Atep POV
Sekarang aku berada di Desa Cibeber. Akhir-akhir ini aku sering pulang ke desa karena memang kakak angkatku membutuhkan bantuanku untuk mengelola usahanya sehingga hampir setiap weekends aku bolak-balik antara Bandung dan Desa Cibeber.
Ketika aku baru saja sampai ke rumah dan belum sempat aku memarkirkan motorku ke dalam garasi, tiba-tiba kakak angkatku itu berteriak-teriak memanggilku dengan raut wajah khawatir.
“Antar Teteh, Tep!” teriak Teh Iyah dari jarak yang lumayan jauh dariku. Ia sudah memegang kunci mobil dan bersiap untuk mengeluarkannya dari garasi.
Aku segera bergegas menghampiri Teh Iyah.
“Kemana, Teh?” tanyaku.
“Tuti, kamu juga ikut. Kita naik mobil saja ke sananya.” Kakak angkatku menyuruh adik sepupuku untuk ikut juga.
“Biar Atep yang nyupir, Teh. Sepertinya Teteh sedang kalut,” tawarku
Teh Iyah kemudian menyerahkan kunci mobilnya padaku.
“Kita kemana, Teh?” tanyaku hati-hati karena setelah melihat wajah kalutnya.
“Kita ke Hutan Timur, Tep.” jawab Teh Iyah terisak. Sepertinya air mata sudah mulai berjatuhan dari pelupuk matanya.
Aku bertanya pada Tuti yang duduk di kursi penumpang di sampingku. Aku bertanya pada tuti dengan ekspresi wajahku dan dijawab Tuti dengan kedikan bahunya.
“Dasar adik sepupu gak ada akhlak,” sungutku dalam hati.
Setelah sampai di gerbang masuk ke hutan, aku memarkirkan mobil di pinggir jalan dan segera menyusul Teh Iyah dan Tuti yang sudah duluan keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam hutan sambil berteriak-teriak memanggil nama Faras dan Faris.
“Aras… Aris…!” Teh Iyah dan Tuti bergantian meneriakan nama Faras dan Faris, anak kembar kakak angkatku.
Aku pun mulai memanggil-manggil Faras dan Faris. Melihat jarak Tuti dan Teh Iyah yang agak jauh, aku menarik Tuti dan menanyakan permasalahannya.
“Ada apa sih, Tut? Aras dan Aris hilang? Mereka diculik atau bagaimana?” Aku memberondong Tuti dengan pertanyaan.
“Aras dan Aris kabur, A.” jawab Tuti.
“Apa?” teriakku kaget.
“Kok bisa mereka kabur?” tanyaku lagi.
“Bukannya kabur sih. Sepertinya Aras dan Aris pengen ketemu sama om kesayangan mereka tapi tidak diberi izin sama Teh Iyah. Pas kita lagi lengah, Aras dan Aris pergi. Tuti juga tidak tahu sih Aras dan Aris kemana. Hanya saja kemarin-kemarin memang Aras dan Aris janjian dengan Om Endra untuk ketemuan hari ini.
“Siapa itu Om Endra?” tanyaku
“Itu loh, Om Endra itu bos yang bikin syuting iklan di desa kita. Aa juga pernah ketemu sama Om Endra pas kita lagi di sungai. Ingat tidak?”
Aku mencoba mengingat-ingat sosok yang sedang dibicarakan oleh Tuti.
Aku teringat dengan om-om yang dibicarakan oleh Tuti. Aku ingat kalau Aras dan Aris langsung bisa akrab dengan laki-laki itu di hari pertama mereka bertemu. Aku juga heran kenapa Aras dan Aris bisa langsung akrab dengan lelaki itu. Padahal biasanya Aras dan Aris akan bersikap galak pada setiap orang yang baru mereka temui. Apalagi jika ada laki-laki yang bermaksud untuk mendekati Teh Iyah, mereka akan langsung pasang badan.
“Atep… Tuti…! Cepat kemari!” Teh Iyah berteriak-teriak memanggilku dan Tuti yang memang berada agak jauh dari posisinya sekarang yang sedang menarik tangan Faras dan Faris.
Aku dan Tuti segera berlari menghampiri Teh Iyah. Aku heran melihat wajah Teh Iyah yang sudah bersimbah air mata dan terlihat seperti ketakutan.
“Cepat gendong Aras dan Aris!” perintah Teh Iyah.
Aku menggendong Faris sedangkan Tuti menggendong Faras. Kami segera bergegas mengikuti Teh Iyah yang berlari keluar dari hutan.
“Ada apa, Teh?” tanyaku.
“Nanti Teteh ceritakan!” sahut Teh Iyah yang tidak berhenti berlari ketakutan seperti dikejar-kejar oleh penjahat.
“Iyah… tunggu…!” teriak laki-laki itu dari belakang.
“Teh, sepertinya Teteh dipanggil-panggil itu,” ujar Tuti.
“Jangan didengar. Cepat kita pergi dari sini!” Teh Iyah semakin cepat berlari diikuti olehku dan Tuti yang berlari dengan terseok-seok karena menggendong Faras.
“Cepat buka mobilnya, Tep!” perintah Teh Iyah.
Aku menurunkan Faris dan membuka kunci pintu mobil. Setelah kunci mobil terbuka, Teh Iyah langsung mengambil Faris dan mendudukkannya di kursi belakang.
Karena kelelahan, Tuti menurunkan Faras dari gendongannya.
“Iyah… tunggu…! Saya mau bicara sama kamu,” teriak lelaki itu makin mendekat.
Teh Iyah menggendong Faras dan tidak mengindahkan panggilan dari lelaki itu.
“Bu, itu Om Endra panggil-panggil nama Ibu,” ujar Faras.
Teh Iyah tidak merespon apa yang dikatakan oleh Faras dan dengan cepat menempatkannya ke dalam mobil.
“Cepat masuk ke mobil, Tut!” perintah Teh Iyah.
“Iya, Teh.” Tuti segera masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang depan.
“Tep, cepat jalan!” perintah Teh Iyah.
Aku sudah mulai menyalakan mesin mobil ketika laki-laki itu sampai. Dia memanggil-manggil nama Teh Iyah dan mengetuk-ngetuk kaca pintu penumpang.
Karena tidak mendapatkan respon dari Teh Iyah, laki-laki itu langsung menuju ke depan mobil dan mencoba untuk menghadang mobil dengan badannya.
“Bagaimana ini, Teh?” tanyaku.
“Tabrak saja!” jawab Teh Iyah kalut.
Aku terkejut mendengar jawaban dari Teh Iyah. Dia yang selama ini memperlakukan orang lain dengan baik dan ramah ternyata memiliki sisi yang jahat juga.
“Yakin Teh, kita tabrak saja orang itu?” tanyaku yang sebenarnya tidak serius.
“Jangaan!” seruTeh Iyah.
“Jadi gimana, Teh? Tabrak atau jangan?” tanyaku lagi.
“Jangan ditabrak, Tep. Mundurkan saja mobilnya lalu segera putar balik. Bisa kan?”
“Siap, Teh.”
Sekarang saatnya aku akan memperlihatkan skill balapanku.
Rasanya aku ingin tertawa melihat sikap Teh Iyah yang seperti ini. Sikap yang seperti bukan dirinya saja. Teh Iyah yang biasanya tegas bisa juga bersikap plin plan. Aku tidak tahu siapa lelaki yang mengejar Teh Iyah. Tapi aku memiliki feeling yang kuat kalau lelaki itu ayah dari Faras dan Faris.
Kalau bukan datang dari masa lalunya, tidak mungkin Teh Iyah- seorang wanita pemberani bisa bersikap ketakutan dan juga plin plan menghadapi lelaki itu. Ini baru pertama kalinya aku melihat wajah Teh Iyah yang kalut dan ketakutan.
Dalam sekejap, aku mampu menghindar dari hadangan lelaki itu dan melajukan mobil dengan kecepatan penuh.
“Teteh kenal sama Om Endra?” tanya Tuti.
Aku melihat Teh Iyah dari kaca spion. Teh Iyah terus saja mengeluarkan air mata.
“Bagaimana kalian bisa saling mengenal?” tanya Teh Iyah yang sibuk menghapus air mata yang terus mengaliri pipinya pada Tuti.
“Kan Tuti sudah pernah cerita kalau Om Endra ini yang syuting iklan itu. Aras dan Aris juga sering main bareng sama Om Endra.”
“Bagaimana awalnya kalian bertemu dan akhirnya jadi saling mengenal?”
“Kita pertama kali bertemu di sungai. A Atep juga tau kok. Itu loh A, waktu kita mengantar Aras dan Aris nonton yang syuting tapi tidak jadi karena syutingnya bubar terus kita pergi ke sungai dan bertemu Om Endra di sana,” jelas Tuti.
“Betul, kamu juga tahu, Tep?” tanya Teh Iyah tajam.
“Betul, Teh. Di pertemuan pertama mereka, Aras dan Aris sudah terlihat dekat dengan om itu.” jawabku.
“Memangnya Teteh kenal sama Om Endra?” tanya Tuti.
Teh Iyah tidak menjawab pertanyaan Tuti.
“Atau jangan-jangan Om Endra itu ay - ” Sebelum Tuti menyelesaikan kalimatnya, Teh Iyah sudah memotongnya.
“Jangan banyak ngomong, Tut. Nanti saja Teteh ceritakan di rumah.”
Fix. Laki-laki itu ayah kandung Faras dan Faris sekaligus mantan suaminya Teh Iyah. Aku belum mengetahui secara pasti apakah Teh Iyah sudah bercerai dari suaminya atau belum dan aku juga tidak mau tahu tentang hal itu. Aku sih berharapnya Teh Iyah sudah diceraikan.
Setelah sampai di depan rumah, Teh Iyah langsung menyeret Faras dan Faris untuk masuk ke rumah. Aku segera memasukkan mobil kembali ke dalam garasi. Aku yakin sebentar lagi akan ada drama seorang ayah yang mengejar istri dan anak-anaknya seperti drama-drama sinetron yang sering ditonton si Tuti tiap pagi dan sore.
Betul saja, beberapa menit kemudian, laki-laki itu berteriak-teriak memanggil Teh Iyah. Tidak mau melihat adegan drama picisan, aku langsung masuk ke dalam kamar untuk melanjutkan revisi skripsiku. Aku menyetel musik dengan keras dan memasangkan headphone ke telinga.
***********
to be continued...
baca juga kisahnya Kagendra dan Sadiyah yaaa....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments