Alena POV
Seharian ini, aku terjebak dengan segala urusan pekerjaan. Hari ini juga aku harus mengerahkan semua energiku agar fokus dengan pekerjaan dan segera membereskannya karena setelah menyelesaikan segala urusan mengajar dan rapat, aku akan langsung pergi lagi ke rumah sakit untuk menemani kakakku.
Dua jam perjalanan membuat energiku benar-benar terkuras. Setelah sampai di rumah sakit, aku langsung menuju ke kamar perawatan. Tampak Teh Iyah masih setia menemani kakakku.
“Assalamu’alaikum, Teh.” Aku memberi salam pada kakak iparku.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Teh Iyah lirih. Wajahnya terlihat semakin kuyu.
“Aa masih belum bangun?” tanyaku.
Teh iyah hanya sanggup menggelengkan kepala.
“Yang sabar ya, Teh.” Aku mengusap lembut punggung Teh Iyah.
Kulihat air mata kembali mengalir dari matanya yang kemerahan tanda terlalu sering mengeluarkan air mata.
“Teteh sudah makan?” tanyaku
Teh Iyah mengangguk.
“Teteh rebahan aja dulu di sofa. Biar Lena yang jaga di sini,” tawarku. Aku tidak tega melihat wajahnya yang terlihat sangat lelah.
Tiba-tiba Teh Iyah memelukku dan membenamkan wajah di bahuku. Kudengar isakan tangisnya. Aku membalas pelukan Teh Iyah sambil mengusap lembut punggungnya.
“Teteh takut, Len. Teteh takut kalau A Endra tidak akan pernah bangun lagi.”
Mendengar perkataan Teh Iyah, air mataku kembali bobol. Kami berdua saling berpelukan sambil menangis.
Setelah seharian kemarin menunggu tanpa kepastian, dengan terpaksa aku harus kembali ke kampus karena ini ada jadwal bimbingan. Jadwal bimbingan bersama si gondrong nyebelin. Aku berangkat dari rumah sakit setelah subuh. Energi dan fokusku benar-benar terbagi antara kakak dan pekerjaan. Aku tidak bisa meninggalkan salah satunya hingga aku harus menguatkan diri untuk mengerjakan keduanya.
**********
"Sudah saya katakan minggu lalu kalau hari ini kamu harus menyetorkan hasil revisi skripsi kamu. Kalau kamu kerjanya lambat seperti ini bagaimana bisa kamu lulus tepat waktu. Saya tidak suka mahasiswa yang malas seperti kamu."
"Maafkan saya, Bu. Minggu kemarin ada masalah di keluarga saya. Saya harus menjaga anak-anak dari kakak saya yang sedang menunggu suaminya di rumah sakit."
"Saya tidak tahu apakah yang kamu katakan itu memang benar atau hanya alasan saja."
"Kalau Ibu percaya ya alhamdulillah, tapi kalau memang ibu tidak percaya dengan alasan yang saya berikan, saya tidak bisa bicara apa-apa lagi. Kalau memang Ibu tidak bisa memberikan toleransi pada saya, mungkin sebaiknya saya membatalkan judul skripsi saya yang sekarang dan memilih untuk memulai dari awal lagi. Saya tidak akan memilih Ibu sebagai dosen pembimbing saya. Kalau Ibu tidak suka mahasiswa malas seperti saya, saya juga tidak suka dosen yang menuduh tanpa bukti seperti Ibu."
"Maksud kamu apa?" bentakku tidak terima dengan alasan dan tuduhannya padaku.
"Ibu seenaknya menuduh saya mahasiswa pemalas. Itu tuduhan yang tak bisa dibuktikan kebenarannya. Silahkan Ibu tanyakan pada dosen-dosen lain atau mahasiswa yang lainnya tentang diri saya yang Ibu tuduh sebagai mahasiswa pemalas."
"Kamu mahasiswa yang kurang ajar sekali. Mungkin saya salah karena menyebut kamu mahasiswa yang malas. Tapi saya tidak akan salah jika menyebut kamu mahasiswa dengan akhlak yang buruk. Kamu berani berkata kasar pada dosen kamu."
"Kata-kata mana yang kasar. Bu? Ibu sudah menuduh lagi saya. Ibu ini hobinya menuduh orang sembarangan ya?"
"Kalau kamu tidak suka saya menjadi dosen pembimbing kamu, silahkan kamu protes ke pihak jurusan. Saya juga menjadi pembimbing kamu terpaksa karena mendapatkan limpahan mahasiswa bimbingan dari Bu Syafrina yang sedang cuti melahirkan."
"Ibu di sini tuh baru, belum juga satu tahun tapi seakan-akan sudah mengenal saya sehingga dengan mudahnya menuduh saya seenaknya."
"Saya tidak mau lagi berdebat dengan kamu. Sekarang terserah kamu saja maunya bagaimana. Kalau kamu memang mau ganti pembimbing, ajukan saja ke jurusan. Silahkan keluar dari ruangan saya. Masih ada mahasiswa lain yang akan bimbingan dengan saya. Saya sudah membuang-buang waktu saya yang berharga demi meladeni kamu. Silahkan keluar sekarang juga!"
"Baik, Bu. Saya permisi."
Pyuh….aku menghempaskan tubuhku di atas sofa. Aku benar-benar lelah, energiku tersedot habis gegara perdebatanku dengan si gondrong nyebelin itu. Berulang kali aku beristigfar untuk menenangkan hatiku yang sedang panas.
Aku meyakinkan diriku kalau ini hanyalah ujian kecil. Aku harus kembali fokus pada pekerjaan yang lainnya. Jangan sampai fokusku hanya pada si gondrong nyebelin itu. Masih banyak hal yang harus aku pikirkan, termasuk kakakku yang masih belum siuman hingga detik ini.
************
Atep POV
Drrrrt…..
Ponselku berbunyi. Dengan terpaksa aku beranjak dari rebahan yang nyaman di atas sofa.
Terlihat Ibu memanggil di layar ponselku.
“Assalamu’alaikum, Bu.”
“Wa’alaikumsalam, Len. Cepat ke sini!” seru ibuku.
“Kenapa sama Aa bu. Aa tidak apa-apa kan, Bu?” Aku sangat khawatir dengan kakakku. Aku takut ibu menyampaikan kabar buruk.
“Alhamdulillah, Aa kamu udah siuman,” terdengar tangisan Ibu.
“Alhamdulillah ya Allah, Engkau kabulkan do’a-do’a kami untuk menyembuhkan Aa.” Aku langsung sujud syukur mendengar kakakku yang sudah sadar dari komanya.
“Lena langsung meluncur ke sana, Bu.”
Segera kubereskan meja kerjaku dan berlari menuju parkiran mobil untuk segera meluncur ke rumah sakit tempat kakakku dirawat.
************
to be continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments