyak hal yang salah satunya adalah belum adanya surat perceraian atau akta cerai dari pengadilan. Teh Iyah sudah mengajukan gugatan cerai tapi belum ada panggilan dari pengadilan hingga enam tahun berlalu sejak kakak angkatku mengajukan gugatan cerai dan meninggalkan suaminya yang menyebalkan.
Sekarang adalah kesempatan terakhirku untuk menyelesaikan skripsi. Kuliah di universitas negeri memang ada batas waktu dan tidak bisa seenaknya berleha-leha. Aku bersyukur mendapatkan dosen pembimbing seperti Bu Syafrina yang sangat memahami keinginanku dalam melakukan penelitian. Beliau sangat sabar dan mengayomi. Aku sangat mengagumi dosen muda yang sangat cerdas itu. Sayangnya, Bu Syafrina harus cuti melahirkan dan digantikan oleh dosen pembimbing lain yang baru satu bulan mengajar di jurusanku.
Hari ini adalah hari pertama dosen pembimbing baru itu mengundang kami - mahasiswa yang tadinya dibimbing oleh Bu Syafrina. Kami berenam sudah berada di dalam ruangan dosen baru itu. Oh ya, dosen baru itu bernama Alena. Aku belum tahu nama lengkapnya dan memang tidak peduli. Pertama kali bertemu, aku sudah tidak suka dengan arogansinya. Aku tidak suka ketika dia mengatakan kalau dia hanya memiliki waktu 30 menit saja untuk kami berenam. Jika memang hari ini dia sibuk, kenapa dia tidak menjadwalkan hari lain untuk kami? Berbeda sekali dengan Bu Syafrina yang sangat terorganisir dan disiplin. Walaupun Bu Syafrina sibuk tapi beliau bisa mengatur jadwalnya dengan baik.
“Saya dosen pembimbing kalian, menggantikan Bu Syafrina yang sedang cuti melahirkan. Hari ini saya meminta kalian untuk melaporkan sejauh mana kalian sudah mengerjakan skripsi kalian. Saya hanya punya waktu 30 menit hari ini untuk kalian, saya harap kalian bisa melaporkan progress skripsi kalian dengan efektif dan efisien pada saya. Silahkan siapa yang mau duluan untuk melaporkan progress skripsi masing-masing.”
Cih…mendengar kata demi kata dari mulutnya yang kurang ajarnya terlihat seksi itu, telingaku jadi berdengung. Sok sibuk sekali.
“Ibu hanya memberi kami berenam waktu 30 menit untuk melaporkan progress skripsi kami. Bagaimana bisa kami melaporkannya hanya dalam waktu 5 menit saja?” protesku.
Aku melihat wajah dosen itu sudah mulai memerah tanda jika dia sudah mulai emosi tapi aku tidak peduli. Aku benar-benar tidak suka dengan jenis manusia arogan seperti perempuan yang ada di hadapanku ini.
“Ini pertemuan kita yang pertama. Saya hanya ingin mengetahui secara umum saja progress skripsi kalian agar saya dapat menjadwalkan dan merencanakan masa bimbingan kalian.” Dosen yang arogan itu mulai mengemukakan alasan yang semakin membuatku marah.
Aku juga heran dengan sikapku yang seperti ini. Aku adalah tipe manusia yang ramah pada setiap orang tanpa memandang siapa mereka. Tapi entah mengapa ketika menghadapi perempuan yang satu ini emosiku jadi meninggi.
“Seharusnya kalau hari ini, Ibu memang tidak memiliki waktu yang cukup untuk kami, Ibu bisa menjadwalkan di waktu yang lain,” ujarku ketus
Dosen tersebut tidak mengindahkan protesku sehingga aku pun sudah malas menanggapi apapun yang dia katakan. Dia mulai memanggil nama-nama kami dan mendengarkan laporan perkembangan skripsi yang sedang teman-temanku jabarkan.
Aku menatap dosen itu yang sialnya terlihat cantik di mataku. Cih, cantik tapi sombong buat apa?" Aku merutuk dalam hati.
“Atep Dananjaya!” panggil dosen itu.
“Silahkan laporkan progress skripsi kamu!” perintahnya dengan nada ketus.
“Tidak usah pakai nada ketus seperti itu juga, Bu,” sahutku.
Aku menatap wajah dosen yang semakin terlihat galak itu. Hatiku bahagia karena melihat dia kesal. Benar-benar aneh karena aku bisa merasakan kebahagiaan melihat dia kesal.
“Waktu yang saya berikan tinggal lima menit lagi. Silahkan jika kamu mau melaporkannya sekarang juga. Namun, kalau kamu tidak mau, tidak masalah bagi saya.” Aku semakin senang mendengar nada ketus dosen itu.
“Gak usah ngegas kitu juga lah, Bu.”
“Kamu…”
“Iya, Bu…, ini saya mau laporkan.”
Aku melaporkan progress skripsiku. Ketika masih bimbingan dengan Bu Syafrina aku sudah akan mulai masuk ke bab tiga. Aku jabarkan juga rencana metode penelitian yang akan aku lakukan yang sebenarnya sudah disetujui oleh Bu Syafrina. Aku melihat dosen itu mangut-mangut ketika mendengarkan penjelasanku.
Akhirnya aku menyelesaikan penjelasan progress skripsiku kurang dari 5 menit. Aku berusaha menjelaskan seringkas dan sejelas mungkin. Kurasa dosen itu sudah memahami apa yang aku inginkan. Walaupun aku termasuk mahasiswa yang benar-benar telat dalam menyelesaikan masa kuliah tapi aku adalah siswa yang cerdas bahkan sejak SD dulu, otakku ini sudah diakui memang moncer. Selama sekolah dari SD sampai SMA aku selalu mendapatkan beasiswa karena prestasi akademikku. Bahkan ketika SMA, aku dinobatkan menjadi siswa berprestasi dan beberapa kali menjuarai lomba-lomba yang diadakan baik oleh pihak pemerintah maupun swasta.
“Baiklah. Saya sudah sedikit memahami apa yang ingin kalian lakukan terhadap skripsi kalian. Pertemuan selanjutnya, akan saya infokan nanti. Terima kasih atas kehadiran kalian hari ini.” Dosen itu mengakhiri bimbingan pertama kali dengan senyum yang tak pernah diarahkan kepadaku.
Aku tidak heran jika dosen itu tidak memberikan senyumannya padaku, toh aku juga tidak peduli apakah dosen itu akan membenciku atau tidak. Setelah selesai, aku langsung meninggalkan ruangan dosen. Sejak awal aku menyebut dosen pembimbingku itu dengan sebutan dosen itu. Padahal dia punya nama juga, Alena Damayanti Nataprawira. Sepertinya aku pernah mendengar nama keluarga dari dosen itu tapi aku lupa dimana aku pernah mendengar nama itu.
*******
to be continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments