Alena POV
Dingin…
Keringat dingin mengucur deras dari tubuhku. Sepertinya aku sudah sangat letih dengan segala aktivitas selama satu bulan ini. Dua minggu, aku sibuk dengan berbagai rapat dan mengajar kemudian dua minggu berikutnya, aku mengikuti seminar yang diadakan di luar kota.
Akumulasi aktivitas yang tidak berhenti selama satu bulan penuh ternyata membuat tubuhku tumbang. Kurasakan keringat dingin mengucur dari tengkuk disertai dengan rasa mual dan kepala pusing semakin menambah penderitaanku.
Merasa tidak kuat lagi untuk melanjutkan aktivitas hari ini, aku berencana untuk pulang lebih cepat. Beruntung, hari ini tidak ada kelas lagi yang harus aku ajar sehingga aku bisa pulang lebih awal.
Kupaksakan untuk melangkahkan kaki menuju parkiran. Kutahan rasa mual hingga membuat dada sedikit sesak. Aku pun harus menahan rasa pusing yang sangat di kepala. Keringat dingin semakin mengucur deras dari pelipis dan tengkuk.
Sesampainya di depan mobil, aku berusaha mengambil kunci mobil dari dalam tas. Kuaduk-aduk isi di dalam tas tapi benda yang kucari tidak berhasil ditemukan. Aku berjongkok dan mengeluarkan semua barang dari dalam tas. Akhirnya kutemukan kunci mobilku tergeletak di atas tanah parkiran bersama dengan barang-barang lain yang kukeluarkan.
Setelah mendapatkan kunci mobil, segera kumasukkan kembali semua barang-barang yang tercecer ke dalam tas. Aku berdiri tapi tiba-tiba penglihatanku seperti berputar-putar. Aku segera bersandar pada badan mobil. Aku merasakan sensasi gerakan berputar. Aku melihat sekelilingku berputar dengan cepat sehingga memicu rasa mual dan ingin muntah yang hebat. Aku berjalan menuju sudut parkiran sambil memejamkan mata.
“Ya Allah, sepertinya aku tidak akan kuat menyetir sampai apartemen.”
Aku kembali berjongkok untuk meredakan rasa pusing.
“Bu… Ibu kenapa?”
Aku mendengar suara seseorang bertanya.
Kurasakan dia juga ikut berjongkok untuk melihat keadaanku.
“Ibu baik-baik saja?” tanyanya sekali lagi.
“Kepala saya sakit sekali seperti berputar-putar, saya juga mual seperti ingin muntah.”
Aku memaksakan diri untuk menjawab pertanyaan dari orang itu.
“Ibu ada penyakit vertigo?”
“Gak tau,” jawabku singkat karena aku tidak kuat dengan rasa pusing dan mual.
“Ibu mau pulang?”
“Ya”
“Saya antar Ibu pulang.”
Aku hanya bisa mengangguk pelan karena tidak sanggup lagi berbicara.
“Ibu bisa bangun?”
Aku terdiam karena aku masih merasa pandanganku berputar-putar ketika aku mencoba membuka mata.
“Mana kunci mobilnya?”
Aku mengasongkan kunci mobilku.
Kudengar dia membuka pintu penumpang di belakang.
“Ibu bisa jalan gak?”
Aku masih belum sanggup untuk menjawab pertanyaannya.
“Maaf Bu, kalau saya kurang sopan.”
Aku rasakan dia menyelipkan tangannya di kaki dan punggungku. Dia menggendongku untuk duduk di kursi penumpang bagian belakang.
Aku masih memejamkan mataku hingga tidak bisa melihat siapa orang yang menolongku. Kurasa dia adalah salah seorang dari mahasiswaku. Terdengar suara pintu mobil ditutup, dibuka, kemudian ditutup kembali.
“Alamat rumah Ibu di mana?”
“Apartemen X, nomor 515.”
Kurasakan mobil perlahan melaju dan setelah itu aku sudah tidak sadarkan diri. Pandanganku benar-benar menggelap.
*************
Hari ini adalah hari yang cukup melelahkan. Setelah subuh tadi, aku pergi dari rumahku di Cibeber menuju Bandung dengan menggunakan motor. Ditemani hujan gerimis, aku menembus jalanan. Alhasil sesampainya di kampus, tubuhku sedikit menggigil dengan kepala yang juga terasa berat.
Aku langsung menuju kantin kampus untuk memesan teh panas dan mi kuah untuk menghangatkan dan mengisi perutku yang keroncongan. Setelah minuman dan makananku habis, aku merasa tubuhku sedikit bertenaga kembali.
Kulangkahkan kaki menuju perpustakaan untuk menambah referensi bab 2-ku. Kuhabiskan waktu dari pagi hingga siang untuk membaca referensi yang akan aku tambahkan di bab 2.
Setelah makan siang dan salat zuhur, aku berencana untuk mengunjungi rumah Teh Iyah. Sudah lama aku tidak bertemu dengan dua bocah kesayanganku. Beruntungnya sedikit demi sedikit, aku sudah bisa melupakan cintaku pada Teh Iyah walaupun kuakui kalau Teh Iyah masih betah menghuni sudut hatiku.
Aku berjalan menuju tempat parkir mahasiswa. Di sepanjang jalan, tak berhenti aku membalas sapaan para juniorku yang kebanyakan perempuan. Bukannya sombong, aku sangat populer di kalangan para junior, terutama para perempuan walaupun aku belum lulus dan bekerja. Mungkin karena tampangku yang memang di atas rata-rata membuat mereka bersikap terlalu ramah padaku, kakak senior yang berusia jauh di atas mereka.
Untuk sampai di tempat parkir khusus mahasiswa, aku harus melewati parkiran khusus dosen. Ketika melewati parkiran dosen, aku melihat Bu Alena sedang berjongkok di samping mobilnya. Demi rasa kemanusian, aku menghampiri dan bertanya tentang keadaannya.
“Bu…Ibu kenapa?”
Bu Alena masih tetap berjongkok dan memejamkan matanya. Dia tidak menjawab pertanyaanku.
Aku ikut berjongkok untuk melihat keadaannya.
“Ibu baik-baik saja?” tanyaku sedikit khawatir
Tentu saja karena dia dosen pembimbingku aku merasa khawatir padanya. Bukannya aku memiliki perasaan khusus tapi ini hanya demi kemanusian saja.
“Kepala saya sakit sekali seperti berputar-putar, saya juga mual seperti ingin muntah.”
Akhirnya aku mendengar juga jawaban dari Bu Alena.
“Ibu ada penyakit vertigo?” tanyaku lagi.
“Gak tau,” jawabnya singkat, mungkin karena Bu Alena sedang menahan rasa pusing dan mualnya.
“Ibu mau pulang?”
“Ya,” jawabnya
“Saya antar Ibu pulang,” tawarku.
Bu Alena mengangguk pelan tapi aku bisa melihat pergerakannya dan kuartikan anggukannya itu sebagai tanda setuju darinya.
“Ibu bisa bangun?”
Tidak ada jawaban dari Bu Alena. Ini perempuan emang rada menyebalkan juga. Sakit saja bisa bikin aku senewen dengan ketidakacuhannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Eh, seharusnya aku tidak boleh kesal seperti ini. Bu Alena tidak menjawab pertanyaaan-pertanyaanku mungkin dia tidak bisa karena sedang menahan rasa sakit. Ah, aku memang sangat keterlaluan juga.
“Mana kunci mobilnya?”
Bu Alena mengasongkan kunci mobilnya.
Aku membuka kursi penumpang bagian belakang.
“Ibu bisa jalan gak?”
Bu Alena masih diam sepertinya dia belum sanggup untuk menjawab pertanyaanku.
“Maaf Bu, kalau saya kurang sopan.”
Karena aku tidak mendapatkan respon dari Bu Alena, aku berencana untuk menggendongnya masuk ke dalam mobil.
Aku menyelipkan tangan di kaki dan punggungnya. Aku menggendong Bu Alena untuk mendudukkannya di kursi penumpang.
Untung saja tubuh Bu Alena tidak terlalu berat sehingga aku masih mampu untuk menggendongnya dengan tenagaku yang tidak maksimal.
Setelah aku mendudukkan Bu Alena di kursi penumpang, aku membuka pintu kursi supir dan mulai menyalakan mobil.
“Alamat rumah Ibu di mana?”
“Apartemen X, nomor 515.”
Aku melajukan mobil Bu Alena dengan kecepatan sedang karena tidak ingin Bu Alena merasa terganggu jika aku melajukannya terlalu kencang.
*************
to be continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments